Hari ini menemukan artikel lama yang menarik. Mudah-mudahan bermanfaat untuk refleksi kita semua sebagai orangtua. Artikel ini ditulis oleh Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.
Berikut ini artikel selengkapnya:
Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang Cepat layu…
Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik.
Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya.
Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua …
Captive market! Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut!
Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidakpatutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidak tahuannya!
Anak-Anak Yang Digegas…
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Diantaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik di dalam dan di luar sekolah.
Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa.
Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber, seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin.
Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan!
Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga.
Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.
Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.
Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu.
Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun. Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif.
Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood Training”.
Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri.
Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-mana, di Indonesia.
“Early Ripe, early Rot…!”
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini.
Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan “peluang emas” bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-kanak (Pra Sekolah).
Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.
Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amerika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah “Era Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.
Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal “The Process of Education” pada tahun 1990. Ia menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga.
Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika . “We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development”.
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang disalahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana!
Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk… early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep “kesiapan-readiness ” dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological limititations on learning’. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi “miniature orang dewasa “. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa.
Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan?
Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit.
Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan,
Cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.
Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki “Heintje” di era tahun 70-an… I’m Nobody’S Child I’M NOBODY’S CHILD I’M nobody’s child I’m nobodys child Just like a flower I’m growing wild No mommies kisses and no daddy’s smile Nobody’s louch me I’m nobody’s child.
Dampak berikutnya terjadi … ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut.
Patricia O’Brien menamakannya sebagai “The Shrinking of Childhood”. Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks ” serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak memiliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknva.
Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella Syndrome” yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi menghindari kehidupan nyata yang mereka jalani.
Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu.
Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di lembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.
ERA SUPERKIDS
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva “be special ” daripada “be average or normal” semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi “to excel to be the best”. Sebetulnya tidak ada yang salah.
Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya…maka lahirlah anak-anak super—“SUPERKIDS’ “. Cost merawat anak superkids ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya “earlier is better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik.
Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah… ketika anak anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!
BERBAGAI GAYA ORANGTUA
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan “mis-education” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya. Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:
Gourmet Parents– (ORTU B0RJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi!
Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka “superkids” merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.
Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknya baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya.
Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah banyak kelompok orangtua “gourmet ” atau kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.
College Degree Parents — (ORTU INTELEK )
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding dan kegiatan ekstra kurikular lainnya.
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka “Superkids “, apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah.
Gold Medal Parents –(ORTU SELEBRITIS )
Kelompok ini adalah kelompok orangtua yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang.
Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan.
Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi “seorang Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi “Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara anak kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar.
Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini.
Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!
Pada tanggal 29 Mei lalu kita saksikan di TV bagaimana bintang cilik “Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal.
Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. Kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang “superkid” –seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film….
Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayan professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan.
Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya “Superkids” –earlier is better”.
Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.
Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya.
Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka lebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat tempat tawuran yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep “Superkids”.
Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini.
Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi “steril” dengan lingkungannya.
Prodigy Parents –(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukses dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.
Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah.
Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan Glenn Doman , atau “Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan Siegfried, “Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese Engelmann, dan “Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 9 Hari” karangan Sidney Ledson.
Encounter Group Parents–( ORTU NGERUMPI )
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya.
Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anak dengan berbagai perilaku “gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak.
Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka.
Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.
Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Kelompok ini tidak berpeluang menjadi orangtua yang melakukan “miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mereka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar.
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mereka begitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan di dirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik!
Kamu harus tahu bahwa tiada satu pun yang lebih tinggi, atau lebih kuat, atau lebih baik, atau pun lebih berharga dalam kehidupan nanti daripada kenangan indah; terutama kenangan manis di masa kanak-kanak. Kamu mendengar banyak hal tentang pendidikan, namun beberapa hal yang indah, kenangan berharga yang tersimpan sejak kecil adalah mungkin itu pendidikan yang terbaik.
