Beberapa waktu yang lalu Metro TV menelpon dan memintaku menjadi salah satu narasumber untuk sebuah Talkshow baru bernama “Let’s Talk”. Aku pikir temanya tentang homeschooling, dunia yang aku jalani selama ini. Tapi ternyata temanya tentang “maskulinitas”.
What?? Aku terpana ketika mbak Anastasia, produser Metro TV itu menelponku.
“Nggak salah, mbak?” tanyaku.
“Saya ingin pak Aar sharing sudut pandang tentang maskulinitas dari sudut pandang seorang bapak rumah tangga. Itu kan perspektif yang berbeda dari pandangan umum masyarakat tentang arti maskulinitas.”
Ok, aku mendapat sudut pandangnya. Dan kami kemudian mengobrol tentang acara dan teknis jadwal rekaman (tapping). Acaranya sendiri ditayangkan tadi malam, Sabtu (13 Februari 2016).
Maskulinitas
Terus terang, aku tak pernah memikirkan tentang isu maskulinitas saat memutuskan untuk menjalani peran sebagai bapak rumah tangga. Aku bukan aktivis feminisme, bukan pula pengamat atau ahli dalam studi jender.
Dalam pandangan umum, maskulinitas biasanya berhubungan penampilan fisik. Wajah macho, badan kekar perut six packs, kegiatan fisik seperti bela diri. Secara karakter, maskulin biasanya dilekatkan dengan sifat kompetitif dan kolerik. Tapi dalam konteks hubungan dengan pasangan, maskulinitas biasanya dihubungkan gagasan memimpin & melindungi pasangannya.
Sosok maskulin biasanya diatributkan pada pemimpin militer, jagoan beladiri, olahragawan, dan sejenisnya. Dalam konteks budaya populer yang dipengaruhi oleh film dan selebritas, nama-nama yang sering dikaitkan dengan maskulin adalah tokoh yang berwajah macho dan memiliki bentuk tubuh bagus.
Kalau secara fisik dan karakter, rasanya aku sama sekali tak ada hubungannya dengan dunia maskulin. Badan kurus, rambut botak, hobi membaca, kacamata tebal, orientasi kegiatan indoor, sebagian besar waktu di depan komputer. Nggak maskulin banget deh. Tapi kalau yang mau diambil adalah maskulinitas sebagai gagasan memimpin & melindungi pasangan, bolehlah.
“Buatku, maskulinitas adalah gagasan tentang penghormatan dan perlindungan kepada pasangan dan keluarga, bukan penampilan fisik.”
Tentu saja pandangan ini juga dipengaruhi kondisi tubuhku sendiri yang tidak macho, hehehe…. Jadi ceritanya ini harus berdamai dengan diri dan berusaha tidak kehilangan esensi #tsah
Maskulin adalah orang yang bertanggung jawab pada keluarganya. Maskulin adalah orang yang bisa memimpin keluarga sebagai satu tim. Lelaki maskulin bukan hanya menjadikan dirinya bintang, tetapi menjadikan pasangan dan anggota keluarganya sebagai bintang-bintang yang menerangi langit.
Dalam hubungan dengan pasangan, lelaki maskulin menghormati pasangannya sebagai individu, bukan sekedar obyek pelengkap untuk kepentingan dirinya.
Itu yang ada dalam pikiranku..
Rumah Tangga sebagai Relasi Konsensual
Saat memilih menjalani peran sebagai bapak rumah tangga, aku dulu juga tidak punya pikiran macam-macam. Dorongannya adalah kebutuhan praktis di lapangan.
Saat kami memutuskan untuk tidak menyekolahkan anak-anak dan menjalani pendidikan melalui homeschooling, salah satu konsekuensinya adalah keterlibatan aktif orangtua. Dan aku tak mempermasalahkan untuk ikut aktif terlibat mengurusi anak-anak secara aktif.
Saat anak-anak masih bayi dan ikut membantu mengganti popok, memijit bayi, jalan pagi bersama bayi, aku juga tak melihatnya sebagai hal yang aneh. Kalau ibunya bayi sedang capek atau kerepotan, kemudian suaminya ikut mengulurkan tangan membantu kan sebuah hal yang biasa saja. Demikian pun mengurusi bayi juga adalah kebahagiaanku dan satu kesatuan dengan kesadaran bahwa bayi ini adalah anak berdua (suami-isteri) yang perlu dirawat berdua.
Demikian pun saat aku terlibat pekerjaan rumah tangga seperti mencuci pakaian dan menyeterika, aku melihatnya sebagai bagian dari komitmen menempatkan keluarga dalam sentral kehidupan. Aku dan Lala mencoba saling mengisi, saling menempatkan diri tanpa membatasi peran secara kaku.
