Pengalaman Pertama Duta Menginap Sendiri

“Duta, jadi ikut nginep nggak?” tanya Izzan.

“Iya Duta, kamu nginep kan ke rumah Izzan? Aku nginep lho,” tambah Ali.

Dari kilat matanya aku bisa melihat kalau Duta sangat ingin ikut Ali menginap di rumah Izzan. Tapi dia terlihat agak bimbang. Duta menggigit ujung bibirnya dan melirik ragu-ragu padaku. Tanpa perlu banyak kata aku bisa menangkap pergulatan dalam dirinya.

Duta, si bungsu, mewarisi urat malu paling banyak dalam keluarga kecil kami. Di usianya saat ini, kedua kakaknya sudah malang melintang menginap di banyak tempat, sementara Duta selalu menolak halus kesempatan menginap di manapun jika tidak ada salah satu dari kami bersamanya.

Sebesar apapun keinginanku dan mas Aar untuk membuatnya berani seperti kedua kakaknya, kami berusaha menghargai kesiapan Duta dan keputusannya. Kami meyakini bahwa setiap anak punya waktu berkembangnya sendiri-sendiri dan Duta bagaikan tanaman mungil yang perlu lebih banyak penyangga untuk membuatnya tegak.

Aku menyadari keberkahan memiliki dua tanaman yang tahan banting sebelumnya sempat melenakanku, membuatku sempat sulit menerima mengapa penanganan yang sama, pupuk dan tanah yang sama bisa memberikan efek tumbuh yang berbeda. Tapi sekali lagi, kita tidak pernah tahu bibit seperti apa yang dititipkan Sang Pencipta kepada kita…

***

“Ayo Dut, jadi ikut nggak? Nanti kita main macem-macem di sana” bujuk Izzan lagi membuyarkan lamunanku.

Aku melihat Duta mulai terdesak oleh kedua sahabatnya. Wajahnya menatapku penuh tanya. Matanya seakan memintaku untuk membantunya memutuskan dan menyelamatkannya dari pergulatan antara keinginannya untuk menghabiskan malam bersama kedua sahabatnya atau mengikuti ketakutannya menginap sendirian di tempat asing yang belum pernah dia datangi sebelumnya.

“Duta mau nginep di rumah Izzan?” tanyaku sambil menelan keinginanku membantunya memutuskan.

“Mau… tapi…” Duta tak menyelesaikan kalimatnya karena kedua temannya langsung teriak “Yeaaaay, asik. Ayo Duta siap-siap”.

“It’s ok Duta, besok ibu jemput,” kataku memberinya penguatan. Aku melihat ada campuran emosi di wajahnya, mulutnya tertawa lebar tapi matanya seperti anak kucing kehilangan induknya.

“Iya Duta, cuma semalam aja” kata tante Ade yang tiba-tiba sudah ada di antara kami.

“Duta bisa kan siapkan tas sendiri? Sama seperti kalau mau pergi berenang,” kataku kepadanya. Sambil mengangguk Duta lari ke kamar ditemani kedua temannya yang melompat-lompat kegirangan.

“Ini pertama kali ya La, Duta nginep sendirian?” tanya Ade Hady, mamanya Izzan, kepadaku. “Tenang aja, cuma semalam. Bareng Izzan dan Ali pula. Aman lah..”.

Aku mengangguk sambil tersenyum, bersyukur pengalaman pertama Duta menginap adalah di rumah Ade, sahabatku sejak SMP yang kebetulan adalah ibu dari Izzan, sahabat Duta sejak kecil.

***

“Coba ibu lihat Duta bawa apa saja” tanyaku ketika Duta menghampiriku untuk pamit. Duta kemudian mengurutkan benda-benda yang dibawanya. Aku membuka tasnya dan mengintip apa-apa yang dibawanya, berusaha menahan diri untuk tidak mengomentari pilihan bajunya atau apapun yang dibawanya menginap.

“Kok bawa pepaya?” tanyaku, yang ternyata tak tahan untuk mengomentari pilihan snacknya.

“Itu buat aku kalau lapar bu” jawabnya ringan membuatku geli sendiri. Anak siapa sih ini? Bawa cemilan menginap di rumah temannya kok potongan pepaya. Hehe..

Hujan mulai rintik ketika anak-anak berlari ke mobil Ade. Dengan payung aku menghantarkan mereka, menggigit bibirku agar tidak mengeluarkan komentar apapun yang mungkin akan menurunkan keberaniannya. Aku berusaha tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke Duta.

Kaca mobil tiba-tiba diturunkan dan Duta berteriak “ibuuuuuuuuu….”

Duta memintaku mendekat, menarikku untuk menciumnya. Matanya berkejap-kejap menahan sesuatu. Tapi teriakan teman-temannya tak memberikan kesempatan baginya untuk bersedih. “Daah bu Lalaaaaaaaa!” teriak Husayn, Azza, Atala, Izzan & Ali. Duta pun tertawa dan menutup kaca mobil.

***

“So far so good?” tanyaku kepada Ade melalui Whatsapp.
“Lala deg-degan.. wakakak,” ledek Mella, ibunya Ali & Husayn yang kebetulan ada dalam satu grup di Whatsapp.

“Ga terasa ya Duta sudah gedeeee,” Wiwiet menimpali. Kebetulan Atala, anaknya Wiwiet juga ikut main sampai malam di rumah Ade malam ini.