Apabila seseorang menyimpan banyak kenangan indah di masa kecilnya, maka kelak seluruh kehidupannya akan terselamatkan. Bahkan apabila hanya ada satu saja kenangan indah yang tersiampan dalam hati kita, maka itulah kenangan yang akan memberikan satu hari untuk keselamatan kita” (destoyevsky’ s brothers karamoz)
PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah “Industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan.
Pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah. Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi buku pelajaran” ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran.
Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan “mesin-mesin dalam menskor” capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sekolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak.
Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran?
Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-perilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah? dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk….
Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya! Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90% kognitif dengan 10 % afektif.
Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the oppressed” terhadap anak-anak didiknya. Di mana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire,1993).
Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah….
Mengkompetensi Anak merupakan ” KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN”
Anak adalah anugrah Tuhan… sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggungjawab. “(Nature versus Nurture) bagaimana ?” Karena ada dua pengertian kompetensi. kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pembelajar, maka mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.
Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut : “Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select — doctor, lawyer, artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of this talents, penchants, tendencies, vocations, and race of his ancestors ”
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi dini” setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada tahun 1979. Di mana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill)” dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut : “The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were… simply proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey.”
Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. Semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-kompetensi perolehan pengetahuan hanya secara kognitif.
Oleh karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja!. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan -“curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita. Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan!. “Empty Sacks will never stand upright” — George Eliot
Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari “karakter”. Di mana mereka mendidik anak menjadi “good and smart ” terang hati dan pikiran.
Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas.
Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya berjam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia. Thomas Edison mengatakan bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “.
Semangat belajar “encourage” tidak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati, kesukaan dan kecintaan belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak. Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr ). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik ….
PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran “good and smart” merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua.
Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.
Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan! Lihatlah nanti ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.
116 thoughts on “Anak-anak Karbitan”
hanya satu kata..woooow…
Mas Aar/Mbak Lala,
Saya share lg yah …
Trim ksh ‘n Gbu
Sama-sama mbak Utamy.. 🙂
sangat menggugah, anak2 hanya mengikuti orangtua,…
bisakah kita mengedukasi orangtua, tanpa embel2 produk tertentu, sehingga anak2 indonesia bisa menjadi lebih baik lahir dan batin?
semoga….
saya ikut meng-share yaaa…
salam
Silakan mbak Carolina,
Kegiatan Funtastic String Ensemble-nya menarik mbak.. Senang melihatnya.. ^_^
luar biasa tulisannya mas. tulisan Anda adalah salah satu jawaban terbaik, kegelisahan saya memandangi rotasi pendidikan yang berkembang sekarang ini. Banyak sekali sekolah sekolah baru bermunculan dengan tawaran model model kemauan orang tua terhadap anak yang anda tampilkan dalam aneka contoh pandangan orang tua tentang pendidikan. Banyak orang tua hanya berorientasi pada pendidikan sebagai produk yang seakan terlepas dari proses dengan aneka tantangan alami yang dapat membentuk keseimbangan otak kiri dan kanan anak. selamat berjuang mengembalikan kesalahkaprahan orientasi pendidikan sekarang ini. Gbu
permisi, saya salah seorang mahasiswa yang mempelajari juga mengenai psikoloogi anak dan tumbuh kembang manusia. Awalnya yang m,embuat saya terytarik dengan blog anda adalah “anak karbitan” saya pikir itu hanya kiasan yang bermaksud lelucon saja teapisetelah saya baca posting anda, saya sangat tertarik untuk menuliskan komentar saya disini.
Menurut saya memang pengaruihn orang tua sangat besar terhadap perkemabangan anak. tapi mengenai homes chooling itu sendiri aku mau tanya, memang kalau home schooling itu gmna akkalo mau lanjutin sekolahnya?kankalo kita sekolah formalkita punta sttb ato pun ijazah. Nah kalohome schooling iotu bagaimana?
