fbpx

Aku beruntung, isteriku seorang gamers

Isteriku, Lala, adalah seorang pemain dan pecinta game, alias gamers. Apakah itu maknanya baik atau buruk?

Jawabannya tentu saja tidak bisa digeneralisir. Banyak faktor dan kondisi yang mempengaruhinya. Dan aku tak ingin menggeneralisirnya. Tetapi dalam konteks pengalaman keluarga kami, ternyata kecintaan Lala pada game itu bermakna positif.

Mengapa? Aku ingin menceritakan beberapa perspektif.

a. Memberikan sisi koin yang berbeda
Aku bukan pemain game. Mungkin karena tidak bermain game sejak kecil. Tak ada bujet, tak ada ekspos, dan semua energi selama pertumbuhanku di kota kecil diarahkan untuk belajar di sekolah atau berkegiatan di organisasi seperti OSIS dan pramuka.

Walaupun aku tak terlalu suka main game (dan mungkin sedikit merasa bahwa game itu membuang waktu), tapi aku bersyukur menikah dengan Lala, seorang pecinta game yang bermain game sejak kecil. Dia memberikan perspektif tentang game sebagai kegiatan hiburan biasa dan sekaligus mendatangkan banyak manfaat.

“Aku belajar logika lebih banyak dari game daripada yang aku dapatkan melalui sekolah,” kata Lala tentang manfaat umum game. Kebetulan, genre game yang disukai Lala adalah simulasi dan time management.

Masuk akal buatku. Di bangku kuliah dulu ada pelajaran tentang game theory, model dan simulasi. Di sekolah bisnis, game simulasi juga banyak digunakan untuk mengajarkan proses pengambilan keputusan. Ya… pengambilan keputusan itu sebenarnya memang mirip bermain game: mengenali variabel-variabel terpenting yang berpengaruh besar dan kemudian mengelola variabel-variabel itu sesuai tujuan yang kita harapkan.

Buatku, kecintaan Lala yang alami terhadap game memberikan sisi koin yang berbeda dalam proses pengasuhan anak-anak di rumah. Sisi serius dan bersenang-senang (fun) bisa dipadukan untuk anak-anak.

b. Bersikap moderat menyikapi game
Ada dua kecenderungan orangtua menyikapi game yang cenderung ekstrem. Yang pertama melarang sama sekali. Yang kedua membebaskan anak sebebas-bebasnya.

Kami mengambil sikap di tengah, memperbolehkan bahkan mengekspos anak-anak dengan game, tetapi pada saat yang sama mengelolanya. Beberapa hal yang kami kelola adalah alat bermain, jenis game, dan waktu bermain.

Tentang alat bermain, kami tak membelikan anak-anak gadget khusus untuk bermain game. Yang ada adalah komputer, handphone, dan (sekarang) iPad. Semua alat adalah milik kami dan posisi anak-anak adalah meminjam. Itu membuat kami bisa lebih mengelola proses interaksi anak-anak dengan game-nya.

Tentang jenis game, kami tak membuat batasan secara khusus. Ketika bersama teman-temannya atau di tempat saudara, anak-anak mungkin bermain game fighting. Tetapi saat bersama kami, kami mendorong mereka untuk memainkan game berjenis simulasi dan time management. Kami tak secara eksplisit memerintahkan/melarang, tetapi karena ekspose awalnya adalah game-game yang dimainkan ibunya (Lala), anak-anak menjadi terbiasa dengan game simulasi dan time management.

Apalagi, kami juga memberikan feedback positif dan negatif menyikapi pengalaman mereka bermain game. Bermain bersama, bertanya, berkomentar adalah sebagian mekanisme yang kami gunakan untuk memberikan feedback kepada mereka.

Dalam konteks pengaturan kebijakan bermain game, pengalaman Lala sebagai gamers ternyata memberikan sisi positif, yaitu kemampuannya melihat beragam perspektif dan alternatif tentang game.

c. Mengembangkan kematangan psikologi anak
Anak-anak memiliki kemampuan mengambil keputusan, tetapi mereka masih belum matang dari sisi psikologis. Oleh karenanya, mereka sering lebih suka mengambil keputusan berdasarkan kondisi emosi mereka. Misalnya, anak cenderung memilih yang mudah dan menyenangkan, memilih untuk bermain game daripada melakukan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sulit dan menantang.

Di sini, pengalaman Lala sebagai gamers sangat membantu untuk melihat perkembangan kondisi anak-anak. Dari sisi kebijakan bermain game, aturan yang kami buat adalah anak-anak boleh bermain game secukupnya. Game dimainkan usai pekerjaan-pekerjaan wajib diselesaikan. Mereka harus belajar mencari keseimbangan antara “serius” dan bersenang-senang (bermain game).

