Better Late than Early

Lebih baik terlambat daripada terlalu cepat, better late than early. Itulah inti dari penelitian dan pemikiran Dr. Raymond and Dorothy Moore, yang kemudian juga menjadi judul buku yang ditulisnya.

Pemikiran dan buku “Better Late than Early” berada dalam momentum awal pergerakan homeschooling di Amerika, awal tahun 1970-an. Dr. Moore menyatakan bahwa pendidikan formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tidak efektif, tetapi sesungguhnya berakibat buruk pada anak. Pendidikan formal yang terlalu dini dinilai sebagai salah satu sumber dari problem perilaku anak pada usia remaja.

Pandangan ini berasal dari penelitian mengenai ikatan psikologis anak dengan orangtuanya. Menurut mereka, ikatan anak-orangtua di rumah pada masa dini sangat penting dan mempengaruhi hasil jangka panjang. Ikatan ini tidak bisa digantikan ataupun diperbaiki setelahnya di dalam sebuah institusi seperti sekolah. Oleh karena itu, memisahkan anak sejak dini untuk dimasukkan ke sekolah bukanlah sebuah gagasan yang baik, tetapi justru berpengaruh buruk pada perkembangan anak.

Menurut penelitian Dr Moore pada anak-anak berkebutuhan khusus, mayoritas anak memiliki perkembangan yang lebih baik ketika berada dalam pengasuhan di rumah, bahkan oleh orangtua yang biasa-biasa saja daripada diasuh oleh guru yang hebat di sekolah. Pelajaran sekolah (kognitif) itu dapat menunggu dan tak masalah anak-anak agak terlambat mempelajarinya karena mereka bisa mempelajarinya dengan cepat. Tetapi, perkembangan emosi dan psikologi anak tak bisa menunggu dan perlu dikembangkan pada waktunya agar mereka memiliki pondasi mental/psikologis yang kuat ketika remaja dan dewasa.

Oleh karena itu, Dr. Moore mendorong gagasan untuk membesarkan anak di rumah dan menunda proses belajar formal menunggu kesiapan anak-anak. Biasanya, usia yang dinilai siap adalah 8 tahun, bahkan dalam beberapa kasus bisa ditunda sampai anak usia 12 tahun. Penundaan ini tak berarti anak tak belajar sama sekali hingga usia itu. Tetapi, anak-anak belajar secara natural, mengeksplorasi keingintahuan dan apa-apa yang ada di sekitarnya. Menurut pemikiran ini, buku adalah materi belajar yang bermanfaat. Tetapi, dunia nyata penuh berisi kesempatan belajar yang jauh lebih baik daripada yang sekedar diperoleh dari buku. Proses belajar membaca dalam metode ini dilakukan pada usia lima, tujuh, atau mungkin dua belas, tergantung kesiapan anak.

Pendekatan Dr. Moore yang dikenal dengan sebutan “The Moore Formula” memiliki tiga aspek, yaitu: belajar (study), bekerja (work), dan pelayanan (service).

Kendatipun pendekatan ini terlihat lebih relax, tetapi pendekatan ini memiliki kekuatan dalam pengembangan area-area yang cenderung diabaikan dalam kurikulum pendidikan formal, seperti: mendengarkan (listening), koordinasi tangan-mata (hand-eye coordination), ketrampilan motorik kasar, konsep ruang (spatial), hubungan personal, pengetahuan tentang lingkungan sekitar, imajinasi, dan sebagainya.

**

Gagasan Dr. Moore itu memang berbeda dengan kecenderungan menyekolahkan anak sejak usia dini yang saat ini sedang marak. Anak diajar cepat bisa membaca dan menulis, juga menguasai matematika.

Mana pendekatan yang lebih baik: pendidikan formal sejak dini atau menundanya? Setiap orangtua memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memutuskan.

Sebelum memutuskan, ada baiknya Anda membaca sebuah artikel yang kurang lebih spiritnya serupa dengan pemikiran “Better Late than Early” sebagai bahan refleksi dan pertimbangan. Artikel itu berjudul “Anak-anak Karbitan“, ditulis oleh Dewi Utama Fayza, seorang ahli pendidikan usia dini Indonesia.

16 thoughts on “Better Late than Early”

  1. dear mas aar dan mba lala…duuh saya koq jd feeling guilty yaaah…
    karena sudah terlanjur masukin anakku yg 2,5 thn ke PG..
    tujuannya sih cuma untuk belajar sosialisasi, berbagi,bergerak lebih leluasa dan mandiri. karena saya pikir klo dirumah terus, ruang lingkupnya kurang luas….saya tidak memaksa si anak harus sudah bisa calistung umur sekian….krn saya yakin tiap anak berbeda, jd saya sudah siap dgn kekurangan dan kelebihannya.
    saya niatnya mau HS dirumah tp saya sendiri jd bingung untuk nyiapin materinya, padahal dah browsing sana-sini,mungkin saking kebanyakan browsing jd bingung sendiri yah…
    😥
    penglaman mba dan mas waktu anak2 umur 2,5 gimana HSnya?