Bukannya kalo home scholoing juga membatasi lingkungan sosial anakya?
saya ikut menshare ya>>>mohon bantuannya saya ingin mengetahui banyak tentang psikologi….terimakasih 😉
Menurut saya, homeschooling (HS) itu sama sekali tidak membatasi lingkungan sosial anak mbak. Justru anak2 HS memiliki waktu dan kesempatan yang lebih banyak untuk bersosialisasi dengan orang2 dari berbagai usia dan profesi. HS memungkinkan kita menyediakan ruang sosial yang baik untuk anak, dimana mereka dihargai ucapannya, dibesarkan hatinya, digugah pemikirannya, dan diluaskan wawasannya, pendek kata, HS memungkinkan kita (orangtua) memberi momen sosialisasi terbaik bagi anak di masa2 emas pertumbuhan karakternya. Beda dengan anak2 yang bersekolah di sekolah umum, berdasarkan pengalaman saya ya memang betul saya memiliki banyak sekali teman2 sebaya di sana, tapi sulit bagi saya menemukan kebaikan/benefit dari sosialisai2 yang “bebas” semacam itu, dimana bullying adalah hal biasa, pornografi menelusup rapi di bawah meja, dsb. Kalau saja orangtua saya tidak menitipkan saya pada Allah dalam setiap doa2 mereka, entahlah saat ini saya jadi manusia yang seperti apa. 🙂
Orang tuanya cocoknya kerja dimana ya supaya hal2 normatif yg mbak sebutkan soal Home schooling itu dapat terwujud?
soal bullying di sekolah itu kok seolah2 semua anak mengalami bullying. Sekolah ngga semengerikan itu. Ngga tau deh buat mbak gimana.
Leli Dwi,
Penjelasan lengkapnya ada di buku “Homeschooling Lompatan Cara Belajar” dan “Warna-warni Homeschooling” yang diterbitkan penerbit Elex Media Komputindo.
Kalau singkatnya dapat dibaca di ebook “7 FAQ Homeschooling” berisi jawaban terhadap 7 pertanyaan mengenai homeschooling yang sering ditanyakan.
Ebooknya dapat didownload gratis di situs http://www.bentangilmu.com
➡
Ada sekolah d yogya yg mendekati penjabaran d atas, d mana anak diajarkan tanpa tekanan,penuh eksperimen. Utk sd smp sma. Sedang paud dan tk nya anak diasah kognnitif dan emosinya jg, guru senantiasa memotivasi anak2 balita ini utk semangat bljr hingga mrk selalu rindu sekolah. Tp trnyt konsep baru dan indah ini tdk mudah utk diterapkan scr luas, msh byk yg meragukan kualitas nya. Mendobrak hal yg sudah umum memang sulit ya…
boleh tahu sekolah mana itu mbak? kebetulan saya tinggal di yogya dan sedikit bosan dengan model sekolah yang terlalu akademis.. nuwun 🙂
Hmmmm… Benar2 membuka wawasan yg slama ini sangat terbatas. Terima kasih ya sharingnya 🙂
saya termasuk yg memasukkan Anak pertama saya di playgroup. Bukan untuk mengkarbit, tp untuk mencoba. Hehe tega jg ya Anak jd ajang coba2. Tp bagaimana lagi, sy benar2 ingin tau bagaimana sistem Pendidikan formal bisa gagal Dan tidak bisa hanya mendengar cerita orang.
Yg mengganjal dari observasi saya terhadap homeschooling ini, adalah kurikulum. Sudah browsing, belum dpt juga. Apakah mesti join ke lembaga yg menyelenggarakan HS Baru dpt kurikulum? Belum lg lokasi sy lumayan Jauh, takutnya Kalau mentok HS-nya, ga ada yg bisa diminta tolong hehe
Sebelum Tanya lebih banyak, saya akan baca dulu Buku Dan website yg mas sarankan diatas 🙂 sekali lg thanks sharingnya.
goood…goooood….. Sangat bermanfaat…. 😮
Artikel ini telah menyadarkan saya ,kebetulan saya mempunyai anak yg usianya 5 tahun .TERIMA KASIH BANYAK
Informasi yang sangat berharga..Thx ya. Izin share boleh ya? 😮
thank you very much, informasi ang sangat mencerahkan!sangat-sangat bermanfaat bagi saya sebagai seorang pendidik PAUD
Thak you so much… jadi makin yakin dengan pilihan yang mau di ambil!! Tadinya aq berpikiran sama dengan ortu2 karbitan yang ingin punya anak karbitan juga… Tapi setelah mbaca ini jadi ngerti deeeh………. sakali lagi matursuwun… jangan lupa terus share ya……..
