Kisah LKS Bang Maman dan istri simpanan sudah mulai reda di media massa. Menyedihkan melihat anak-anak kecil terekpos dengan materi pendidikan yang sangat buruk, juga pemerintah yang cenderung cuci tangan dan reaktif. Apalagi, kabarnya kasus LKS Bang Maman ini sebenarnya sudah lama ada, tetapi baru saat ini heboh karena dimunculkan oleh media. Juga, banyak lagi cerita-cerita lain yang isinya kacau seperti “Pancing Aje dengan Perempuan“.
Di Twitter, diskusi tentang kasus ini ramai. Cukup banyak yang membela dan menganggap hal ini adalah kasus biasa, yang sepantasnya diambil hikmahnya. Dan itu sejalan dengan sikap penerbit yang melihat masalah ini dengan dangkal, dan hanya minta maaf karena ada istilah “istri simpanan”.
Padahal menurutku masalah lebih subtansial daripada sekedar masuknya istilah “isteri simpanan”. Ada beberapa hal yang memprihatinkan dari fenomena buruknya penulisan materi pendidikan sejenis ini:
1. Tak Seluruh Realitas Harus Ditampilkan kepada Anak
Realitas itu sangat luas, sementara buku pelajaran hanyalah nukilan dari sebagian realitas yang ada di sekitar. Karena ruang media terbatas, maka pendidikan adalah soal memilih apa yang terbaik untuk disajikan kepada anak.
Balas dendam, bunuh-membunuh, perebutan warisan, premanisme bukanlah hal patut dipilih untuk disajikan kepada anak-anak yang masih belia. Masih banyak realitas dan tema lain di masyarakat yang lebih layak dan disajikan untuk anak-anak.
2. Nilai Luhur Didahulukan daripada Contoh Buruk
Jika kita ingin memberikan pendidikan yang baik kepada anak, maka hal pertama yang harus disajikan kepada anak adalah realitas luhur dan nilai-nilai luhur. Anak-anak SD adalah anak belia yang masih berfikir sederhana.
LKS Maman dan sejenisnya itu sangat membingungkan karena penuh dengan cerita intrik orang dewasa, mengejar kekuasaan, menggunakan cara apapun untuk menang, menghalalkan penipuan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, penting untuk memikirkan sudut pandang dan nilai-nilai yang ingin diangkat dalam cerita. Tak ada salahnya menceritakan tentang dunia pendekar seperti Bang Maman. Tetapi, nilai-nilai dan cerita yang diangkat bisa lebih edukatif; misalnya: keberanian mengusir perampok, keberanian mendamaikan dua kelompok yang bertikai, keberanian menentang pemimpin korup, dan sebagainya.
3. Narasi Perlu Disesuaikan dengan Perkembangan Psikologis Anak
Semua penulis dan pendidik pasti tahu bahwa semua anak memiliki perkembangan psikologis. Sesuai dengan perkembangan psikologisnya, berkembang pula penalaran, sudut pandang, dan nilai-nilainya.
Oleh karena itu, penulisan buku untuk anak-anak perlu mempertimbangkan hal ini agar buku dan cerita anak memberikan dampak positif bagi perkembangan jiwa mereka, dan bukan justru merusak dan berdampak buruk pada anak-anak.
4. Komitmen Masa Depan Anak Melebihi Kebutuhan Uang
Komitmen kita terhadap pendidikan adalah kebaikan anak-anak kita dan pertumbuhan generasi penerus yang kuat. Itulah komitmen bersama yang harus dimiliki oleh pendidik, pengurus Yayasan, pemerintah, serta masyarakat. Komitmen itu tak boleh dikalahkan dengan kebutuhan mencari proyek dan uang komisi buku, yang mengakibatkan rusaknya kualitas buku anak sebagaimana yang sedang terjadi pada saat ini.
Tanpa komitmen itu, berarti kita memang membiarkan negeri kita untuk semakin memburuk kualitasnya; sebagus apapun argumentasi pembelaan diri kita untuk mengkamuflase dan membuat pembenarannya.