Bagaimana masa depan pendidikan jika pandemi Covid-19 ini berkelanjutan?
Apa yang akan terjadi dengan anak-anak kita? Apa yang bisa kita lakukan sebagai keluarga?
Perbincangan tentang Kenormalan Baru (The New Normal) sudah mulai terdengar sayup-sayup dan semakin nyaring. Pernyataan Ketua WHO bahwa kita belum akan melihat pandemi ini mereda dalam waktu dekat berdampak pada semua lini kehidupan kita, termasuk pendidikan anak-anak.
Pendidikan dalam Kedaruratan
Pada saat ini, arah pendidikan mengambil asumsi dan perspektif “kedaruratan”. Dalam kondisi darurat, target pencapaian pendidikan dilonggarkan. Fokus utama pada keselamatan dan kesehatan (fisik & mental). Agar sistem tidak kolaps, standar diturunkan dan evaluasi dilonggarkan.
Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) diperkenalkan. Pencarian model belajar online dilakukan. Dengan kompleksitas kondisi di lapangan, sulit dipastikan efektivitasnya.
Semua itu dimaklumi karena kondisi memang sedang darurat. Semua orang tidak siap. Sekolah, guru, anak, orangtua, Dinas, dan kementrian semua kaget dan berusaha beradaptasi.
Tapi kondisi darurat tidak mungkin seterusnya. Jika kondisi ini berkepanjangan, kita tak memiliki pilihan selain berdamai dan memeluk ketidaknormalan yang kita alami saat ini menjadi sebuah kenormalan baru.
Dengan memeluk kenormalan baru, secara mental resistensi kita akan berkurang dan kita akan belajar untuk menjadi adaptif. Kita tak lagi berada dalam sikap menunggu, tapi proaktif melakukan aksi.
Di era kedaruratan ini, rumah telah menjadi sentral belajar baru. Rumah dipaksa menjadi SOLE (Self-organized Learning Environment). SOLE adalah sebuah istilah yang menggambarkan tentang program yang dirancang untuk mendukung pendidikan mandiri (self-directed education) dan dipopulerkan oleh Sugata Mitra, seorang peneliti dan aktivis pendidikan dari India.
Mungkin ini saatnya mengeksplorasi gagasan SOLE lebih mendalam, yang dalam pengalaman personal di keluarga kami, sangat selaras dengan gagasan unschooling.
Tujuan Baru: Pembelajar Mandiri
Dalam kenormalan baru, yang pertama perlu kita lakukan sebagai keluarga adalah membangun pondasi aman, yaitu fokus pada kesehatan fisik dan mental anak. Itu yang utama.
Setelah itu baru kita memikirkan dan mencari sudut pandang baru dan segar tentang pendidikan anak-anak.
Berkaitan dengan SOLE, salah satu tujuan penting yang perlu disiapkan pada anak-anak adalah menjadi pembelajar mandiri (self-regulated learner). Proses belajar tak hanya berfokus pada transfer ilmu dari guru ke anak dengan fokus evaluasi mengukur pemahaman anak. Proses belajar yang utama ditujukan agar anak terampil mencari ilmu sendiri.
Apakah hal itu bisa dilakukan?
Pertanyaan sebaliknya, apakah orangtua punya pilihan lain? Apakah kita akan terus menunggu, sementara anak kita terus bertumbuh setiap hari?
Jika pilihan paling masuk akal buat kita dalam kenormalan baru adalah menemani proses belajar anak-anak kita akibat pandemi yang tak kunjung usai, maka kita perlu mencari proses yang paling memungkinkan untuk kita lakukan.
SOLE dan gagasan tentang pembelajar mandiri ini mungkin layak untuk direfleksikan dan dijajagi.
Proses ini tentu saja tidak mudah karena melibatkan transformasi budaya yang sangat besar dari ketidakpercayaan terhadap kemampuan belajar alamiah anak (sehingga anak harus diarahkan, ditunjukkan, bahkan dipaksa menuju jalan yang “benar”) menjadi mempercayai bahwa setiap anak memiliki keinginan belajar yang alamiah dan bisa menjadi otonom (merdeka).
