Tentang “Kartu Indonesia Pintar”, menteri pendidikan Anies Baswedan mewacanakan tentang rencana penyusunan UU Wajib Belajar 12 tahun. Beberapa gagasan dasar UU Wajib Belajar yang muncul melalui pemberitaan adalah:
- pemerintah bertugas menyediakan sarana bagi anak-anak Indonesia sehingga memiliki akses untuk bersekolah selama 12 tahun
- anak-anak wajib bersekolah selama 12 tahun
- jika tidak bersekolah, maka anak akan mendapat sanksi
Sumber berita:
- http://u.msn.com/id-id/berita/other/kartu-indonesia-pintar-semua-anak-bisa-wajib-belajar-12-tahun/ar-BBbVnaE
- http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/29/311760/menteri-pendidikan-siapkan-wajib-belajar-12-tahun
***
Produk UU Wajib Belajar ini memang belum lahir. Rancangannya juga belum ada untuk dikaji dan didiskusikan. Tetapi karena sudah disampaikan secara publik, maka tak ada salahnya untuk diantisipasi dan dipersiapkan, khususnya oleh praktisi-praktisi pendidikan non-sekolah (informal dan non-formal) yang kemungkinan terdampak oleh kebijakan ini.
Apa implikasi dari UU Wajib Belajar ini? Substansi apa yang diperhatikan? Apakah sanksi terhadap anak yang tak bersekolah akan berimplikasi pada model pendidikan non-sekolah seperti pesantren tradisional (non-madrasah) dan sekolahrumah (homeschooling)?
Berikut ini catatan pribadiku, khususnya pada bagian “wajib sekolah” dan “sanksi terhadap anak yang tidak bersekolah”.
***
Ketika Jokowi-JK menggagas Kartu Indonesia Pintar sebagai subsidi pembiayaan anak-anak sekolah, menurutku itu merupakan ide yang bagus karena memangkas birokrasi subsidi yang seringkali tidak tepat sasaran, birokratis, dan cenderung rentan terhadap kebocoran akibat proses-proses yang koruptif. Gagasan wajib belajar dengan tujuan meningkatkan akses pendidikan dan kualitas pendidikan pun spiritnya bagus.
Tetapi ketika gagasan Kartu Indonesia Pintar dan aneka subsidi pendidikan seperti (BOS/BOP) serta program wajib belajar hendak dijadikan instrumen untuk memaksa anak-anak bersekolah, aku tidak sepakat. Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dikaji lagi berkaitan gagasan memaksa anak wajib bersekolah:
a. Negara dan Peran Masyarakat dalam Pendidikan
Negara memang memiliki tanggung jawab dan peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Setidaknya, negara bertugas memastikan bahwa setiap warganegara memperoleh pendidikan yang berkualitas. Yang kedua, negara membangun sistem pendidikan yang mengelola keseimbangan antara kemajuan individual warganegara dan kepentingan kolektif sebagai bangsa.
Negara membangun infrastruktur dan koridor pendidikan nasional, masyarakat terlibat aktif dan berpartisipasi di dalam pelaksanaannya. Partisipasi masyarakat menjadi faktor penting yang diakui, difasilitasi, dan didukung oleh negara. Bahkan, dalam sistem demokrasi modern peran aktif masyarakat menjadi salah satu faktor penting yang membangun inovasi dan dinamika sosial dalam bidang pendidikan.
Dalam konteks ini, penting sekali bagi pemerintah untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pendidikan tidak melemahkan/mematikan partisipasi masyarakat. Bahkan, setiap kebijakan seharusnya semakin membuka partisipasi dan justru bisa memfasilitasi aneka inisiatif pendidikan yang ada di masyarakat.
b. Keragaman Jalur Pendidikan
Mayoritas anak-anak Indonesia menempuh pendidikan melalui sekolah (jalur pendidikan formal). Tapi sekolah bukan satu-satu jalur pendidikan. Dalam Sistem Pendidikan Nasional, negara mengakui jalur pendidikan non-formal dan pendidikan informal sebagai saluran yang sah dan legal dalam penyelenggaraan pendidikan.
Jalur pendidikan non-sekolah berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal (sekolah). Hasil pendidikan non-formal dan informal dapat diakui setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui proses penyetaraan (Ujian Kesetaraan Paket A, B, C).
Dalam model jalur pendidikan non-sekolah, ada model pendidikan pesantren tradisional (yang bukan madrasah), kursus, pendidikan kesetaraan, kecakapan hidup, homeschooling (sekolahrumah), dan lain-lain. Model pendidikan ini berbeda dengan sekolah. Walau tak sebanyak anak sekolah, anak-anak ini jumlahnya tak sedikit. Mereka belajar dan terdidik, tapi mereka tak menjalani pendidikannya di sekolah.
Dalam forum FGD (Focus Group Discussion) pokja Pendidikan Jokowi-JK yang lalu, para praktisi pendidikan informal & non-formal telah memberikan masukan yang intinya mendukung visi pendidikan Jokowi-JK yang menolak penyeragaman sekolah. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang memelihara dan memfasilitasi inisiatif warga negara dalam sektor pendidikan informal & non-formal.
c. Masyarakat butuh model pendidikan yang beragam
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa tak semua anggota masyarakat terlayani dengan model sekolah konvensional seperti yang diselenggarakan pemerintah. Karena berbagai alasan dan kondisi, masyarakat membutuhkan model pendidikan yang berbeda. Sebagai contoh, pendidikan untuk para atlet, pemusik, agamawan, praktisi teknologi, pebisnis, dan lainnya.