Kebayang deh betapa ramainya rumah Ade dengan para pemuda kecil yang selalu dalam kondisi lapar. Malam itu Ade mengirimkan beberapa foto anak-anak, saat mereka makan, nonton sampai tidur.

“Ude puless :D” tulis Ade.

Di foto, aku melihat Duta tidur sambil memeluk dua boneka kesayangannya Niga & Nigu. Dalam hati kecilku aku berdoa Duta tidak tiba-tiba terbangun tengah malam mencari aku.

***

Pagi harinya, Ade mengirimkan kabar lagi.

“Tadi malam jam 2.30 Duta sempat kebangun batuk, La. Trus minum aku borehin Avaloka & Viks. Kedinginan kali ya? Jadi aku matiin AC-nya. Gak lama bobok lagi.”

Kondisi ini juga adalah salah satu yang aku takutkan akan terjadi. Duta itu punya sedikit masalah pernapasan, sering sesak nafas kalau kedinginan atau emosi. Untungnya Ade menjelaskan kalau dia hanya terbangun sekali itu saja.

Sepagian Ade mengirimkan beragam foto kegiatan yang dilakukan anak-anak. Aku pun rasanya tidak sabar menanti jam 2, saat aku janjian menjemputnya di stasiun kereta api Universitas Pancasila.

***

Siang itu aku meluncur ke stasiun Tebet dan naik kereta commuter line untuk menjemput Duta. Entah kenapa kereta baru datang 40 menit kemudian.

“Sip nggak apa-apa La. Kalau sudah mau sampai kabarin ya. Ini masih di mobil, pada main petak umpet,” kata Ade yang sudah lebih dulu sampai di stasiun yang kami sepakati.

Begitu kereta jurusan Bogor sampai di stasiun Universitas Pancasila, aku melihat 3 wajah familiar melompat-lompat kegirangan memasuki gerbang stasiun. Setengah berlari aku menuju gerbang elektronik. Rasanya lega sekali ketika melihat wajah si bungsu betul-betul bahagia di antara teman-temannya.

“Terima kasih ya De,” kataku kepada sahabatku yang sudah dengan tangan terbuka menerima banyak krucil di rumahnya.
“Sama-sama La, tau nggak, Duta itu paling manis dan mandiri lho” puji tante Ade. Aku melihat Duta menundukkan wajahnya sambil tersenyum malu.

Setelah “salam perpisahan” yang cukup lama di antara mereka bertiga, aku dan Duta akhirnya berjalan menuju lorong jalur 1. Tak lama kereta menuju Jakarta pun datang.

***

“Jadi gimana rasanya menginap di rumah Izzan?” tanyaku kepada Duta yang masih senyum-senyum di sebelahku.
“Asyik,” katanya singkat. Duta memang bukan tipe yang bercerita panjang lebar.
“Asyiknya bagaimana?” tanyaku lagi
“Asyiknya banget,” Duta kemudian senyum-senyum sendiri seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang menyenangkan.

“Bu” katanya tiba-tiba, “Rasanya Duta mau lagi. Tadinya Duta takut, tapi ternyata seru banget”.

Kemudian Duta menyambung kalimatnya dengan urutan beragam kegiatan yang dia lakukan bersama teman-temannya di rumah tante Ade.

“Dua hari ini aku bahagia banget bu” kata Duta lagi sambil senyum-senyum.

“Nanti lengkapnya di rumah ya bu, sekaligus cerita ke Bapak, Yudhis & Tata,” lalu Duta kembali senyum-senyum. Duta memang termasuk anak yang irit berbicara. Tapi dari raut wajahnya aku melihat kalau Duta betul-betul bahagia.

***

Setelah doa malam, Duta akhirnya bercerita cukup panjang lebar tentang pengalamannya menginap di rumah Izzan. Duta bercerita cukup runut dari mulai makan malam di Margo City, main di Fun Factory, nonton sebelum tidur, pergi ke Situ dan mengumpulkan banyak kerang, mandi sambil mencuci mobil, sampai akhirnya main petak umpet sambil menungguku di lapangan parkir stasiun Universitas Pancasila.

“Kamu kangen ibu bapak nggak selama di rumah Izzan?” tanya bapaknya.
“Kangen, waktu mau tidur. Makanya aku peluk Nigu & Niga. Dalam mimpiku mereka jadi bapak sama ibu.”

“Awww, sampai kapan ya kira-kira dia akan seperti ini?” kataku dalam hati. Sebagian dari diriku bahagia karena Duta sekarang tambah percaya diri, bahkan dia minta menginap lagi nanti setelah pulang camping. Tapi sebagian dari diriku agak lebay mellow gimana gitu, melihat bayi terakhir yang tersisa sepertinya sudah mulai terpantik keinginan eksplorasinya.

***

“Trus kita gimana mas, kalau tiba waktunya mereka pergi semua?” tanyaku sedikit merajuk kepada mas Aar membayangkan rasanya tak lama lagi ketiga anak kami akan pergi mengarungi samudranya sendiri-sendiri.

“Ya nggak apa-apa, kita terus berkarya saja sampai tua” kata mas Aar sambil menarikku dalam pelukannya…

2 thoughts on “Pengalaman Pertama Duta Menginap Sendiri”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.