fbpx

Kalau bisa main gitar terus buat apa?

Pilihan homeschooling memang tak mudah dimengerti oleh sebagian (baca: banyak) orang. Kalau menyangkut pendapat orang luar, kita mungkin menganggapnya biasa. Yang tidak enak itu kalau respon ketidakmengertian dan ketidaksetujuan kita alami dari keluarga terdekat kita.

Kami pun mengalami hal seperti ini.

Ibuku, hingga hari ini masih belum merelakan cucu-cucunya tidak sekolah dan homeschooling. Sebenarnya sih naik-turun. Kadang tidak bermasalah, kadang dipertanyakan.

Buat kami, ketidaksetujuan Ibu kami anggap sebagai tanda kecintaannya kepada para cucunya. Beliau ingin melihat cucu-cucunya berhasil di masyarakat dan tak hidup susah. Dan kami akan berusaha mewujudkan harapannya itu.

***

Sudut Pandang & Pengalaman yang Berbeda

Kami sangat memahami Ibu yang saat ini usianya sudah hampir 80 tahun dan memiliki latar belakang sebagai pensiunan kepala sekolah.

Mungkin homeschooling yang kami jalani memang sangat aneh dalam pandangan ibu, yang memiliki latar belakang sekolah. Apa yang beliau anggap penting dalam pendidikan, kami tak mementingkannya. Sebaliknya, apa yang menurut kami penting tak dianggap penting oleh ibu.

Sebagai contoh, di dalam banyak percakapan beliau selalu menceritakan perkembangan cucu-cucunya yang lain: tentang sekolah bagus, juara kelas, rata-rata rapor, menang lomba macam-macam, jadwal sekolah yang padat dari pagi sampai sore, dan sebagainya.

Kami mendengarkan dengan baik cerita ibu dan selalu mendukung prestasi para sepupu Yudhis. Tapi kalau untuk anak-anak kami sendiri, terus terang tema-tema itu memang tak masuk dalam prioritas. Kami tak menganggap penting nilai rapor, juara di kelas (wong tak ada saingan di kelas), kompetisi, dan padatnya jadwal. Jadi kalau ditanya tentang hal-hal seperti itu, kami memang tak bisa menjawabnya.

Sebaliknya, apa yang menurut kami penting seperti skills: craft, gitar, komputer itu tak dinilai penting oleh ibu. Salah satu cerita menarik tentang perbedaan sudut pandang ini terjadi beberapa waktu yang lalu, saat kami mengunjungi ibu, usai Festival Pendidikan Rumah (FESPER) di Yogyakarta.

Saat itu, Lala sangat bersemangat dan ingin menunjukkan perkembangan belajar Yudhis. Dalam satu kesempatan Lala meminta Yudhis untuk memainkan gitar di hadapan eyangnya. Yudhis memainkan “Minuet” yang menurut kami lumayan-lumayan saja.

Ibu biasa-biasa saja mendengarkan permainan gitar Yudhis. Tak mengkritisi, tapi juga tak memuji. Tapi ada satu hal yang tak kami perkirakan. Tiba-tiba ibu bangkit dari kursinya sambil berkomentar,” Kalau bisa main gitar, terus buat apa…?!”

Aku tertegun dan sempat kehilangan reaksi. Rasanya dunia berhenti beberapa detik. Dan setelah “tersadar”, aku dan Lala saling memandang dengan tersenyum.

Kami sama sekali tak menjawab komentar ibu yang memang sudah beranjak dari tempat kegiatan bersama itu.

***

Menghindari Perdebatan

Dari percakapan itu, kami semakin menyadari bahwa kesenjangan diantara kami dengan Ibu memang teramat sangat jauh. Dengan latar belakang pengalaman sebagai mantan guru, bagi beliau yang terpenting adalah masuk ke sekolah yang bagus, menjadi juara, terus melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3. Itulah pendidikan. Itulah jalan hidup yang terbaik untuk seorang anak. Titik.

Ditambah lagi, ada perbedaan usia dan akses informasi yang membuat kesenjangan itu menjadi lebih lebar lagi.

Tapi apa yang bisa kami lakukan? Apakah kami akan berbantah-bantahan tentang homeschooling? Nggak lah. Tak ada gunanya berbantah-bantahan.

Apakah kami akan berhenti homeschooling karena ketidaksetujuan ini? Tentu saja tidak.

Homeschooling tetap jalan terus karena anak-anak adalah tangung jawab kami sebagai orangtuanya. Ketidaksetujuan terus berusaha diencerkan. Selebihnya adalah iringan doa.

Begitulah. Semuanya adalah bagian dari dinamika yang memperkaya kehidupan kita.

3 thoughts on “Kalau bisa main gitar terus buat apa?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.