
Pagi ini, ketika aku lari pagi sekeluarga, aku berjumpa dengan seorang nenek yang juga sedang membawa cucunya lari pagi. Awalnya nenek tersebut mengajak ngobrol Tata yang sedang senam-senam kecil di atas batu-batu dekat beliau dan cucunya.
Sepintas lalu aku mendengar sang Nenek bertanya kepada Tata, “kelas berapa mbak?”
“Aku homeschooling” jawab Tata
“homeschooling itu jadi bagaimana?”
“Aku sekolah di rumah”
“Kenapa? kamu sakit?”
“Nggak, aku sekolah sama ibu”
“Tapi kenapa nggak sekolah?”
“Kan aku homeschooling, jadi belajarnya di rumah”
“Jadi nggak pergi sekolah?” … aku mulai senyum2, wah gak nyambung nih.
Aku masih berusaha untuk tidak nimbrung sampai akhirnya nenek itu mendekati aku dan bertanya, “Jadi anak-anak ini tidak sekolah mbak?”
“Mereka homeschooling, belajar di rumah, bu” Jawabku
“Nggak kasihan? Mereka kan butuh berteman. Cucu saya saja ini, sudah tidak sabar ingin saya sekolahkan karena sekarang dia di rumah terus. Sudah saya leskan tapi jadinya yang dia kenal cuman teman lesnya saja.”
“Oo, anak-anak saya walau sekolah di rumah tapi mereka tetap punya teman dan tidak punya masalah dengan sosialisasi”
“Jadi mbak memanggil guru ke rumah?”
“Tidak bu, sampai saat ini anak2 masih kami pegang sendiri.”
“Wah, semuanya diajari sendiri?”
“Tidak bu, karena kami percaya bahwa belajar itu adalah mengeluarkan bukan memasukkan, jadi yang kami tanamkan kepada anak-anak adalah kemampuan mereka untuk mencari materi & belajar secara mandiri. Teknologi sudah memudahkan saya untuk bisa mengakses materi-materi berkualitas dengan mudah”
—> percakapan terus berlanjut seputar ijazah, materi belajar dll. Sang Nenek terlihat bingung karena ada pola belajar seperti ini. Dan dia terus membandingkan dengan cucunya.
Sudah lama aku tidak berdiskusi dengan orang yang mempertanyakan keputusan homeschooling kami. Buat kami, isu itu sudah berlalu sekian tahun yang lalu. Sejalan dengan waktu, orang-orang yang dahulu mempertanyakan bagaimana nasib anak-anak kami kalau homeschooling perlahan melihat & bahkan ada yang kini ikut menikmati buah dari proses homeschooling anak-anak.
Keputusan untuk memilih homeschooling memang tidak bisa dijelaskan dalam rentang waktu yang singkat. Tidak pula ada gunanya berbantah-bantahan dengan orang yang tidak bisa menerima konsep homeschooling/gaya belajar yang kami pakai untuk anak-anak kami. Waktu telah mengajarkan kepada kami bahwa pada akhirnya, orang akan melihat buah dari apa-apa yang kita tanam. Paling jauh adalah memaparkan fakta sebaik-baiknya dan terus menanam kebajikan dan berdoa untuk dapat tetap mempertahankan benih yang ditanam agar bisa tumbuh dan berbuah baik.
Kembali kepada nenek tadi, setelah percakapan panjang lebar. Ternyata endingnya lumayan manis, karena kemudian dia melihat Tata yang cukup casciscus menjawab pertanyaannya serta tidak malu mengajak berkenalan cucunya. Mungkin buat sang nenek, pada akhirnya itu yang terpenting… punya cucu yang menyenangkan, bisa diajak ngobrol yang enak dan tidak pemalu bila diminta berkenalan dengan orang lain.. 🙂
8 thoughts on “Biarlah Waktu yang Berbicara”
Mbak Lala salam kenal ya. Saya juga ingin meng-HS buah hati kami (walau kadang ragu juga: apa aku bisa?). Semoga saya bisa belajar banyak dari keluarga mbak Lala. 😛
Salam kenal mbak Maria, kita sama2 belajar ya. 😀
assalamualaikum..
saya sebentar lagi akan memulai bab baru dalam hidup saya, menjadi seorang bapak. Dan saya baru menemukan blog ini dari FB sepupu saya. saya tertarik dgn artikel2 disini, dan tentunya tertarik dengan Homeschooling. tertarik dengan dasar saya kurang setuju dengan metode (atau apalah namanya) sekolah yg ada di negara ini. Nah, setelah sedikit2 membaca halaman dari blog ini, saya kepingin tahu lebih banyak dan lebih dalam dengan namanya Homeschooling.. bisakah anda memberi sedikit bantuan apa2 yg bisa saya lakukan atau persiapkan untuk memulai nya dari sekarang. terima kasih.
wassalam.
waalaikum salam,
Untuk persiapan, yang paling penting adalah banyak membaca/melakukan riset ttg homeschooling dan apapun yg masih menimbulkan keraguan ttg homeschooling. Bergabung di milis sekolahrumah akan membantu mendapatkan informasi. Seminar HS juga membantu. Juga, berinteraksi dengan praktisi homechooling dan membangun jaringan dengan para praktisi/pemerhati HS utk mendapatkan “sense” praktek HS. 🙂
Salam kenal, mbak.
Saya baru memiliki anak usia 4 bulan, tapi sejak SMA saya sudah merencanakan memiliki keluarga homeschooling. Alhamdulillah, isteri saya bisa mengerti & mendukung setelah melalui penjelasan sejak sebelum memiliki anak sampai anaknya lahir 🙂
seru juga ceritanya… 🙂
it’s so inspire me … thanks tuk mba lala n mas aar untuk ceritanya ini. cerita ini membuka mata dan hati saya thdap pendidikan. saya yang tinggal di perkebunan di daerah pegunungan nan jauh dari kota..(nti saya akan sharing untuk yang ini) susah mendapatkan pendidikan yg OK..tapi alhamdulillah sejak saya di perkenalkan dengan rumah inspirasi ini..terbuka mata saya akan dunia pendidikan ini.
dan saya juga ucapkan terimakasih banyak tuk tante moi yg mempekenalkan saya kepada rumah inspirasi. Semoga menjadi berkah untuk kita semua….aaamminnnn YRA 🙂
🙂 Seru banget…
Bismillah.. Jika nanti benar-benar terwujud homeschooling untuk buah hati saya,, pertanyaan semacam inilah yg akan (pula) saya temui.. Proses ini tidak mudah. Butuh kekuatan lahir dan batin pastinya. Tapi mbak lala dan mas aar sudah lebih dulu melaluinya dan cerita 2 beliau yg sebagian sudah saya baca alhamdulillah sangat menginspirasi… Terima kasih banyak. Semoga semua ini bernilai indah dunia akhirat,, amiin