Hampir semua orang yang bersinggungan dengan teknologi komputer niscaya mengenal Steve Jobs, pendiri Apple yang melahirkan beragam produk revolusioner seperti Macintosh, iPod, iPhone, dan iPad. Aku mengetahui nama Steve sejak SMA, sekitar 25 tahun yang lalu (wow! sudah tua ya). Cerita tentang rivalitas Steve Jobs dengan Bill Gates yang mendirikan Microsoft bagaikan bayang-bayang di dalam pengetahuanku selama belajar dan menggunakan komputer.
Tetapi perkenalan personalku dengan (produk) Steve Jobs sebenarnya baru dimulai sejak pernikahanku dengan Lala sekitar 12 tahun yang lalu. Lala menggunakan produk-produk Apple untuk bekerja, membuat karya musik dan grafis.
Persentuhan langsung dengan produk-produk Apple ternyata sedikit-banyak memengaruhi cara pandangku terhadap Apple, yang sebelumnya kupandang lebih sebagai perusahaan teknologi yang memiliki keahlian marketing (menyasar high end users, better design, dan sekaligus over price). Sebagai seorang engineer yg belajar bisnis, tadinya aku melihat
Tapi dari diskusi dengan Lala dan mengalami sendiri persentuhan dengan produk-produk Apple, aku menyadari bahwa Apple memang memberikan sebuah hal yang berbeda dibanding produk-produk Microsoft atau open source. Dan perbedaan itu sangat dikenali dan krusial oleh sebagian besar pekerja seni profesional.
Hal yang penting itu adalah user experience. It’s beyond technical things, seperti kecepatan prosesor, kapasitas penyimpanan, kecanggihan program. Isunya bukan “hardisk yang dibungkus secara keren”, sebuah olok-olok tentang iPod, tetapi pengalaman menikmati musik yang baru bisa dirasakan dan dihargai ketika orang menggunakannya dan menikmati aktivitas mendengarkan musik.
Apple adalah perihal pengalaman pengguna yang dirancang sebagai buah dari sistem yang terkontrol, mulai hardware, software, hingga environment-nya. Kontrol terhadap produk adalah ideologi utama Steve Jobs, yang membedakannya dengan sistem lisensi ala Microsoft (Bill Gates) atau sistem terbuka (open source) seperti Linux.
Mengenai pertarungan “ideologi” ini, ada cuplikan percakapan menarik di akhir masa hidup Steve Jobs, saat Bill Gates mengunjunginya:
“Dahulu aku percaya bahwa cara yang lebih terbuka dan horizontal akan menang,” ujar Gates kepada Jobs. “Namun kau membuktikan bahwa cara yang terintegrasi dan vertikal bisa berhasil juga.”
Jobs menjawab dengan pengakuannya sendiri. “Caramu berhasil juga,” ujarnya.
Pujian Jobs & Gates itu adalah hal yang jarang karena sepanjang karir mereka selalu bersaing melalui produk-produk dan ucapan-ucapan mereka yang saling mengecam dan mengkritisi.
***
Pengalaman personal itu yang menghantarkan aku ketika mulai membaca buku “Steve Jobs” karya Walter Isaacson. Dalam edisi bahasa Indonesia, buku ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang.
Kesan pertama ketika buku Steve Jobs ini datang dari pemesanan di toko buku online adalah “Wah.. tebel banget ya?” Hampir seisi rumah nyengir melihat ketebalan buku 742 halaman itu. Untunglah kertas yang dipilih adalah book paper sehingga buku itu tak terasa berat.
Awal memegang buku itu, yang aku lakukan adalah membolak-balik buku. Melihat back cover, melihat daftar isi, dan melihat buku secara sepintas. Ketika di bagian belakang aku menemui kumpulan foto-foto pribadi tentang Steve Jobs, dari sana aku memulainya yang kulanjutkan dengan pengantar oleh Walter Isaacson yang menuliskan tentang latar belakang dan proses penulisan buku ini.
Dan selanjutnya, aku hanyut dalam aliran cerita tentang Steve Jobs masa kecil dan seterusnya. Kumpulan fakta dan sudut pandang dari berbagai tokoh yang terlibat dalam kehidupan Jobs ditampilkan dalam gaya bercerita ala Isaacson, menciptakan alur cerita tentang kehidupan Steve Jobs yang menarik dan tak monoton.
Kehidupan Steve Jobs yang kompleks, proses jatuh bangun pribadi, produk, dan perusahaan yang didirikannya (Apple, Next, Pixar) dituturkan dengan cara menarik. Ini bukan buku puja-puji Steve Jobs. Sisi-sisi negatif dan sudut pandang lawan pun ditampilkan apa adanya di buku ini. Aku mengalami banyak sekali ekstase sebagai pembaca buku ini. Rasanya seperti membaca sebuah biografi spiritual, walaupun buku ini bukan tentang spiritualitas. Banyak insight dan perspektif baru yang aku peroleh dari proses membaca buku ini.
***
Bagi penggemar buku biografi, behind the scene, teknologi, bisnis, dan humaniora; buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca. Tantangan membaca buku ini hanya satu, yaitu ketebalannya. Dengan ketebalan 742 halaman, dibutuhkan waktu yang cukup banyak untuk bisa menikmatinya. Aku membutuhkan waktu 4 hari untuk menuntaskannya hingga akhir.