Tentu saja aku sering mendengar dan membaca tentang Papua. Tentang bagaimana perjuangan mama-mama Papua tak hanya karena kondisi alam, budaya serta infrastruktur di sana, tapi juga akibat konflik yang sering terjadi di sana. Tapi ternyata melihat sepenggal kisah dokumenter yang coba ditangkap oleh sutradara Asrida Elisabeth dalam film Tanah Mama tetap membuatku terhenyak.
Film ini berkisah tentang Halosina, seorang mama Papua yang harus berjuang sangat keras untuk menghidupi keempat anaknya menggantikan peran suaminya yang mengabaikan keluarganya karena keberadaan istri keduanya. Kisah dalam film ini seakan memotret kenyataan para mama Papua yang mayoritas memiliki tanggung jawab besar untuk mencari nafkah.

Halosina dianggap mencuri ubi dari ladang adik iparnya sehingga harus membayar denda sebesar satu juta rupiah. Padahal Halosina melakukan itu karena anak-anaknya kelaparan, suami Halosina tak lagi membukakan ladang untuknya sehingga Halosina tidak bisa bercocok tanam dan bekerja di ladang.
Realita kehidupan di Papua mengoyak hatiku yang selama ini tumbuh di kota besar. Membayangkan kesulitan mama mama di Papua karena keterbatasan fasilitas dan mahalnya barang-barang pasti sangatlah berat. Betapa untuk sampai ke pasar mereka harus melewati derasnya arus sungai serta naik mobil yang jauh. Kekhawatiran sayur yang keburu layu di jalan, serta anak-anak yang keletihan berjalan kaki tanpa alas kaki mewarnai film dokumenter ini.
Secara sinematografis menurutku film ini biasa saja. Tapi potret yang disajikan dalam film ini menghangatkan hati, menggetarkan nurani. Tak pantas rasanya berkeluh kesah jika sesungguhnya kesulitan yang kita rasakan tak ada apa-apanya dibanding dengan keseharian yang dialami oleh mama mama di Papua.
Sudah lama Papua menjadi bagian dari negara Indonesia, tapi terlihat dengan jelas dalam film dokumenter ini bahwa penduduk Papua jauh dari sejahtera. Semoga film seperti ini menyegerakan pemerintah kita untuk meratakan pembangunan sampai ke pelosok Indonesia.
***
Menonton film ini mengingatkanku pada sebuah laguku yang berjudul “Gianago”. Gianago dalam bahasa Mee artinya “anak perempuan satu-satunya” dari marga Giay. Marga yang tinggal di daerah sekitar Paniai, Papua Barat. Lagu ini terinspirasi dari penderitaan mama-mama Papua akibat konflik berkepanjangan di Papua Barat yang berimbas pada bayi dalam kandungan mereka. Nama Gianago ini diberikan oleh seorang pendeta Paniai untuk baby Gianago, putri seorang sahabat kami yang tinggal di Jakarta.
Malam ini lagu Gianago kupersembahkan untuk mama mama perkasa di Papua, semoga dimampukan menjaga dan menghantarkan anak-anak mereka mencapai takdir terbaik mereka. Amin..