fbpx

Wisata Belajar (2): Nyantrik di Moo’s Camp Boyolali

Nyantrik di Moo's Camp

Mandi air dingin di Salatiga dan menyantap hidangan yang dibumbui cinta keramahan berhasil mengusir penat usai perjalanan dari Jakarta menuju Salatiga. Usai sholat Jumat, rombongan Klub Oase langsung meluncur dari kediaman Eyang Salim di Salatiga menuju Boyolali untuk memulai proses belajar.

Inilah awal dari wisata belajar bersama mbak Septi Peni Wulandani.

Tujuan dari perjalanan ke Boyolali adalah Moo’s Camp yang terletak di Desa Sukorejo, Kec. Musuk, Kabupaten Boyolali. Ini adalah “pusat pelatihan” Jarimatika yang sekaligus menjadi tempat proyek pengembangan desa yang dilakukan oleh Ara (Kusuma Dyah Sekararum), putri kedua mbak Septi & mas Dodik.

Setelah bertanya beberapa kali dan dipenuhi keraguan sepanjang jalan, akhirnya kami sampai di Desa Sukorejo yang berada di kaki Gunung Merapi sekitar pukul 16.30. Desa Sukorejo adalah desa terdampak letusan Gunung Merapi 2010. Walaupun tak ada bekas bencana, jejak sejarah berupa panah-panah penunjuk arah evakuasi masih banyak terlihat di sepanjang jalan menuju Sukorejo. Pada masa Gunung Merapi meletus, anak-anak dan wanita diungsikan ke tempat aman. Sementara, para lelaki menjaga sapi dan harta benda di rumah, sembari bersiaga untuk keluar desa setiap saat diperlukan.

Sapi menjadi harta berharga bagi petani di Sukorejo dan Boyalali pada umumnya. Boyalali memang menjadi sentra industri sapi perah. Itulah sebabnya, Ara memilih pengembangan sapi perah sebagai proyek sosial pribadinya dengan moto “Mulyo Sesarengan” (Mulia Bersama).

***

Moo’s Camp adalah sebuah rumah berarsitektur desa nan luas dan tertata apik. Di bagian depan ada halaman luas yang di tengahnya ditumbuhi pohon durian, delima yang merambat, dan beberapa pohon lainnya. Bangunannya terdiri 5 kamar yang cukup luas dan satu ruang tamu dengan kursi-kursi bambu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang pertemuan/pelatihan. Semua bagian rumah beralaskan tanah, seperti layaknya rumah-rumah di desa.

Yang membedakan dari rumah kampung pada umumnya, di setiap kamar ada balai-balai bambu luas yang menjadi tempat tidur, dilengkapi dengan alas tidur dan sleeping bag, serta rak bambu untuk menyimpan tas dan juga jemuran pakaian. Fasilitas kamar ini lengkap dan fungsional, layaknya sebuah hotel kecil di kampung.

Di bagian belakang, ada 2 kamar mandi sederhana khas desa. Di sebelahnya, ada kandang kecil berisi beberapa ekor sapi, melengkapi kandang besar yang ada di sisi rumah dan semuanya berisi 40 ekor sapi perah. Aroma sapi yang khas itu menebar dan menjadi bagian keseharian dari rumah ini.

Satu-satunya fasilitas yang minim dari tempat ini adalah sinyal handphone. Gegara sinyal yang lemah, tak ada kegiatan online yang dilakukan. Jadinya, semua orang berinteraksi dan melakukan kegiatan bersama. Is it good or bad? 🙂

***

Sungguh kenikmatan tersendiri menginap di Moo’s Camp. Udara sejuk dan segar bebas polusi, suasana tenang dengan bunyi-bunyi binatang alam, serta halaman yang luas tempat anak bebas berlarian dan bermain kejar-kejaran. Diawali dengan permainan dan perkenalan dengan anak-anak yang tinggal di sekitar rumah dipimpin kak Fena, anak-anak terus bermain tanah, bermain petak umpet, bermain bola, atau sekedar berlarian di halaman.

Di Moo’s Camp, bergabung rombongan Gita Lovusa dan keluarga Seno, yang berangkat dari Yogyakarta. Menyusul, datang mas Pras (suami Wiwiet) yang berangkat langsung dari Jakarta. Makin ramailah suasana di Moo’s Camp tambahan anggota ini.

Belajar batik dan bermain di alam Boyolali

Menginap dua malam di Moo’s Camp menjadi acara yang mengesankan dan penuh kenangan. Agenda acara yang direncanakan berganti menjadi sesi-sesi informal yang terus berjalan tanpa putus bersama mbak Septi dan mas Dodik. Kami membicarakan apa saja, mulai proses homeschooling yang dijalani Enes, Ara, dan Elan; proses perkembangan kegiatan sosial (sociopreneurship), juga cerita pengalaman pengembangan proyek-proyek mbak Septi seperti Jarimatika, Ibu Profesional, sekolah Lebah Putih, Komunitas Cantrik, serta berbagai hal lainnya.

Sambil mengobrol dan diskusi, dua orang pemain gamelan memainkan siter dan gender secara live. Teh hangat, kacang dan makanan desa turut menemani diskusi itu. Paduan ini betul-betul menyentuh hati dan menciptakan suasana pedesaan Jawa yang romantik.

Usai mengobrol dan berdiskusi hingga larut malam, acara pagi hari diawali dengan jalan pagi dan memerah susu. Acara dilanjutkan dengan jalan-jalan berkeliling kebun & sawah bersama anak-anak. Kami berjalan santai sambil terus mengobrol sepanjang jalan. Anak-anak belajar mengenal berbagai tanaman yang mereka lihat sepanjang jalan. Beberapa kali bertemu dengan penduduk desa yang menyapa ramah, anak-anak berkenalan dengan kehidupan desa dan pertanian yang ada.

Usai jalan-jalan, anak-anak melakukan permainan bersama. Mereka diminta datang mengunjungi rumah-rumah di sekitar untuk menyapa dan berkenalan dengan penduduk.

Bersambung keWisata belajar (3): Perjuangan Membangun Mimpi

6 thoughts on “Wisata Belajar (2): Nyantrik di Moo’s Camp Boyolali”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.