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran “good and smart”
itu adalah harapan dan perjuangan kita bersama, orang tua, masyarakat termasuk lembaga pendidikan, juga pemerintah. melalui jalur sekolah ataupun luar sekolah formal seperti homeschooling.
trims sudah berbagi!
Mbak Ani,
Mari bersama-sama berbagi dan saling menginspirasi melalui jalan yang manapun untuk kebaikan anak-anak Indonesia.. ^_^
pak aar, tulisan ini bagus sekali, boleh tdk saya share di fesbuk saya?? thanks b4
Silakan mbak Eny 🙂
pas bgt sy lg browse ttg paud n nemu ini.saya jg dr seb nikah ga setuju dgn sistem kebut otak kiri pd anak.makanya prihatin ponakan sy dimasukkan ke kumon,tp ortunya bangga.smg banyak ortu yg tambah ngartii.mas aar ad masukan ga,sy pgn masukin anak sy ke paud spy bs sosialisasi ma tmn sebaya,bukan maksa dia u belajar..ntn sy share k adik sy ya…thx alot atas pencerahannya 😉
mas Aar boleh saya share di blog saya ya…boleh ya…..:) terimakasih..:) 😉
Silakan mbak Lea 🙂
betul itu…
kreativitas pun berkurang..(gara” di’karbit’) 😐 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁 🙁
betul 3x..
dengan di KARBIT..
cepat bersinar..
namun cepat redup..
bahkan padam..
let they grow naturally.. 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉 😉
not because your ambitions,,
memang terkadang anak-anak itu menjadi “pelampiasan ambisi orang tua”.
Orang tua yang hidup dengan tidak ideal, akan berusaha memaksa anak untuk hidup seideal mungkin, harus nyaman, harus paling pinter, paling jago ini, jago itu, dsb.
akibatnya anak-anak dipaksa mengikuti kegiatan ini-itu, yang tanpa disadari, orang tua melupakan kebutuhan dasar sang anak.
semoga kita semua diberikan kemudahan dalam memberikan yang terbaik bagi buah hati kita.
Kok jadi curhat sih bet…. 😀
Klo menurut gw sih bkn cm ortu yg hidup gak ideal yang memiliki idealisme mengenai masa depan anak2nya, tp jg dari ortu2 yg sangat memiliki kehidupan yang ideal.
Anak yang jadi korban…?
Mungkin aja…tp kadang anak pun harus dikasih “motivasi” lebih dari sekedar diminta, kadang musti “dipaksa”…tinggal bagaimana kita sebagai ortu tau gimana cara “memaksa” ato istilah kerennya nge-PUSH anak dengan baik dan bijak.
Ijin share ya mbak…….thanks
ijin share ya mbak-mas…matur nuwun
@mey: sy tidak bermaksud promosi lho,tp ini fakta yg sy lihat. Datang lgsng aja ke bustanul u’lum di belakang hotel indah palace prawirotaman,daerah yogya selatan.
ikut share ya pak, trims
Silakan mbak Prima dan teman-teman lain yang mau men-share 🙂
Luar biasa, anak-anak itu adalah mutiara yang terpendam, perlakuan terhadap mereka harus serupa dengan perlakuan terhadap mutiara, atau bahkan melebihi, karena nilai seorang anak jauh melebihi nilai mutiara.
