Dunia yang Semakin Terbuka

Tulisan ini adalah Pekerjaan Rumah dalam Kursus Jurnalisme Sastrawi yang aku ikuti pada 9-20 Januari 2017. Dalam sesi pertama, peserta mendapat tugas untuk membuat deskripsi tentang peristiwa yang dilihatnya.

Tulisan ini merupakan versi revisi berdasarkan masukan yang aku terima saat pelatihan.

***

2017-01-10 Dunia yang Semakin Terbuka

Ruang tamu itu telah berubah rupa. Dia tak lagi menjadi tempat yang rapi nan kosong untuk menerima tamu. Tapi hampir sepanjang hari ruang itu selalu ditempati seorang anak laki-laki usia belasan tahun yang menjadikannya seolah ruang kerjanya.

Seperti siang ini. Dengan posisi tengkurap di kursi sofa yang panjang, wajahnya khusyuk menatap layar laptop yang terhubung dengan Internet dan terbuka di depannya. Kedua telinganya terpasang earphone yang memutar lagu-lagu kesukaannya.

Sesekali dari mulutnya menyenandungkan lagu berlirik campuran bahasa Inggris dan Korea.

“Aku suka dengerin lagu Whistle dari Black Pink,” katanya suatu kali.

Walaupun mulutnya sambil bersenandung, tatapan matanya tak lepas dari layar laptop. Tangannya terus bergerak menggerakkan tuts-tuts kibor. Wajahnya serius. Bergeming. Tak peduli orang-orang yang berlalu-lalang melewati ruang tamu. Sesekali tangannya menggaruk rambut. Lebih tepatnya mengacak-acak rambutnya hingga berantakan. Keningnya yang berkerut seakan memberi tanda pada siapapun bahwa dia sedang berfikir keras dan tidak bisa diganggu.

Sepertinya kondisi itu biasa saja. Yang membuatnya tak biasa, hari ini adalah hari Selasa, saat anak-anak remaja seusianya pergi ke sekolah. Tapi anak laki-laki ini justru berdiam di dalam rumah dan para anggota keluarga yang lain tak menampakkan kegusaran atau wajah risau melihatnya.

Yudhis memang tidak bersekolah karena dia menjalani pendidikan mandiri atau biasa disebut homeschooling, yang membuat kegiatan belajarnya menjadi berbeda dibandingkan teman-temannya.

“Hai, Dhis, bagaimana perkembanganmu?” tiba-tiba suara lantang memanggil Yudhis, nama anak laki-laki itu, yang tak mendengar seruan Lala, ibunya, karena telinganya tertutup earphone.

Melihat ibunya berjalan mendekat, Yudhis melepaskan earphone-nya.
“Ibu ngomong sama aku?” tanyanya.

“Bagaimana perkembangan kompetisimu?” kata Lala mengulang pertanyaannya.

“Aku masih menunggu feedback dari panitia mengenai hasil tugas pemrograman yang kukirim. Ada 2 orang yang sudah menyelesaikan tujuh tugas seperti aku. Kalau tugasku diterima, kayaknya aku bisa masuk 10 besar.”

Yudhis, 15 tahun, saat ini sedang mengikuti sebuah kompetisi pemrograman yang diselenggarakan oleh Google untuk anak-anak setingkat SMP-SMA. Ribuan anak-anak dari berbagai penjuru dunia mengikuti kompetisi yang melibatkan 17 lembaga sebagai partner Google.

Inilah kesempatan anak-anak yang hidup pada saat ini. Berkat perkembangan teknologi Internet, mereka bisa mengakses dan mengikuti kegiatan tingkat dunia dari manapun, bahkan dari rumah.
Seperti yang sedang dilakukan Yudhis. Laptop dan Internet menjadi alat untuk menjelajah aneka kesempatan di dunia yang semakin terbuka.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.