Awal 2014, aku mendapat pesan melalui Facebook untuk membuat satu tulisan mengenai usulan kebijakan pendidikan di bidang nonformal & informal. Kerangkanya adalah visi misi Jokowi-JK saat kampanye presiden. Pesan itu disampaikan oleh salah seorang anggota Pokja Pendidikan dari Kantor Transisi Jokowi-JK.
Tak ada janji apapun mengenai bagaimana hasil akhirnya. Tapi setidaknya suara mengenai pendidikan di luar sekolah didengarkan. Jadi aku kemudian mencoba untuk menuliskannya, yang tak mudah karena aku hanya seorang praktisi pendidikan.
***
Berdasarkan visi Jokowi yang menolak penyeragaman sekolah dan fokus yang terus diulang tentang pendidikan karakter, aku memutuskan tulisanku pada dua area itu. Berbeda dari kebijakan pendidikan umumnya yang berfokus pada sekolah, aku mengusulkan penggunaan jalur non-sekolah (informal dan nonformal) sebagai sarananya. Bahkan, aku menolak untuk standardisasi pendidikan informal dan nonformal yang dibuat menjadi serupa dengan sekolah.
Beberapa pokok gagasan yang kusampaikan:
- Kebijakan standardisasi yang hanya mengandalkan sekolah formal tak mencukupi untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia yang sangat beragam. Menyamakan model pendidikan anak-anak pedalaman dan Jakarta adalah kemustahilan.
- Fokus seharusnya bukan pada lembaga (schooling), tapi pada proses belajar (learning) yang dibutuhkan dan dijalani anak-anak.
- Pemerintah perlu menggunakan jalur pendidikan informal & nonformal yang disediakan oleh UU Sisdiknas untuk membangun keragaman model pendidikan. Tapi, pemerintah jangan punya kehendak untuk mengontrol dan mengubahnya menjadi sekolah seperti kebijakan yang berlangsung hingga saat ini.
- Penggunaan jalur informal & nonformal akan membuka partisipasi publik yang luas dengan aneka bentuk model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti: Sokola Rimba (Jambi), Sekolah Mesjid Terminal – Mester (Depok), SR Sangu Akik (Malang), Qaryah Thayibah (Salatiga), sekolah alam, sekolahrumah, dan aneka inisiatif sekolah berbasis komunitas lainnya.
- Untuk kebutuhan keselarasan dengan jalur pendidikan formal (sekolah), mekanismenya harus disederhanakan. Salah satu idenya misalnya mengambil model Cambridge CIE yang berfokus pada standar dan ujian, sementara proses belajar diserahkan pada masyarakat.
- Tentang pendidikan karakter, menurutku pemerintah tidak boleh hanya tergantung pada sekolah. Tidak fair jika sekolah hanya menjadi satu pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter. Pemerintah perlu mendidik, memberdayakan, dan melibatkan keluarga & masyarakat untuk proses pendidikan karakter.
- Pemerintah perlu melakukan kampanye nasional tentang pendidikan parenting dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang selama ini aktif melakukan edukasi seperti: gerakan Ibu Profesional (Septi Peni Wulandani), Indonesia Strong from Home (Ayah Edy), Pendidikan Holistik Berbasis Karakter (Ratna Megawangi), Yayasan Buah Hati (Elly Risman), dan lain-lain.
- Pengembangan model pendidikan parenting juga perlu dilakukan melalui jalur-jalur struktural, misalnya PKK, Dharma Wanita, dll. Juga, melalui aneka kerjasama dalam proses pendidikan pra-nikah, masa kehamilan, dan forum kerjasama sekolah-orangtua.
Tulisan selengkapnya:
2 thoughts on “Strategi Pengembangan Keragaman Model Pendidikan dan Pendidikan Karakter”
semoga dimudahkan ya mbak…, kita semua berharap yang terbaik u/ pendidikan bangsa ini. terkhusus pd poin 8, aku sangat2 mendukung… semoga pemerintah bs mengakomodir gagasan2 hebat ini dan merealisasikannya.
Sepakat dengan mas Aar, terutama untuk pendidikan parenting yang dimulai sejak pra nikah.