“Diantara hal yang penting dalam penulisan adalah adegan. Kita menulis seperti membuat skenario film.”
Itulah salah petikan yang aku ingat dari rangkaian kegiatan belajar tentang Jurnalisme Sastrawi yang disampaikan oleh Janet Steele.
Kursus Jurnalisme Sastrawi yang diselenggarakan oleh Yayasan Pantau berlangsung selama 2 pekan. Kursus dibuka oleh Andreas Harsono dan hari Jumat ini (13/1/2017) menjadi penanda berakhirnya bagian pertama yang diampu Janet Steele, Professor dari George Washington University yang memang memiliki spesialisasi mengajar mata kuliah narrative journalism.
Bagian kedua yang berlangsung minggu depan akan diampu oleh Andreas Harsono, wartawan senior cum aktivis Hak Asasi Manusia.
**
Menyenangkan bisa mendapatkan kesempatan belajar tentang jurnalisme sastrawi, sebuah istilah yang tak terlalu disukai oleh Janet Steele.
“Saya tidak suka istilah jurnalisme sastrawi karena agak membingungkan. Seperti perkawinan antara jurnalisme dan sastra. Padahal dia adalah jurnalisme yang berbasis fakta,” ungkap Janet sambil menjelaskan perkembangan jurnalisme di Amerika Serikat yang dipicu oleh Jurnalisme Baru (New Journalism), kemudian berkembang menjadi literary journalism, hingga narrative journalism yang berusaha membuat aturan (rules) untuk memastikan kaidah-kaidah jurnalisme berbasis fakta dan disiplin verifikasi tetap dipenuhi, sambil membuka pintu yang luas untuk struktur dan gaya penulisan yang membuat tulisan enak dibaca.
Jurnalisme baru bukanlah laporan fiktif. Sastra diadopsi hanya untuk urusan gaya untuk memikat pembaca, tetapi fakta tetap menjadi bahan yang mahapenting dalam penulisan.
Menurut Tom Wolfe, salah satu tokoh jurnalisme baru, ada empat hal yang membedakan jurnalisme baru dengan jurnalisme konvensional, yaitu:
a. Pemakaian konstruksi adegan-per-adegan
b. Pencatatan dialog secara utuh
c. Pemakaian sudut padang orang ketiga
d. Catatan yang rinci terhadap gerak tubuh, kebiasaan, dan pelbagai simbol dari status kehidupan orang-orang yang muncul dalam ceritanya.
Untuk mempelajari tentang gaya jurnalisme baru ini, panitia Kursus Jurnalisme Sastrawi sudah menyediakan aneka referensi untuk dibaca peserta dan sekaligus dibahaskan di kelas.
Minggu ini, referensi yang dibahaskan di kelas antara lain: “The Girl of The Year” oleh Tom Wolfe; “Dua Jam Bersama Hasan Tiro” oleh Arif Zulkifli, “A Boy Who Was Like a Flower” oleh Anthony Shadid, “Bearing Witness in Syria: A Reporter’s Last Days” oleh Tyler Hicks, “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” oleh Chik Rini, “”It’s an honor” oleh Jimmy Breslin, serta “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis.
**
Walaupun bacaan referensi yang dibahaskan banyak, proses pelatihan Jurnalisme Sastrawi berlangsung cair. Ada sedikit teori yang dibahaskan dan sebagian besar proses belajar berlangsung melalui diskusi, baik diskusi tentang artikel referensi maupun diskusi membahas karya peserta yang jumlahnya 20 orang tetapi tak pernah hadir lengkap selama pelatihan berlangsung.
Pembahasan karya peserta bahkan menempati proses yang dominan dalam pelatihan ini dan mengambil waktu lebih dari setengah hari waktu pelatihan. Karya peserta merupakan hasil pekerjaan rumah (PR) yang ditulis berdasarkan penugasan yang diberikan.
Dalam penugasan pertama, para peserta diminta menulis dan membuat narasi tentang peristiwa yang disaksikan, dimulai dengan adegan tanpa penjelasan. Inspirasi untuk penulisan adalah artikel “The Girl of The Year” karya Tom Wolfe, tetapi topik yang dipilih bisa apa saja.
Dalam penugasan kedua, peserta diminta untuk menulis dengan gaya orang pertama (“saya” atau “aku”) untuk menggambarkan sebuah adegan. Inspirasi untuk menulis adalah artikel “Buru, Menziarahi Negeri Penghabisan” oleh Amarzan Loebis dan “Bearing Witness in Syria: A Reporter’s Last Days” oleh Tyler Hicks di mana penulis memasukkan dirinya dalam laporannya.
Semua PR alias tugas itu harus berdasarkan peristiwa yang dilihat (bukan masa lalu) dan harus ditulis maksimal dua halaman dua spasi.
Dalam sesi pelatihan, karya para peserta itu dibagikan, dibaca, dan kemudian dibahaskan bersama.
***
Proses pelatihan Jurnalisme Sastrawi ini menarik buatku. Untuk orang yang sudah tak muda lagi seperti aku, ternyata membaca referensi yang banyak dan mengerjakan PR penulisan menjadi tantangan tersendiri. Belum lagi tantangan kepadatan perjalanan naik kereta commuter line di jam kantor dari stasiun Tebet menuju stasiun Kebayoran.
Syukurlah ternyata aku masih mampu menyelesaikan PR. Dari sisi topik, aku mengambil peristiwa di rumah. Kebetulan dua-duanya tentang kegiatan yang sedang dijalani Yudhistira, anakku yang pertama.
**
Terima kasih ibu Janet Steele untuk wawasan, pengetahuan, feedback, dan pencerahan-pencerahannya. Terima kasih juga untuk chocolate cookies lezat hari ini.
Walaupun setiap sore Janet hampir selalu mengatakan “Saya minta maaf karena hampir kehabisan bahasa Indonesia saya”, tapi kami tak merasa mendapat masalah dengan bahasa Indonesia Janet.
Saya akan selalu mengingat beberapa kata kunci yang terus terngiang dari pelajaran minggu ini: “adegan”, “struktur”, “alur cerita”, “tokoh”.
Tiga hari pertemuan sepanjang minggu ini seakan berlangsung sedetik. Tapi kenangannya akan terbawa melintasi masa.