Rabu (30/4) yang lalu, aku dan Lala hadir dalam acara Education Roundtable berjudul “Pemanfaatan Teknologi Inovatif untuk Mendorong Pendidikan Abad Ke-21 ke Seluruh Penjuru Nusantara” yang diselenggarakan di Gedung Energy, Jakarta. Acara ini diselenggarakan oleh Paramadina Public Policy Institute dan Bloomberg TV Indonesia, serta disponsori oleh Microsoft Indonesia, Hewlett-Packard, dan Medco Foundation.
Banyak hal menarik dari acara yang dihadiri lebih dari 150 pemimpin dari sektor pemerintahan, industri dan masyarakat sipil yang terlibat dalam sektor pendidikan dan TIK di Indonesia.
Salah satu yang menarik adalah pidato yang dibuat oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Anies Baswedan sebagai pengantar acara ini.
Mengutip pendapat Prof Iwan Pranoto tentang paradoks teknologi belajar, beliau mengatakan bahwa teknologi bagi anak-anak perkotaan adalah kemewahan. Tetapi, bagi anak-anak di daerah terpencil teknologi merupakan keharusan (necessity) untuk proses belajar mereka.
Mendikbud Anies Baswedan juga menyatakan tantangan kebijakan pendidikan di Indonesia yang kondisinya asimetris. Maksudnya, variasi kondisi dan kebutuhan antar-daerah di Indonesia sangat lebar. Kondisi pendidikan di pedalaman Kalimantan atau Papua jelas memiliki infrastruktur dan kebutuhan yang berbeda dibandingkan yang ada di Medan atau Jakarta.
Oleh karena itu, menurut Mendikbud Anies Baswedan pendidikan harus menjadi gerakan di mana seluruh komponen bangsa bergerak bersama menyelesaikan problem-problem pendidikan yang ada. Tujuannya, agar pendidikan tidak menjadi bias-kota karena materi-materinya tidak membumi dan kehilangan konteks dari lingkungan sekitar anak.
Ada cerita lucu yang diceritakan pak Menteri dalam kesempatan itu untuk menggambarkan kondisi pendidikan yang tidak membumi ini.
Suatu saat pak Menteri mengunjungi sekolah di daerah Banten. Saat itu, guru di sana sedang mengajarkan anak-anak tatacara berenang menggunakan panduan buku. Isinya adalah: duduk di tepi kolam, taruh ujung kaki di air, kemudian gerakkan kaki di air, lalu berenang.
Lalu Pak Anies bertanya pada gurunya “Apakah di sekolah (atau sekitar sekolah) ada kolam?”
Jawab guru,”tidak ada”.
“Lalu kenapa diajarkan tentang cara berenang di kolam renang?”
“Karena materinya ada di buku pelajaran.”
***
Menerapkan teknologi ke dunia pendidikan bukan hanya perihal mengirimkan komputer ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Masalahnya jauh lebih kompleks daripada itu. Banyak kasus-kasus di lapangan di mana komputer yang dikirim tersimpan rapi di lemari sekolah karena tidak dipakai. Alasannya bermacam-macam: tidak ada listrik, tidak ada guru, atau bahkan takut rusak.
Tarik-menarik atau dialektika antara sarana dan pelaku itu diceritakan secara menarik oleh Hikmat Hardono, salah satu pembicara dalam roundatable discussion yang juga merupakan Executive Director “Indonesia Mengajar”.
Cerita tentang praktek penggunaan teknologi juga diungkapkan secara menarik oleh Betty Sekarasih Hadi Yani, guru di SMA Pembangunan 4 Playen Gunung Kidul, Yogyakarta. Ibu Betty adalah guru bahasa Inggris yang terlibat dalam program “Microsoft Partners in Learning” dan memanfaatkan program “Skype in the Classroom” untuk kegiatan belajar murid-muridnya.
***
Di akhir acara, kami berdiskusi dan menjajagi kemungkinan kerjasama Microsoft untuk komunitas pendidikan di luar sekolah, seperti komunitas homeschooling. Kami sempat berdiskusi dengan Ms. Astrid Tuminez, Regional Director of Legal and Corporate Affairs, South East Asia, Microsoft Corporation dan mas Ruben Hattari dari Microsoft Indonesia untuk menjajagi kemungkinan tersebut.
Dari pengalaman kami, komunitas homeschooling memiliki kedekatan yang sangat erat dengan penggunaan teknologi sebagai alat bantu proses belajar. Juga, orangtua homeschooling biasanya adalah orangtua pembelajar yang siap belajar untuk mendampingi proses yang dilakukan anak-anaknya di rumah.