Ilmu baru nieh, siipp mass, salam
Salam kenal, kalau berkenan mampir ke webku yach… 🙂
Inspiring. Walaupun banyak kekurangannya dr artikel ini. Lupa ya bagaimana Rabi’ah ar Rayi sudah menjadi ulama besar sejak usia belasan tahun, Imam Syafi’i, dan banyak ilmuan muslim lainnya spt Al-Biruni, dll. Kondisi diatas harus dilihat juga dalam paradigma sosiologi spt apa. Karena Pendidikan bukan berada di ruang vakum. harus dilihat paradigma lingkungan yang menyertainya. Sumber tulisan tadi hanya berasala dari paradigma masyrarakat materialis.
menyambung tulisan pak Hery Soe, untuk Rabi’ah Ar Rayi , Imam Syafi’i dan banyak ilmuwan muslim jaman dulu, sepertinya yang digegas pada mereka adalah otak kanannya, bukan otak kiri seperti anak2 jaman sekarang.
Bukan yang mereka kembangkan adalah keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan anak. Sesuatu yang berlebihan itu jelek bukan? 😀
mo nimpalin dikit nih. saya setuju dengan pak Furqon yaitu keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan. bukan hanya IQ saja yang diutamakan tapi emosional quetion (EQ) dan social quetion (SQ). dari pada mendengatkan musik klasik kepada anak lebih baik mendengarkan lantunan ayat Al-Quran. tapi tidak untuk menuntut anak untuk menghafalnya. bukankah mendengarkan ayat suci Al-Quran membuat hati kita menjadi tenang. begitu juga dengan anak.
Mbak Lala dan Mas Aar, kayaknya aku define diriku sebagai orangtua paranoid sementara suamiku orangtua milk and cookies :).
Maksudnya gimana sih anak-anak jadi steril dengan lingkungannya? Makasih ya…
Mbak Annisa,
Saya bukan penulisnya, mbak. Jadi hanya bisa meraba2 maksudnya. 🙂
Mungkin maksudnya adalah perlindungan yg terlalu kuat dari orgtua yg mengakibatkan anak tidak terbiasa dilepas di dunia nyata. Padahal, kegagalan & masalah2 di dunia nyata juga bisa memperkuat anak..
terima kasih saya mendapat pencerahan.
jadi sekolah yang baik itu arah pendidikannya harusnya bagaimana ya mba ?
mohon arahan. terima kasih sebelumnya
Terima kasih atas ilmu yang bermanfaat, semoga sehat n terus berbagi, amin
Suka mak sama ulasannya. Saya setuju sangat, makanya anak-anak saya, saya masukkan di sekolah negeri biasa, tapi ya tetap saya perhatikan standarnya walaupun itu sekolah gratis. Dan sampai sekarang, anak2 tidak saya ikutkan les pelajaran apapun, kecuali les bola, mewarnai atau menari, itupun atas permintaan anak-anak. Alasannya, karna disekolah sekarang, pelajarannya aja udah banyak banget (MIN). Jadi pulang sekolah, anak2 saya suruh istirahat aja (biasanya mereka baca baca buku cerita), sorenya baru main sama teman diluar, hampir magrib kembali kerumah. Baru ritual belajarnya pas sehabis magrib itu (sholat magrib, ngaji, ngafal satu ayat AlQur’an aja, buka buku pelajaran setengah jam, istirahat, tidur)
Saya gak terpengaruh dengan euforia sekolah internasional, standar internasional, atau les tambahan. Justru di sekolah biasa mereka banyak belajar banyak hal tentang berbagai perbedaan sosial. Karena di sekolah mereka ada anak yg dr ortu borju sampai anak tukang es teh poci yang jualan di depan sekolah.
0-1 tahun harus asi, 1-5 tahun sayangilah oleh kedua orang tua dg kasih sayang yang mengajarkan permainan,dan etika 5-7 tahun ajari sholat, anjuran alquran…anak boleh di paksa nuruti perintah bila sudah umur 7 tahun.. dan setelah 7 tahun ajarilah berenang, memanah dan menunggang kuda ( untuk kemandirian kelak )
Thanks ulasannya..saya ijin share yaa pak Aar..;)
wah.. saya ketinggalan jaman nieh… udah di tulis 3 tahun lalu saya baru baca… terimakasih Mas.. Inspiratif!
Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis.
–>
Pada kalimat ini, saya kurang setuju. Karena sama dengan mengatakan bahwa “hanya ortu yang bahagia semasa kanak-kanak yang bisa menghasilkan anak-anak yang “seharusnya””.
Masa kecil saya tidak bahagia, namun saya sadar akan hal itu dan memperlakukan anak persis seperti yang ditulis di bagian “Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)” tersebut.
Selain itu, saya setuju dengan isi tulisan artikel ini.
Salut.
saya berharap ada hasil riset dan hasil penelitian yg dicantumkan sebagai penguat isi artikel ini. terima kasih.
Lalu bagaimana agar anak-anak kita tidak menjadi anak karbitan mas?
Artikel yg sangat bagus, saya sebagai orangtua juga terkadang bimbang apakah polsa didikan saya thd anak sudah benar, paling tidak sudah dapat pencerahan dari sini, thanks Pak 🙂
Mantap.
Sangat bermanfaat, Izin untuk share ya?
panjang sekali artikelnya, dan akhirnya bisa kelar juga dibaca.
Jadi harus sabar mendidik anak, tidak perlu terburu buru mengajarkan yang sebenarnya belum waktunya.
Terima kasih artikelnya, sungguh menarik
Pak Aar ijin share ya. Saya jg sdng membaca buku bpk warna warni homeschooling. Trims sdh berbagi ilmu
orang tua saya menyarankan gk usahlah ikut PAUD, cukuplah setahun saja masuk TK & masuk SD klo sdh 7 thn.. #orang tua guru SD
Love it,,,,kut share yah,,,
terimakasih mas Aar atas pencerahan ini 🙂
Salam Sayang Anak 🙂
Mas Aar,
keren banget nih tulisannya. sebagai orang tua, semoga kita bisa memilih dan memilah pendidikan yang diterapkan untuk anak secara bijaksana dimana sesuai dengan umur dan kemampuannya. setiap anak itu unik…. 🙂
#Mb Renita: semoga menjadi alat untuk refleksi kita sebagai orangtua ya.. 🙂
Sangat membantu untuk menjadi bahan evaluasi.
Ijin Share ya Pak. God Bless
alhamdulillah dapet ilmu
salam kenal semuanya
mampir di web ku ya
korelasi antara tingkat pendidikan (IQ) dan kesuksesan hidup lebih rendah dibandingkan tingkat kesantunan/ahlaq (SQ+EQ) dan kesuksesan hidup.
Ijin share ya pak
Silakan mbak, feel free 🙂
bagus sekali tulisannya pak..
Artikel yang menarik rasanya jadi bercermin pada diri sendiri,
setelah jadi ibu dari 3 jagoan, tidak ingin memaksakan mereka cepet pintar.. hanya ingin mereka memiliki etika berperilaku dan tanggungjawab sejak dini terhadap diri dan agama sambil memberikan kesempatan mereka mengembangkan bakat dan minatnya.. Alhamdulillah si sulung dan adiknya telah meraih hampir 30 piala dalam berbagai lomba melukis dan mewarnai. saat ini mereka duduk di SD kelas 3 dan 2 SD negeri.
selalu menanti updatenya..
ijin share, tks ya
Silakan, feel free 🙂
ijin share yah..
tipe anak saya banget tuh einsten…di sekolah nggak mau nulis dan suka melamun, tp klo ditanya dia ngerti kok
Silakan mbak 🙂
Yup makasi banget ya skrg aq jd lbh bisa memahami bgmana mendidik anakq kelak. Mumpung masih 1 th 8 bulan. Btw aq ini juga manusia karbitan. Aku sekolah akselerasi 2 tahun waktu sma di bekasi. Dan sudah merasa cukup gila sewaktu menjalaninya dan sesudah lulus. Akhirnya waktu masuk waktu kuliah kyk orang bingung pengen masuk jurusan apa. Sudah menjalani fakultas teknik sipil 2 th aq keluar dan masuk fakultas kedokteran. Tp anyway skrg aq dah jd dokter. Alhamdulillah. Tp q ingatkan jg untuk para parents bahwa saya tidak nyaman untuk menjalani sekolah karbitan, apalagi untuk diterapkan pada anak anda. Makasi sekali lagi infonya, semoga ilmu baru ini bisa saya terapkan dg baik untuk buah hati saya. Yang alami memang lebih baik. Cuma bingung ya. Kalo home schooling kasian juga y kan kurang bersosialisasi. Apakah ada ide lain?
