Akhirnya… hari ini aku sampai juga menjejak di kantor Yayasan Pantau, tempat diselenggarakannya Kursus Jurnalisme Sastrawi XXV yang akan aku ikuti. Kursus Jurnalisme Sastrawi diselenggarakan dalam 6 pertemuan selama 2 minggu dengan instruktur Janet Steele dan Andreas Harsono.
Sudah lama aku mendengar nama Yayasan Pantau sebagai lembaga yang mempromosikan gaya jurnalistik sastrawi seperti gaya penulisan di Majalah Tempo. Tapi baru hari ini aku punya kesempatan mengunjungi kantornya.
Hari ini aku mengambil materi Kursus Jurnalisme Sastrawi. Ada 3 materi yang aku terima, yaitu: buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel, buku “Blur” karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel, serta satu bundel fotocopy berisi silabus dan bacaan referensi selama proses kursus.
***
Kursus Jurnalisme Sastrawi
Istilah Jurnalisme Sastrawi mulai kukenal sejak membaca buku “Jurnalisme Sastrawi” sekitar 7 tahun yang lalu. Buku itu merupakan antologi, kumpulan tulisan lepas yang sangat menarik. Isinya adalah liputan & fakta, tetapi dituliskan dengan gaya narasi seperti novel.
Jurnalisme sastrawi atau dalam bahasa Inggrisnya literary journalism adalah sebuah genre penulisan non-fiksi di mana reportase dilakukan secara mendalam dan penulisan dilakukan secara sastrawi sehingga hasilnya enak dibaca.
Jurnalisme sastrawi bertumpu pada fakta, jadi bukan sebuah cerita fiksi ala cerpen atau novel.
Sejak itu, aku sangat ingin belajar tentang jurnalisme sastrawi walaupun aku hanya seorang blogger dan tidak bekerja di perusahaan pers. Setiap kali ada jadwal pendaftaran Kursus Jurnalisme Sastrawi yang berlangsung satu kali setiap tahun, aku selalu tergiur untuk mengikutinya.
Tapi apa daya, kesempatan itu tak kunjung datang. Awalnya kendala ada di dana karena biaya mengikuti Kursus Jurnalisme Sastrawi tidak murah untuk kantong pribadiku. Kalau bekerja di perusahaan media atau LSM, biaya pelatihan menulis itu biasanya ditanggung oleh kantor sebagai bagian program pengembangan diri. Ada juga peserta yang mendapatkan beasiswa, biasanya dari kalangan LSM. Di situ pun aku tak masuk kriteria. Jadilah aku yang bekerja secara mandiri ini harus mengandalkan pengeluaran dari kantong pribadi.
Tahun lalu, aku menekadkan diri untuk mendaftar, tapi ternyata kelas sudah penuh. Maka begitu tahun ini ada pembukaan Kursus Jurnalisme Sastrawi angkatan XXV, aku langsung mendaftar. Biaya kursus sebesar Rp 3.5 juta langsung aku transfer atas persetujuan Lala (ini hal penting karena menyangkut urusan dapur dan pengeluaran yang tak direncanakan, hehehe).
***
Mengasah Keterampilan Menulis
Mengapa aku begitu ingin belajar menulis ala Jurnalisme Sastrawi, aku tak tahu. Bagaimana return of investment dari pelatihan ini, aku juga tak tahu.
Aku cuma yakin bahwa pelatihan ini akan berguna buat diriku untuk pengembangan menulis blog atau buku. Sebagai praktisi homeschooling, aku punya mimpi untuk menuliskan pengalamanku menjalani pendidikan tanpa sekolah bersama 3 anak-anakku. Aku berharap hasil dari Kursus Jurnalisme Sastrawi bisa bisa menjadi tambahan bekalku untuk bisa menulis dengan bagus dan enak dibaca.
Dari sisi membangun budaya belajar, kegiatan ini juga penting untuk menunjukkan kepada anak-anakku bahwa proses belajar itu tak dibatasi usia dan tak hanya untuk mereka. Anak-anak perlu mengetahui bahwa bapaknya yang sudah tak muda lagi ini masih semangat belajar.
***
OK, sekarang saatnya membaca buku dan materi belajar..
2 thoughts on “Bersiap Pelatihan Jurnalisme Sastrawi”
cara belajar agar bisa menjadi seorang jurnalisme yang handa bagaimana ya?
Belajar menulis dan memperbanyak praktek.. 🙂