Sebagaimana yang diimani oleh para praktisi unschooling, setiap anak memiliki keinginan belajar yang alami sejak bayi, yang dibuktikan dengan proses mereka belajar berbicara, berjalan, menjelajah sekitar dan menanyakan tentang apapun yang ingin diketahuinya. Problem belajar terjadi ketika ada intervensi orang dewasa yang menentukan apa yang harus dipelajari dan mengatur cara belajar yang dianggap baik; yang ternyata berbeda dengan anak.
Terus, bagaimana jika orangtua menganggap ada hal-hal yang perlu dipelajari anak?
Menurut Clark Aldrich, penulis buku “Unschooling Rules”, “Anak belajar karena suka atau butuh.”
Jika kita merasa ada hal yang perlu dipelajari anak, itu berarti kita memiliki PR untuk menjelaskan kepada anak mengapa sebuah hal tersebut penting dan dibutuhkannya.
Self Management & Learning Skills
Ada 2 hal penting yang perlu dilakukan berkaitan dengan SOLE dan Pembelajar Mandiri, yaitu menumbuhkan keterampilan manajemen diri (self management) dan mengasah keterampilan belajar (learning skills).
Pembelajar mandiri mengasumsikan otonomi dan kemerdekaan anak sebagai dasarnya. Oleh karena itu, anak perlu belajar mengenali kebutuhan dan keinginannya, belajar menetapkan tujuan, serta belajar manajemen proses belajarnya sendiri, mulai merencanakan kegiatan, mengelola kegiatan, mengeksekusi, hingga melakukan evaluasi & refleksi.
Secara praktis, proses belajar tentang manajemen diri bisa dimulai dengan memberikan ruang bagi anak untuk membuat jadwal kegiatan harian mereka sendiri. Proses ini mungkin tidak mudah. Kegagapan sangat mungkin terjadi karena selama ini anak-anak hanya menjalani jadwal yang dibuatkan orang lain. Ketika kemerdekaan diberikan, kebingungan sangat mungkin terjadi. Tapi kemerdekaan itu diperlukan sebagai prasyarat awal kemandirian.
Di sinilah peran orangtua (dan guru) untuk membimbing anak-anak merencanakan tujuan belajar dan pengelolaan proses belajar mereka sendiri. Orangtua dan guru dapat bertindah sebagai fasilitator yang memberikan ide-ide dan peneguhan kemandirian mereka.
Keterampilan belajar (learning skills) adalah keterampilan berikutnya yang diperlukan untuk mendapatkan ilmu sendiri. Keterampilan belajar berangkat dari literasi dasar, membaca-memahami, mengenali sumber-sumber ilmu, serta keterampilan melakukan proses belajar.
Termasuk dalam keterampilan belajar adalah kemampuan mengikuti tutorial, seperti tutorial memasak, craft, menggambar, dan aneka keterampilan lain yang biasa diperoleh anak melalui Youtube dan sumber lain. Proses yang kelihatannya sederhana ini adalah modal besar bagi anak untuk belajar apapun di Internet sesuai kebutuhan dan keinginannya.
Penutup
Setiap peristiwa selalu mengandung dua sisi sudut pandang seperti koin. Tantangan kita adalah mencari peluang survival dalam peristiwa yang mengancam eksistensi seperti yang sedang kita hadapi pada saat ini.
Seperti kata Alvin Toffler, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
Yang disebut buta huruf di abad 21 bukanlah orang yang tak bisa membaca dan menulis, tapi yang tidak bisa belajar (learn), meninggalkan hal yang relevan (unlearn), dan belajar ulang (relearn).
Kunci adaptabilitas dan survivabilitas kita saat ini tergantung dari kemampuan kita untuk meninggalkan (unlearn) cara hidup lama kita yang sudah tidak relevan untuk belajar (relearn) hal-hal baru yang sesuai dengan kondisi dan tantangan saat ini.
Apa yang termasuk dalam hal lama yang patut ditanggalkan dan apa yang disebut hal baru yang perlu dipelajari?
Itu adalah proses dan pencarian kita bersama saat ini.