setelah membaca artikel ini,,saatnya introspeksi diri terhadap pendidikan yang selama ini saya lakukan untuk anak anak saya,,terima kasih atas infonya Pak,,
saya salah satu yang hampir terjebak dengan metode secepatnya memberi pelajaran calistung, udah sempet beli kartu belajar yang akan saya terapkan kepada anak saya waktu itu baru 4 bulan
beruntung tidak berlanjut, dan hanya bertahan 2 minggu
ditambak dengan informasi dari artikel ini..alhamdulillah
terimakasih banyak
kita memang harus mengikuti perkembangan anak. mengarahkan perkembangan anak ke yang lebih baik 🙂
artikel yang sangat menarik dan insyaAllah bermanfaat….
ijin share ya Pa 🙂
artikelnya sangat bermanfaat,ijin share
Artikel yang menarik tapi menurut saya agak aneh. Penulis artikel berasal dari Depdiknas, jadi harusnya mereka sadar dengan masalah ini. Tapi kok tetap membuat kurikulum yang merupakan anti thesis dari artikel ini. Saya gagal paham.
Bagus banget tulisannya. Izin share ya, insya allah bermanfaat bagi saya pribadi dan yang membacanya.
Terimakasih pada penilis. Izin copas juga ya ke blog saya.
Sumber ke artikel ini jangan lupa dituliskan ya mbak 🙂
Menjadi acuan sebagai ortu yang bijak.. Ijin share
Artikel yang sangat bagus. Terima kasih telah berbagi ilmu, dek.
sangat bermanfaat sekali tulisannya ..trims smg jd pencerahan untuk para orang tua dalam mendidik anaknya..izin share ya
..
Informasi yg membuat saya berfikir fitrah seorang ibu dan hak seorang anak..
Semoga bisa mengaplikasikan ilmu2 di atas dan menjadikan anak2 kita yang berakhak dan berilmu serta membanggakan bagi agama dan bangsa
artikel yg menarik ijin share tulisannya
Tq mas aar, cukup inspiratif mas
Thanks infonya, izin share ya…
Wooow,,,
Terima kasih telah memberi masukan yg berharga
Terimakasih buat informasi dari artikelnya,..tepat sekali dilema yang saya alami dalam dunia pendidikan anak, sekolah jadi industri, orang tua berlomba-lomba membuat anaknya jadi superkids,. sekali lagi terimakasih telah mengingatkan saya bahwa kespesialan anak akan muncul dengan sendirinya pada waktunya,.cinta kasih, perhatian dan semangat yang lebih penting,..GBU
Menarik, anak-anak jgn sampai kehilangan masa kanak-kanaknya, yg instant memang ga tahan lama, proses yg dipercepat tentu ada yg dilompati jdnya tidak sempurna.
http://www.sidis.net/Sperling.htm
Link ke ulasan lengkap tentang anak jenius yg di judge oleh artikel diatas bahwa pada akhirnya menjadi malas berfikir. Banyak juga contoh anak-anak yg ikut les tambahan sejak dini dan berhasil. Anak saya salah satunya, namun memang saya tidak memaksa, saya melihat bakatnya di rumah yg senang matematika lalu karena keterbatasan saya maka saya cari lembaga yg bisa mengasahnya bukan memaksanya.
mas Aar maaf, kalo saya amati saat ini sekolah negeri kita sepertinya malah yg menuntut anak terlalu berat ya…
pr yg banyak, tugas2, dll.
