Sabtu, 10 januari 2015 aku diundang menjadi salah satu pembicara di seminar “Game Sebagai Media Belajar Menyenangkan” yang diadakan oleh teman2 dari Segitiga.Net bersama mas Aranggi Soemardjan dari Clevio Coder Camp dan mas Andre Dubari dari Manikmaya Games.
Aku berbagi pengalaman bagaimana keluarga kami menggunakan game dalam proses belajar serta beberapa contoh hasil karya Yudhis & Tata yang terjadi dengan game sebagai pintu masuknya.
Sejatinya anak-anak itu menyukai game/permainan, baik itu dalam bentuk fisik maupun digital. Karena mereka suka inilah yang membuat banyak hal yang mudah sekali diserap oleh anak melalui game. Mungkin karena aku dan mas Aar banyak bekerja menggunakan komputer, sejak kecil Yudhis tertarik dengan komputer. Game komputer yang pertama kali dikenalnya adalah game peek a boo dengan software pemberian seorang sahabat. Waktu Tata kecil, kami juga mulai dari game peek a boo tapi sudah memakai versi internet.
Karena sejak kecil aku menyukai game, maka aku yang menghantarkan anak-anak dalam mengenal dunia game. Terkadang aku memakai game untuk membangun logika mereka, tapi sering pula aku memakai game sebagai pintu masuk aneka percakapan dengan anak-anak.
Pemanfaatan game itu bisa berupa aktivitas yang terhubung langsung dengan game, biasanya didapat dari jenis game simulasi, role play, time management dan sejenisnya. Bisa juga terjadi aktivitas yang tidak berhubungan langsung dengan gamenya, misalnya dari tokoh utama game tersebut, latar belakang game, atau bahkan tema game tersebut. Misal Farmville, mungkin tidak terlalu banyak manfaat yang didapat langsung dari gamenya, tapi banyak sekali percakapan yang bisa terbangun melalui game ini seperti jenis hewan, sayur, bunga, pohon, atau pun karakter yang ada di dalam permainan ini bisa menjadi pintu materi belajar yang asyik.
Atau mungkin melalui game anak jadi tertarik untuk membuat gamenya sendiri seperti yang terjadi pada Tata dan kesukaannya mengulik script agar bisa membuat game untuk Duta. Karena suka, Tata terlihat menikmati aneka tutorial di beragam web belajar coding seperti di Code.org, KhanAcademy, Scratch, AppInventor dll. Makanya aku bahagia ketika Tata mendapat kesempatan ikut Coder Camp di Clevio dan belajar berkolaborasi membuat game dengan teman-teman sebayanya.
Untuk teman-teman yang tidak sempat hadir di seminar kemarin, mungkin bisa sedikit menangkap apa yang aku bagi melalui slide berikut:
Dari pengalaman bersama anak-anak, kami menemukan strategi agar bisa menjadikan game sebagai alat belajar:
- Sebisa mungkin orangtualah yang memperkenalkan game kepada anak. Dengan demikian kita bisa memilihkan jenis game seperti apa yang bagus untuk mereka.
- Pastikan menjadikan game hanya menjadi alat, dengan memberikan batasan waktu pemakaian/interaksi anak dengan game.
- Gadget adalah milik orangtua, bukan milik anak. Status meminjam membuat anak tidak bisa memakainya kapan pun dia mau, dan dia juga bisa ditanyakan pertanggunjawabannya terhadap barang yang dipinjang. Mau dipakai apa gadget/alat tersebut? Ini membuat kontrol pemakaian ada di tangan kita sebagai orangtua
- Lakukan eksplorasi game, saat ini ada banyak sekali game yang asyik dimainkan tapi tetap sarat muatan pendidikan.
- Maksimalkan kesukaan anak terhadap game dengan melakukan eksplorasi hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan game tersebut.
- Berikan masukan positif/negatif tentan game yang dilakukan anak. Jangan hanya sekedar dilarang atau malah dibiarkan.
- Ajak anak berfikir untuk tidak hanya bisa bermain, tapi bisa melakukan hal yang produktif dari hal yang disukainya itu
***
Setelah aku berbagi di sesi pertama, ada mas Anggi yang mengisi di sesi berikutnya dengan memperkenalkan bagaimana dunia saat ini yang sudah sangat lekat dengan teknologi. Bagaimana seorang yang mampu membuat program bisa memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, misal membuat program yang bermanfaat untuk banyak orang atau membuat virus yang merugikan banyak orang.
Mas Anggi juga bercerita tentang bagaimana anak-anak di Clevio belajar bekerja sama mengerjakan tantangan demi tantangan yang diberikan para coach sehingga akhirnya mereka mampu membungkus game buatan mereka di GooglePlay. Betapa game melatih life skill anak. Mas Anggi mengambil kalimat dari Prof. Osterweil (MIT) yang mengatakan bahwa Play = Learn karena mengandung 4 kebebasan: freedom to play, freedom to fail, freedom of identity & freedom of effort.
Sesi berikutnya ada mas Andre yang bercerita tentang pengalaman timnya membuat Indonesia Bermain dan mengajak anak-anak sekolah membuat sendiri board game mereka. Walau di awal mungkin anak terlihat bingung dan malu-malu, tapi biasanya mereka akan menemukan dan mampu menciptakan game yang asyik.
Mas Andre memaparkan kebiasaan orang Jerman yang mempunyai waktu khusus untuk bermain bersama. Biasanya di waktu ini semua gadget dimatikan dan diganti dengan permainan fisik yang bisa dinikmati seluruh keluarga. Tujuannya adalah membangun interaksi di antara keluarga.
***
Menarik melihat banyaknya jalan asyik untuk belajar. Buatku game fisik dan digital sama-sama bagus & bermanfaat, tinggal bagaimana kita bisa menjaga proporsi antara bermain dengan mengerjakan hal lainnya. Sesuka apapun aku dengan game, aku dan mas Aar sepakat untuk tetap memegang kontrol waktu & penggunaan game yang bisa dilakukan anak-anak. Kesepakatan demi kesepakatan kami bangun untuk melatih kemampuan anak-anak menahan dirinya dari ketergantungan terhadap game. Bagaimanapun juga, apapun itu jika terlalu berlebihan tentu tidak baik dan tugas kita sebagai orangtua adalah melatih anak-anak agar mampu menjadikan game sebagai alat, bukan sebagai budak.
2 thoughts on “Game Sebagai Media Belajar Menyenangkan”
Kalau jaman dulu, orangtua boleh bilang kalo game itu membawa pengaruh buruk, bikin nilai jelek, dan sebagainya.
Tapi kalo jaman sekarang, orangtua udah ga bisa lagi bilang game itu buruk. Banyak anak yang mencetak prestasi di bidang game, misalnya jadi atlet e-sport dalam kompetisi game, atau bahkan membuat dan mendirikan perusahaan game sendiri.
Game sebagai media belajar memang sangat efektif. Sebagaimana pengalaman saya mengajar siswa2 lebih banyak melibatkan aktif siswa dalam Game fisik baik berupa simulasi maupun role play. Dengan metode tersebut siswa2 menjadi lebih tertarik terlibat dalam proses belajar dan tentunya terbentuk bonding antara semua yang ada di kelas baik siswa maupun guru.