Beberapa bulan terakhir, beredar rancangan peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai pengaturan sekolahrumah (homeschooling). Aku kira materi itu hanya wacana, tapi ternyata masih beredar sampai sekarang.
Terus terang aku bingung. Arah kebijakan pemerintah baru tentang pendidikan dan menterinya saja belum dipilih, kok draft keputusan menteri-nya sudah disiapkan? Apa bukan fait-accomply terhadap menteri yang baru? Nggak tahu deh. Aku memang tidak terlalu ngerti politik.
So, mari lanjut.
Ini pendapat pribadiku. Secara umum, aku tidak sepakat dengan draft peraturan menteri ini.
Alasan pertama, spirit peraturan ini adalah kontrol.
Pemerintah menggunakan paradigma lama yaitu ingin mengontrol warganegara-nya, bukan memfasilitasi. Alasannya mungkin biar bisa dikelola, pemerintah butuh data. Tapi hakikatnya adalah kontrol. Mengontrol materi yang dipelajari, mengontrol prosesnya, mengatur penyelenggaraannya dan memberikan sanksi kalau tidak dipenuhi.
Apakah itu berarti negara tidak boleh mengonrol pendidikan informal & nonformal? Tentu saja boleh. Tapi tentu bukan dengan pengaturan rigid seperti sekolah (formal). Jika ingin memfasilitasi inisiatif warganegara, harusnya yang dikedepankan adalah bagaimana mempermudah setiap anak mendapatkan hak-hak belajarnya, misalnya: kemudahan mendapatkan NISN (Nomor Induk Siswa Nasional), kemudahan proses mengikuti ujian, menjaga kualitas ujian, memfasilitasi dengan sarana publik seperti perpustakaan, laboratorium, learning center, dsb.
Alasan kedua, penyeragaman menjadi seperti sekolah.
Pendidikan informal dan nonformal berbeda dengan pendidikan formal (sekolah). Walaupun ada proses integrasi informal ke dalam formal melalui proses penyetaraan, tetapi pendidikan informal dan nonformal tidak semestinya dibakukan seperti sekolah. Mensyaratkan orangtua pendidikan memiliki ijazah seperti guru adalah berlebihan. Pemerintah bisa memberi panduan standar minimal, tetapi memberikan ruang bagi masyarakat untuk berinovasi dalam prosesnya. Jika tujuannya ingin mengintegrasikan dengan formal, peraturan menterinya adalah tentang Pendidikan Kesetaraan, bukan tentang sekolahrumah (pendidikan informal) dalam arti luas.
Alasan ketiga, kerancuan pengertian sekolahrumah.
Perbedaan substansi sekolahrumah dan sekolah adalah: sekolahrumah berarti orangtua mengambil alih tanggung jawab pendidikan dan terlibat aktif dalam prosesnya; kalau anak bersekolah berarti orangtua mendelegasikan pendidikan pada guru/sistem eksternal. Jadi, sekolahrumah adalah pendidikan berbasis keluarga, bukan lembaga dan termasuk pendidikan informal. Komunitas sekolahrumah adalah kumpulan keluarga yang berbagi bersama. Jadi, tak boleh ada lembaga seperti sekolah yang menyebutkan diri komunitas sekolahrumah/homeschooling. Aturan ini membuat sekolahrumah menjadi tak berbeda dengan sekolah formal.
Alasan keempat, peluang komersialisasi.
Spirit sekolahrumah adalah partisipasi pendidikan oleh masyarakat dan memperkuat peran keluarga dalam kehidupan bermasyarakat. Draft peraturan ini memberikan ruang komersialisasi yang besar. Aku menolak keras draft pasal 4 huruf f yang menyatakan bahwa badan hukum komunitas sekolahrumah bisa lembaga komersial (perusahaan).
Alasan kelima, pendidikan non-sekolah bukan hanya sekolahrumah.
Sebenarnya pendidikan alternatif (yang bukan sekolah formal) itu luas. Selain sekolahrumah, ada sekolah komunitas dengan variasi bentuknya yang sangat banyak. Lembaga-lembaga yang menyebutkan diri Komunitas Homeschooling itu sebenarnya adalah sekolah fleksibel atau dalam kategori luas bisa disebut sekolah komunitas. Kalau lembaga-lembaga homeschooling itu ingin dilegalkan, sebaiknya masuk saja dalam kategori sekolah komunitas (pendidikan nonformal) atau PKBM tanpa harus menyebutkan dengan embel-embel sekolahrumah.