Kasus-kasus lapangan di mana anak-anak mengalami masalah dengan sekolah juga membutuhkan solusi-solusi riil di luar persekolahan yang konvensional. Belum lagi perkembangan teknologi dan globalisasi membuat sebagian masyarakat merasakan kebutuhan untuk beradaptasi dalam proses pendidikan anak-anaknya, yang tidak dapat difasilitasi dalam model persekolahan konvensional.
Kelompok masyarakat ini juga warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Dalam bidang pendidikan, yang mereka butuhkan adalah koridor yang jelas dan cukup longgar untuk menjalankan pendidikan yang selaras antara kepentingan individual warganegara dan kepentingan kolektif negara.
d. Wajib Belajar dan Wajib Sekolah
Sekolah adalah sarana pendidikan, tetapi pendidikan tak hanya bersekolah. Sebagaimana prinsip belajar sepanjang hayat (UNESCO) belajar bisa mengambil tempat dan bentuk yang beraneka ragam, bukan hanya bersekolah.
Membatasi pendidikan hanya pada persekolahan bukan hanya menyempitkan makna pendidikan, tetapi juga bersifat kontraproduktif dan menutup aneka inovasi pendidikan yang bisa muncul dari masyarakat.
Sekolah hanya salah satu tempat. Dengan kondisi persekolahan Indonesia yang menempati posisi buncit dalam aneka uji internasional (PISA, TIMMS,), fokus pemerintah seharusnya bukan memaksa anak-anak untuk bersekolah, tetapi membuka pintu-pintu yang luas untuk inisiatif dan inovasi pendidikan.
Oleh karenanya, memberi sanksi bagi keluarga yang mendidik anaknya di jalur informal (misalnya: pesantren atau sekolahrumah) karena tidak menyekolahkan anaknya adalah sebuah gagasan yang tidak masuk akal. Keluarga yang bersusah payah berkontribusi pada dunia pendidikan seharusnya didukung dan difasilitasi, bukan dihukum.
e. Keluarga sebagai Satuan Pendidikan
Jika pemerintah ingin menerapkan Wajib Belajar bagi warganegaranya, harus dipastikan bahwa kewajiban itu menyangkut kegiatan belajar, bukan bersekolah. Pemerintah harus mengakui jalur pendidikan lain di luar sekolah. Bahkan, menurut Prof. Daniel Rosyid, guru besar ITS, keluarga sebagai satuan masyarakat terkecil seharusnya dijadikan satuan pendidikan yang diakui.
***
Masukan:
Inisiatif untuk memfasilitasi anak-anak Indonesia agar bisa mendapatkan pendidikan dasar minimal hingga tingkat SMA (12 tahun) adalah sebuah niat yang mulia. Tetapi, aku berharap pemerintah TIDAK MEWAJIBKAN SEKOLAH. Pemerintah harus membuka seluas-luasnya alternatif pelaksanaan kewajiban belajar dengan menggunakan moda-moda pendidikan lain, baik yang ada di jalur pendidikan non-formal maupun informal.
Demikian pandangan pribadiku sebagai praktisi pendidikan informal (homeschooling). Mudah-mudah aspirasi ini bisa sampai ke pak Anies Baswedan dan tim yang merumuskan UU Wajib Belajar.
9 thoughts on “Untuk Anies Baswedan: Wajib Sekolah atau Wajib Belajar?”
Mas Aar, tulis di kompasiana juga doong… 🙂
Belajar wajib, tapi sekolah nggaak… Semangaaattt!!…(^.^)/…
saya rasa sangat tidak bijaksana kalau tidak sekolah akan diberikan sanksi, orang tua yang punya anak yg mengikuti homeschooling, pasti puluhan kali sudah berpikir mengenai hal tersebut, punya puluhan alasan, semoga saja pak Anies dan teamnya mau survey ke rumah2 anak2 yang berkebutuhan khusus, sehingga bisa merumuskan undang-undang dengan hati nurani.
keseragaman membuat manusia dicetak menjadi robot. Tanpa menyudutkan gagasan mulia tsb, alangkah bijaknya jika pemahaman belajar bukan serta merta artinya sekolah. karena belajar bisa darimana dan dimana saja.
Kalu jadi, ini merupakan kualitas kebijakan yang amat buruk.tidak cerdas dan tidak bijaksana bahkan tidak memberikan harapan .Memberikan harapan kepada seluruh warga bahwa mereka dapat memasuki hari esok lebih baik dari hari ini.Dengan memberikan harapan, kebijakan publik menjadi a seam less pipe of transfer of prosperity dalam kehidupan bersama.sebuah sistem yang bisa make poverty a history.
seharusnya pemerintah malah memberikan fasilitas pendidikan untuk keluarga2 hs. karena dalam banyak hal mereka sudah mandiri, tidak merepotkan pemerintah padahal membayar pajak juga hlo…. dan banyak juga keluarga hs yg keadaan ekonominya pas-pasan hlo Pak Menteri ……
belajar itulah hidup, hidup itulah belajar ….
Wajib “belajar” jelas beda dengan wajib “sekolah”… Mempersempit makna belajar dengan hanya di sebuah institusi formal sekolah jelas sebuah kesalahan..
Belajar, ada formal, non-formal dan informal.. Sekolah hanya wakil dari rumah, pemegang “otoritas” pembelajaran manusia… Sekolah hanya media, komunitas yang mengkondisikan iklim cinta ilmu dan belajar. Bukan satu-satunya yang bisa mewakili belajar. Karena objek dan tempat belajar itu luas, seluas dunia dan akhirat, seluas langit dan bumi.
#just comment
Mas Aar, kirim email aja ke pak mentri, cek http://www.tempo.co/read/news/2014/11/13/079621720/Menteri-Anies-Baswedan-Jaring-Ide-Lewat-E-mail