Lala menulis notes tentang aku, mengenai Bapak Rumah Tangga di facebooknya. Ah, aku jadi pengin malu. Soalnya apa yang aku lakukan masih jauh dari yang ideal, atau setidaknya yang aku harapkan dari diriku sendiri.
Anyway, thanks my dear. Terima kasih untuk komplimennya. Terima kasih untuk apresiasinya. Aku merasa tersanjung..hmm hmm
Mengenai apresiasi, inilah salah satu yang aku sukai dari Lala sejak pertama kali mengenalnya. Dia bukan hanya selalu positif dan optimis melihat hidup, tetapi selalu penuh syukur dan apresiasi (yang diungkapkan secara verbal dengan tulus). Ucapan terima kasih begitu sering keluar darinya. Bahkan untuk hal-hal yang terkadang aku pikir memang sudah menjadi kewajibanku untuk melakukannya. Atau, untuk hal-hal kecil yang mungkin terlihat biasa-biasa saja.
Apresiasi itu bukan hanya membuatku merasa nyaman hidup bersamanya, tetapi juga berkontribusi besar menciptakan spiral positif untuk banyak hal. Juga, mengenai peran sebagai Bapak Rumah Tangga yang ingin aku jalani dengan lebih serius dan lebih baik dari waktu ke waktu.
**
Aku pikir semua yang kulakukan itu adalah hal yang biasa, memperlakukan isteri sebagai individu dan pasangan yang setara dalam artian sebenarnya. Bukankah isteri kita memang bukan pelayan dan bawahan kita?
Apa yang istimewa dari berterima kasih atas apa-apa yang dilakukan isteri, menjadi pendengar yang baik, memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi dirinya sendiri, memperlakukan pendapatnya setara dengan pendapatku, berbagi impian bersama, dan semacamnya itu?
Aku sendiri merasa masih jauh dari yang kuharapkan pada diriku sendiri yang ingin mempraktekkan nilai-nilai kesetaraan. Sebab aku percaya, Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan itu sama dan setara secara esensi. Perbedaan aspek biologis antara laki-laki dan perempuan sama sekali tak bisa menjadi dasar untuk perbedaan peran sosial. Apalagi untuk zaman kini yang semakin berbasis pengetahuan dan kreativitas, bukan hal-hal yang fisik.
Kalau laki-laki membutuhkan dihargai, tentunya wanita juga butuh dihargai. Kalau laki-laki senang dilayani, wanita tentu menikmati juga pelayanan dari pasangannya. Kalau laki-laki punya cita-cita dan harapan, mengapa wanita harus mensubordinasikan miliknya pada laki-laki?
Ah, tapi semua itu mudah untuk dikatakan. Prakteknya membutuhkan tekad dan kerja keras untuk mewujudkannya.
Tantangan terbesar untuk sikap kesetaraan itu sebenarnya adalah diri sendiri. Ada keuntungan pribadi dari struktur sosial yang cenderung menguntungkan laki-laki. Mengapa harus bersusah payah membangun kesetaraan dan mengurangi kenikmatan, sementara nilai-nilai sosial justru menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dilayani dan diutamakan?
Terkadang, kalau lagi malas atau capek, godaan untuk menikmati “status quo” itu selalu datang: “itu bukan tugasku, tapi kewajiban perempuan”.
**
Dalam hubungan dengan anak-anak, yang kulakukan juga belum banyak. Aku memang berusaha untuk terlibat aktif dengan mereka sejak mereka di dalam kandungan hingga setelah besarnya. Aku menikmati semua proses itu dan berusaha untuk tak egois dengan hanya mencari enaknya saja.
Ah, malu rasanya menceritakan karena sebenarnya tak seberapa yang kulakukan. Hanya hal-hal kecil semacam mengganti pampers, memandikan, menggendong, dan membimbing anak untuk tumbuh sejak dini.
Lagipula, aku menikmati kegiatan bersama anak-anak, semisal mandi bersama anak-anak dan bermain bersama di kamar mandi.
Sometimes, yang dibutuhkan adalah reorientasi sudut pandang. Seperti kegiatan memberi makan Duta. Ternyata itu bukan hal yang mudah dan sederhana (*dan itu membuatku bisa lebih berempati dengan ibu-ibu*).
Setelah cukup lama kesal dan tidak sabar saat memberi makan Duta, pada akhirnya aku mulai bisa menikmati ketika aku memperlakukan kegiatan memberi makan Duta sebagai kegiatan meditasi dan berlatih kesabaran, he..he.. So, kegiatan yang kulakukan sebenarnya sama, tetapi aku mengorientasikan diriku untuk melihat kegiatan itu dengan cara yang berbeda.
Satu hal yang aku pelajari dari berbagai kegiatan rumah tangga: semua hal yang kelihatannya tak berharga itu sebenarnya adalah hal yang penting. Itu bukan hal remeh dan tak berharga. Memandikan anak dan memberi makan bukan sekedar mengenai hal itu, tapi juga mengenai berbagi beban (burden sharing), empati dan apresiasi, mendidik diri untuk menghargai hal-hal sederhana, dan yang pasti adalah membangun hubungan psikologis dengan anak. Manfaat psikologis dari pekerjaan sederhana terhadap diri, isteri, dan anak jauh lebih besar daripada beban menyelesaikan pekerjaan itu sendiri.
**
Ah, rasanya kok melantur ke mana-mana. Sekali lagi terima kasih, sayang untuk notes dan apresiasinya. Mudah-mudahan kita bisa saling berbagi dan menguatkan di dalam perjalanan kita yang tanpa terasa sudah berjalan 10 tahun ini. Sepuluh tahun yang terasa singkat karena begitu padat dan penuh dengan kebahagiaan.
Terima kasih Tuhan. Terima kasih cintaku.
8 thoughts on “Aku ingin menjadi Bapak Rumah Tangga”
penghasilan darimana ya pak…TVI itu apa? MLM? 😮
Saya sedang berjuang untuk mendapatkan penghasilan dari mana-mana, bu; terutama dari dunia Internet.
TVI itu semacam bisnis “time sharing” -> mendapat jatah menginap selama bbrp hari di hotel, yang dipasarkan dengan sistem MLM.. 😐
salut untuk mba lala dan mas aar…..trims kalian sdh sharing ya 🙂
Selamat menjadi Bapak Rumah Tangga dan Ibu Rumah Tangga yang baik buat Mas Aar dan Mbak Lala.
Menjadi orangtua yang baik buat anak-anak adalah salah satu tugas besar yang banyak orang tidak menyadarinya.
sangat menginspirasi Mas Aar dan Mba Lala…Mohon izin berguru… 🙂
Mari belajar bersama-sama mas Satria 🙂
Selamat pagi Mas Aar, sebelumnya perkenalkan saya Gita dari Majalah Intisari Kompas Gramedia. Untuk edisi September nanti, kami ingin membahas mengenai bapak rumah tangga dan ketika sedang googling mengenai topik tersebut, saya menemukan tulisan mas Aar ini hehe. Kira-kira Mas Aar bisa tidak ya saya wawancara untuk jadi narasumber dan bercerita pengalamannya menjadi bapak rumah tangga?
Terima kasih 🙂
Sippp 🙂