Demikian pendapatku. Jika teman-teman ingin mengkaji sendiri rancangan aturannya, draft peraturan menteri itu bisa diunduh di SINI
***
Menurutku, jika pemerintah ingin memfasilitasi dan membantu masyarakat yang melakukan kegiatan belajar mandiri, yang mendesak untuk dibuat aturan adalah mengenai Ujian Kesetaraan dan perpindahan ke formal. Sebab, ujian kesetaraan dan proses perpindahan ke sekolah ini masih dibutuhkan oleh banyak keluarga karena berbagai alasan.
Untuk ujian kesetaraan, yang dibutuhkan adalah mempermudah proses mengikuti ujian dan meningkatkan kualitas Ujian Kesetaraan.
Untuk mempermudah, proses pendaftaran ujian kesetaraan dilakukan seperti dulu. Bisa dilakukan langsung atau melalui lembaga nonformal dengan administrasi sederhana. Tak perlu syarat rapor. Jika anak siap ujian, maka bisa ujian. Kurang lebih modelnya seperti Ujian Cambridge atau Ujian TOEFL. Ujian kesetaraan hanya boleh dilakukan oleh anak informal & nonformal, anak sekolah tak boleh ikut.
Dari sisi kualitas, yang perlu dijaga dalam ujian kesetaraan adalah kualitas soal, proses ujian (jangan asal lulus dengan bayar atau ada contekan yang dibagikan), jangka waktu ijazah dikeluarkan dipercepat. Juga, dari sisi kualitas yang penting adalah transparansi biaya ujian.
Tentang perpindahan dari informal/nonformal ke formal/sekolah, sebenarnya sudah diatur dalam PP 17 tahun 2010 pasal 73. Isi PP ini sudah cukup bagus. Untuk memperkuat PP ini, perlu dibuat aturan yang lebih teknis melalui Peraturan Menteri agar semakin kuat landasan bagi pelaksanaannya di lapangan.
***
Disclaimer: posting ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili keluarga homeschooling lain dan asosiasi tertentu.
4 thoughts on “Catatan pribadi tentang Rancangan Peraturan Menteri tentang SekolahRumah”
Mas Aar yth, saya bisa minta link ttg isi draftnya?
Buat saya yang homeschooling wannabe ini ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap sistem pendidikan informal bikin makin galau…:-)
Salut buat Mas dan Mbak yang berani ambil sikap…#2thumbsup
Mbak Wiwid,
Itu di artikel sudah saya tuliskan link-nya 🙂
mas aar, mbak lala yang selalu bersemangat,,
Salam kenal, saya iva. Saya terinsiprasi oleh keberanian dan keuletan mas aar dan mb lala dalam menjalani proses dan komitmen thdp pendidikan anak2 melalui homeschooling. Saya sudah mendaftar untuk webinar. Namun, saya tidak sabar ingin sharing dan tanya2. boleh ya.. 🙂
Saya memiliki 2 orang anak perempuan (kelas 5 & kelas 3), setelah membaca berulang kali buku homeschooling mas aar dan hampir setiap hari menyimak rumahinspirasi, saya makin yakin dan bertekad untuk mengikuti jejak mas aar & mb lala. saya prihatin thdp pendidikan anak2 saya di sdsn yang selalu membebankan dengan seabrek tugas dan PR, tapi di cek pun kadang tidak oleh gurunya, dan ada beberapa guru yang menyuruh-nyuruh siswa seenaknya pada jam belajar.
fyi, saya masih tinggal bersama orgtua, dan saya seorang single parent , bekerja sebagai field coordinator dan life skill trainer di NGO. PR saya adalah meyakinkan orgtua ttg pilihan homeschooling utk anak2 saya mulai tahun depan bersama kepindahan saya dan anak2 ke bali. sebelumnya, saya berpikir, tanggung juga bagi anak pertama saya, karena th depan dia sdh kelas 6. tapi satu sisi, kalau tidak segera dimulai, nanti malah gak akan pernah berani memulai. tahun ini saya belum berani untuk memulai karena pekerjaan saya yang hampir selalu pulang malam dan hampir tidak punya weekend sehingga hampir tidak ada waktu buat anak2 saya apalagi memperhatikan pelajaran mereka. Nah, per tahun depan, insyaallah saya sudah mantap untuk pindah haluan dari bekerja tetap menjadi trainer paruh waktu dan mengelola usaha sendiri berbasis rumah.
Mohon arahan dan saran dari mas aar dan mb lala mengenai keputusan saya dengan kondisi saya yg ada. Terima kasih.
Sip mbak, kalau mau terjun ke homeschooling, kuncinya adalah orangtua banyak belajar dan berjejaring. Kalau belajar lengkap, kebetulan saat ini sedang ada webinar (biasanya hanya 1 atau 2 kali setahun). Juga, langsung action membangun pola komunikasi dan kegiatan yang nyaman bersama anak. 🙂