Kepada anak-anak, kami memberikan pesan bahwa fungsi game adalah hiburan dan penunjang, bukan yang utama. Jadi, dampak game harus bersifat positif: membuat bahagia, semangat, menjadi sumber energi untuk melakukan hal lain. Kalau game mengakibatkan bengong dan hilangnya fokus pada kegiatan lain, itu pertanda bahwa game berdampak negatif. Jika dibiarkan, itu bisa menjadi sumber masalah seperti kecanduan (addiction).

Jika game telah berdampak negatif, biasanya kami memberikan feedback kepada anak-anak. Kesenangan bermain game untuk sementara “dicabut” dan digantikan dengan kegiatan lain.

d. Games sebagai alat membangun ikatan anggota keluarga
Bermain game bersama anak-anak menjadi bagian dari kegiatan kami sekeluarga. Aku juga belajar untuk bermain game karena game adalah bahasa paling mudah untuk berinteraksi dengan anak-anak, mengobrol, dan bersenang-senang bersama.

Bahkan Duta pun sudah mengajak kami bermain game bersama. “Play together,” kata Duta sambil mengajak kami ke kamar bermain game di iPad bersama-sama.

Bermain bersama ini membangun kedekatan dan ikatan emosional antara kami bersama anak-anak. Tertawa bersama, bekerjasama, berkompetisi, dan juga belajar bersama tentang berbagai hal bisa dilakukan melalui kegiatan bermain game bersama.

***

Membaca keluhan sebagian orangtua tentang anak-anaknya yang kecanduan game atau kekhwatiran orangtua yang tak bisa lagi berkomunikasi dengan anaknya yang kecanduan game, aku merasa bersyukur anak-anakku memiliki Ibu seorang gamers yang bisa menempatkan game pada tempatnya. Game ternyata tak selalu berkonotasi buruk. Bahkan, kami bisa memanfaatkan game untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi seluruh anggota keluarga.

 

 

6 thoughts on “Aku beruntung, isteriku seorang gamers”

  1. h_prasetyorini

    mencerahkan pak. sebelumnya saya panik ketika anak pertama, suka sekali dgn game. dan saya beberapa kali bertanya di web ini, dan alhamdulillah, direspon dengan baik.
    memang ada hal menarik juga, seperti ketika, anak saya mengerjakan soal menggambar sketsa kotak2 agar bisa menjadi balok. dan sketsa itu ada beberapa model. anak saya cepat sekali mengerjakannya. saya heran, karena waktu saya sudah SMA pun, yang namanya visualisai 2-3 dimensi ruang bangun matematika, saya harus belajar berulang kali. ketika saya tanya, kok bisa? dia jawabnya, aku ingat waktu main game. waktu mendesign field [lapangan] untuk perang di game favoritnya.
     
    masukan untuk saya, mungkin sy harus mulai membuka diri pada game. krn didikan masa kecil sy sangat ketat untuk tidak boleh main, alias kalau nggak belajar ya tidur ! maka saya gak ada minaat sama sekali untuk bermain game.
     
    dan rupanya, sepertinya, saya kurang bersenang2 dalam hidup ini. 🙂
     
    makasih sharingnya pak

    1.  @h_prasetyorini  Iya mbak Rini, saya juga termasuk org yang terlalu serius dan tak terlalu suka dengan game. Padahal serius tak selalu berkorelasi dengan keberhasilan/kebahagiaan. Jad, saat ini saya juga sedang belajar dari Lala utk bersenang-senang 🙂

  2. Salam kenal…
    Klo boleh tahu…game simulasi dan time management yang cocok untuk anak-anak contohnya apa ya, Pak. Saya punya 2 anak laki-laki (6 thn dan 3 thn) yg juga senang game…biasanya game yg dimainkan game a**ry bird dari smartphone milik om-nya. Tks.

    1. Salam kenal mas Badruddin, saat ini ada banyak sekali pilihan game time management. Tinggal cari di dalam kategori “time management” atau “simulation”. Pilih yang paling dekat dengan kesukaan anak-anak. Misal anak suka pizza, maka pilih time management yang ada hubungan dengan restoran pizza.

      Kuncinya untuk anak usia dini adalah bermain bersama orangtua. Supaya nggak hanya jadi sekedar “main”, tapi juga bisa jadi proses ngobrol, dan dari proses ngobrol itulah biasanya banyak sekali hal yang bisa dipelajari.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.