Saat-saat ini, aku sedang belajar banyak dari seorang tanteku. Namanya Yanthi, kami biasa memanggilnya Tanti (singkatan tante Yanthi). Dia sedang sakit kanker payudara stadium lanjut. Payudaranya sudah diangkat dan sekarang sudah lebih dari 5 tahun dirawat ( 2 tahun terakhir hanya bisa di tempat tidur).
Kankernya sudah menjalar ke bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dia sudah tak bisa bangun dari tempat tidurnya. Bahkan menggerakkan tubuhnya pun sudah sulit. Seluruh tubuhnya kesakitan sepanjang hari, tanpa sebuah harapan untuk beristirahat sejenak dari sakitnya.
Tapi aku selalu mendapati senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya; sebuah senyum yang tulus dan luar biasa. Kata-katanya masih terdengar riang seperti orang yang sehat. Bahkan, suaranya terdengar lebih bahagia daripada orang sehat kebanyakan yang selalu mengeluhkan berbagai hal tentang hidupnya. Padahal, untuk tidur terlelap sejenak pun dia kesulitan karena rasa sakit yang tak pernah berhenti sepanjang waktu.
Aku pernah bertanya kepadanya,”Bagaimana caranya masih bisa tersenyum sementara kesakitan itu tak pernah berhenti mendera?”
Katanya,”Sekalipun aku menangis, air mata itu tak mengubah apapun, bahkan membuatku bertambah sakit. Jadi, aku rugi kalau menangis. Yang ada adalah aku berusaha mencari hal-hal yang masih bisa kunikmati dan kusyukuri. Dan ternyata aku bisa melihat cinta Allah yang luar biasa kepadaku.”
Wow… Aku malu mendengar kata-kata itu, yang keluar dari seseorang yang memiliki seribu satu alasan untuk mengeluh, marah, dan meratapi hidupnya. Bagaimana tidak? Dari seorang wanita karir yang mandiri, seorang desainer interior yang sukses dan sangat aktif, tiba-tiba sekarang harus berbaring di tempat tidur, tak berdaya dan bergantung sepenuhnya kepada orang lain. Tapi dia tak mengeluh atau meratapi hidupnya, yang ada justru memilih tersenyum dan berbahagia.
**
Aku ingin belajar tersenyum. Aku ingin belajar ikhlas. Aku ingin belajar bersyukur. Segala nikmat Tuhan itu terlalu besar dibandingkan riak-riak kecil yang mengganggu hatiku.
Seandainya aku bisa selalu tersenyum seperti Tanti dan selalu merasa bahagia, aku percaya bahwa anak-anak pasti juga akan ceria dan bahagia dalam keseharian mereka. Sebab, kebahagiaan itu menular.
**
Apapun yang terjadi, aku ingin tersenyum dan bahagia. Aku memilih untuk bahagia karena kebahagiaanku adalah tanggung jawab pribadiku.
10 thoughts on “Belajar Memilih Bahagia”
ah…jadi menangis membacanya…
Hiks…hiks….
pagi ini kedua kalinya saya baca lagi….
semalem sudah baca…menangis…
pagi ini masih juga….
terimakasih ya mas Aar…
“Apapun yang terjadi, aku ingin tersenyum dan bahagia. Aku memilih untuk bahagia karena kebahagiaanku adalah tanggung jawab pribadiku.”
Salam buat Tanti ya….buat Mbak Lala, Yudhis, Tata n Duta
Mas Aar, apakah sudah coba daun sirsak?
maaf kalau pertanyaan saya tidak membantu
mas AAr… kisahnya inspiring bgt… ga bosen baca ini berkali2… boleh aku share ya buat temen2ku di FB… n buat aku juga pastinya .. yg masih sering ngeras “jungkir balik” makasih 😳
# Mbak Devi: terima kasih, salamnya disampaikan.
# Mbak Ratna: sudah mbak. Sampai sekarang masih minum air daun sirsak. Dulu sempat membaik, tapi memang seperti “balapan” ya antara penyebaran kankernya dan pengobatannya.. 🙁
# Mbak Ira: silakan mbak. Semoga ada manfaatnya bagi yg membaca 🙂
sori Mas Aar, gimana keadaan Tanti sekarang?
Masih terus berjuang mbak Ratna. Menurut dokter, kankernya sudah menjalar ke paru-paru dan bagian lain. Kami hanya bisa berdoa spy Tanti dikuatkan dan dilapangkan-Nya dalam kondisi apapun.. 🙂
amin.
jadi trkesan baca artikelnya 🙂