  2. Salaam…
    Mungkin artikel di atas cocok tuk ABK, sbb ortu punya kapasitas cinta tak terhingga tuk mengasuh anaknya ketimbang sekadar mengalihkan tanggung jwb pd guru sbg pendidik (or baby sitter sbg pengasuh anak). Sbgmn disinggung DR Moore di atas, penelitian tsb thd anak2 ABK; kalo anak kita termasuk anak2 normal ya ngga masalah ikutan skolah, selama skolah itu menyenangkan n tdk membebani anak maupun ortu. Btw, kami tahun ini berencana HS tuk anak kami usia 4,5 thn. Gimana ya caranya spy anak kami tetap ‘cair’ membaur dgn lingkungan 9dpt teman sebaya di mana pun n kapanpun) sbb kami termasuk tipe ortu yg ngga gaul dgn lingkungan…hiks ini jd masalah utama kami. Tak ingin anak kami jd ‘alien’ di masa2 bermain yg menyenangkan ini…

    1. anak-anak itu peniru ulung, terutama dari orangtuanya. selain karena faktor genetik, juga karena mereka menganggap orangtua adalah “acuan pertama” dan role model tentang apa yg benar/salah, baik/buruk.. selain melalui teladan orangtua, mungkin proses “belajar gaul” putra/i Ibu dapat dibantu dengan pendampingan selama anak berinteraksi bersama orang lain. Kalau anak merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri, biasanya anak-anak mudah bergaul dengan teman-teman sebayanya.. ^_^

  3. membaca tulisan” di sini selalu mendapatkan tambahan energi untuk mengasuh anak. terima kasih banyak sudah mau berbagi. semoga Tuhan memberikan balasan yg terbaik 🙂

  4. Salam..dear mas Aaal. Saya ibu bekerja yang mempunyai 1 orang anak, saat ini usianya 2thn 3 bulan. Saya memasukkan anak saya tersebut ke PG dekat rumah dengan harapan anak ini bersosialisasi dengan teman sebayanya karena, selain di rumah hanya bertemu dengan nenek dan kakeknya, anak saya tidak mempunyai teman kecil di sekitar rumah. Selain itu, karena masih merasa sendiri belum mempunyai adik, misalkan memiliki mainan selalu berebut dengan sdra sepupunya bahkan kadang suka usil memukul ataupun mecubit. Apakah tindakan saya tersebut kurang tepat memasukkan dia ke PG? Kr2 sebaiknya bagaimana ya mengatasi hal tersebut? Thanks

    1. Dalam kehidupan ini, yang bisa kita lakukan seringkali adalah mengoptimalkan apa yg kita miliki dan ada di sekitar kita karena yang ideal itu tidak mungkin dilakukan. Pesan dari “Better Late than Early” adalah proses pendidikan harus lebih mementingkan aspek pembentukan karakter/akhlak/kebiasaan baik daripada hal akademis (calistung). Materi akademis itu bisa ditunda, sementara pembentukan karakter tak bisa ditunda.

  5. Salam….Mas Aar dan Mb Mira, saya bersyukur ketemu dg blog ini, tulisan – tulisannya banyak membuka mata dan memberikan energi untuk kepercayaan diri membesarkan putri saya. Saya asli ga ngerti apa – apa dalam membesarkan dan mengarahkan anak dan juga galau dengan trend pendidikan jaman sekarang, alhamdulillah ketemu artikel – artikel di sini. Terimakasih Mas n Mb, semoga Tuhan membalas kebaikan anda dan keluarga…amin2

  6. Membaca tulisan ini, membuat saya berfikir ulang kembali utk menyekolahkan putra ke3 saya yg kini berusia 3 tahun di bulan juli nanti untuk masuk pg. Sebelumnya saya org yg menganut paham ini. Tetapi kini keadaan sedikit berubah karena putri ke2 saya seorang ABK yg memerlukan perhatian dan waktu khusus. Sehingga sang adik terpaksa mengalah utk bersekolah lebih cepat. Bagaimana menurut bapak?

  7. luliek prameswari

    membaca artikel ini saya jadi lega, nggak minder lagi karna belum menyekolahkan anak saya yang masih berumur 2th 5bln… sedangkan teman2nya belum ada 2th bbrp sudah disekolahkan… trimakasih 🙂

  8. Saya tertarik membaca artikel2 spt di atas karena saya masih mempunyai si kecil yg berumur 5 th dan sdh saya masukkan sekolah sejak usia 3 th

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.