belum lagi 1 guru mengawasi 40 anak dlm 1 kelas jadi mau bgaimana lagi fungsinya rata2 adalah sbagai penyampai isi buku saja.
pertanyaan saya: bgaimana sharusnya peran kita yg proporsional kpada anak?
kalo kita terlalu mnuntut anak sejak usia dini kurang baik untuk mental anak kedepannya.
tetapi masuk skolah dasar skarang harus sudah bisa calistung. sedangkan di usia taman kanak2 dikatakan tidak baik kalo sudah mengajari calistung.
jadi kita sebagai orang tua harus bagaimana sbaiknya dalam memberikan pendidikan kpada anak?
terutama untuk anak usia prasekolah.
terimakasih sbelumnya.
Saya ijin share mas…
Ikut merasa dicubit. Saya merasa cenderung jd ortu versi educated parents.. harus berussha keras jd ortu yg menyenangkan utk anak.
Tulisan ini sy share di fb, krn ada byk teman yg cenderung memaksakan bacaan tak sesuai usia anak. Mdh2an jd bahan renungan saya n suami.
Makasih
ijin share ya pak…terimakasih…
Silakan 🙂
Terima Kasih Informasinya
Terima Kasih Informasinya
Izin share pak..
Silakan 🙂
Keren,saya suka tulisan ini…membuka mata saya sbg orang tua..smg bisa mnjd milk n cookies parents…insA..aamiin…thank you 🙂
bagus bgt articelnya, menjadi pembelajaran buat orang tua, jangan kemauan n kehendak kita para orangtua tanpa memikirkan aspek n efek bg ank2 kita
ijin share yah mas
thanks
Paling suka dengan artikel ini dan sudah saya share beberapa kali
Saya suka artikel ini, sangat membuka wawasan.
Saya sendiri memasukkan anak saya ke playgrup lbh awal krn sy sibuk bekerja, dr pada sama pembantu lbh baik disekolahkan sy pikir begitu. Saya sangat ingin terjun lbh dlm mengasuh dan mendidik anak2 saya, smg dlm waktu dekat sy bisa mengurangi aktivitas saya.
Saya suka sekali artikel ini…
Karena banyak juga orang tua yang berlomba2 mengkarbit anak2nya sedini mungkin. Oleh karena itu, artikel ini bisa menjadi referensi yang tepat bagi orang tua untuk memahami perkembangan intelektual anak-anak tanpa perlu mengkarbitnya… Semua anak itu cerdas,,, dan perkembangan setahap demi tahap akan menghasilkan kecerdasan yang luar biasa dahsyat sesuai dengan jenjang dan masanya.
..teringat kala masih di jogja baca buku “sekolah itu candu”
Sangat menginspirasi orang tua baru seperti saya, semoga tidak salah langkah, dan artikelnya jd pengingat diri supaya lebih bs menikmani proses perkembangan ank dibanding menuntut hasil saja..
Save our childs!!!
Ijin share ya pak
terimakasih infonya, ini akan jadi pembeljaran buat kita para orang tua untuk tidak selalu mengedepankan ambisi dan mengorbankan perasaan anak
bagus bgt artikelnya, dijadikan buat pembelajaran bagi orang tua, jangan kemauan n kehendak kita para orangtua tanpa memikirkan aspek n efek bg ank2 kita.
ijin share yah mas. dan artikelnya jd pengingat diri supaya lebih bs menikmani proses perkembangan ank dibanding menuntut hasil saja..
thanks
Artikelnya Snagat Bagus Pak, Saya Mau Ijin share boleh tidak pak??
Silakan
Tulisannya relate dgn kondisi pendidikan anak-anak kita zaman sekarang ini
salam kenal pak Aar
Salam kenal mas Edi
ijin share, tks ya gan
artikel ini sangat mencerahkan untuk calon orang tua, orang tua baru atau lama, di mana di sini memang penting untuk mendidik anak sesuai kebutuhan dan masa kembangnya agar kelak anak-anak dapat tumbuh dan hidup dengan baik