Peran ini mungkin dipengaruhi sudut pandangku tentang rumah tangga & hubungan suami isteri. Aku dibesarkan oleh single parent karena ayahku meninggal saat aku berusia 3 tahun. Sejak itu Ibu tak pernah menikah lagi dan membesarkan 2 anaknya (aku dan adikku) seorang diri. Ibu menjalani profesi sebagai guru sekaligus berperan sebagai ayah & ibu yang mengasuh dan membesarkan aku.
Ibuku adalah pahlawanku. Beliau adalah superwoman yang kukenal. Beliau juga adalah inspirasiku walaupun beliau tak pernah menasihatiku tentang bagaimana bersikap kepada perempuan dan pasangan.
Bagiku, pernikahan adalah ikatan kontraktual, diikat dengan hukum Tuhan dan hukum negara.
“Tapi dalam fungsi-fungsi dan esensinya, keseharian dalam pernikahan adalah ikatan konsensual (kesepakatan) antara suami dan isteri.“
Ada peran yang berhubungan dengan kondisi fisik yang tak bisa dielakkan, misalnya: melahirkan dan menyusui yang harus dilakukan perempuan. Di luar itu, banyak hal yang sebenarnya adalah kesepakatan antara suami dan isteri.
Jika suami dan isteri sepakat berbagi peran yang membuat keluarga bisa berjalan baik, it’s okay. Mengapa orang luar mesti mempersoalkannya?
Tantangan Menjalani Keseharian Bapak Rumah Tangga
Banyak kebahagiaan menjalani kehidupan sebagai bapak rumah tangga. Komunikasi dan hubungan dengan isteri menjadi lebih kuat. Kami bisa membicarakan apapun dengan santai, mulai urusan anak, rumah, sex, uang, dan sebagainya. Hubungan dengan anak-anak juga sangat membahagiakan. Itu yang aku rasakan.
Tapi tantangannya juga tak sedikit. Tantangan terbesar itu adalah mencairkan budaya yang sudah tertanam dalam benak kita tentang pembagian peran yang rigid antara suami-isteri.
Beberapa hal yang mungkin menarik bagi para bapak yang tertarik dengan gagasan #BapakRumahTangga:
- bagi para lelaki, esensi dari peran #BapakRumahTangga bukan pada berhenti bekerja dan tinggal di rumah. Tapi, yang lebih penting adalah perhatian pada keluarga dan keterlibatan pada urusan-urusan domestik.
- penghormatan pada pasangan dan keterlibatan pada urusan domestik bukanlah hal yang menjatuhkan martabat dan wibawa laki-laki, tapi justru menunjukkan kepedulian yang sejati.
- dalam pengalaman pribadiku, keterlibatan pada urusan domestik dapat menjadi “alat spiritual” untuk menurunkan keegoan. Mengurusi pekerjaan rumah tangga bisa menjadi sarana belajar yang mumpuni untuk hal ini.
Bagi para Ibu yang tertarik dan mengharapkan keterlibatan pasangannya untuk menjadi #BapakRumahTangga, ada beberapa hal yang mungkin perlu mendapat perhatian:
- jangan terlalu mendorong suami untuk menjalani peran ini karena justru bisa menimbulkan resistensi. Daripada memaksa, lebih baik perkenalkan gagasan keterlibatan suami dalam kegiatan domestik dan mengapa hal itu baik untuk pasangan maupun seluruh anggota keluarga. Salah satu manfaat yang bisa diangkat adalah sebagai model/teladan bagi anak-anak.
- beri ruang yang cukup lapang bagi suami untuk berproses. Apresiasi pada hal-hal baik yang dilakukannya, kendatipun kecil. Jika suami melakukan kesalahan, jangan diolok-olok dan dipermalukan. Berikan saja tips dan ilmunya tanpa merendahkannya. Ini adalah bagian dari usaha membangun lingkungan yang nyaman untuk proses perubahan tata nilai.
- jangan mengubah posisi dari kondisi suami-represif menjadi isteri-represif yang menekan dan merendahkan suami. Dua-duanya sama-sama buruknya. Ingat, tujuannya bukan menjadi pemenang dan mengalahkan pasangan. Tujuannya bukan mencari siapa yang lebih hebat.
“Tujuan pembagian peran antara suami dan isteri adalah mencari pola yang memberikan kebahagiaan maksimal bagi pasangan dan seluruh anggota keluarga.”
1 thought on “Maskulinitas dari Sudut Pandang Bapak Rumah Tangga”
menarik sekali Pak Aar..trimakasih.