Banyak yang bilang kalau mati, jodoh & rezeki adalah rahasia Tuhan. Ibaratnya manusia memang bisa berusaha tapi kalau sudah garis hidup menentukan demikian apa mau dikata.
Mungkin rezekiku memang harus merasakan 4 tahun di SMA, bukan 3 tahun seperti teman-teman yang lain. Kalau di kelas 1 aku nyaris tidak naik karena beberapa kali “cabut” dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka kini kisahnya sedikit berbeda.
Entah dari mana asalnya, tapi aku yang waktu kelas 1 SMA takut banget keluar kelas, ternyata bisa terpilih menjadi sekretaris umum OSIS ketika di kelas 2. Padahal aku nggak ikut kegiatan kehebohan di OSIS waktu kelas 1. Mungkin posisi kelas tepat di sebelah kantin memang membuat hari-hariku di SMA jauh lebih membaik, hehehe. Nggak lihat di mana hubungannya? Aku juga nggak.
Yang pasti, menjadi sekum OSIS membuatku jarang di kelas juga. Hanya saja, cabutku di kelas 2 ini lebih halal daripada waktu kelas 1. Alasannya jelas, untuk rapat OSIS bukan untuk ngeband. Hehe. Setelah kuingat-ingat sekarang ini, ternyata aku memang bener-bener anak yang tidak betah berada di kelas. Jangan-jangan satu motivasi terbesar ketika menerima amanah menjadi sekretaris OSIS adalah supaya bisa sering nggak harus belajar di kelas. Hohohoho….
Aku ingat siang itu di ruang koperasi, temanku sang ketua OSIS dengan bangga menunjukkan kalau dia lulus AFS (American Field Service) Intercultural Programs dan akan diberangkatkan ke Jepang. Waaa Jepang? Asik bangeet. Tidak lama, temanku yang lain juga bercerita kalau dia juga lulus AFS dan akan diberangkatkan ke Amerika. Yaaa kok gak ngajak-ngajak? Kata mereka sudah terlambat, harusnya aku mendaftar dari kelas 1. Aah bete-nya. Membayangkan betapa menyenangkannya mereka setahun nggak harus sekolah.
Pulang sekolah, ibu bilang nanti malam ada undangan ulang tahun 17an anak koleganya dan dia minta aku ikut. Dengan malas aku menyanggupi. Di pesta itu aku berkenalan dengan seorang teman yang katanya baru pulang dari pertukaran pelajar di Amerika. Duh aduh, tadi siang terima kabar temenku mau berangkat eh sekarang ada yang cerita dia baru pulang. Nggak tahu apa yah kalau aku lagi sirik?
Ternyata memang sirik itu nggak boleh, teman-teman. Tak lama berjeda dari rasa kesal, teman baruku itu menyatakan kalau untuk mengikuti YEP (Youth Exchange Program) yang dia ikuti masih bisa. Pendaftarannya masih terbuka, dia pun memberikanku alamat tempat tes-nya.
Waaa senangnya. Singkat cerita aku pun mengikuti seluruh rangkaian proses untuk bisa ikut pertukaran pelajar. Saking pengennya aku berangkat, ditanya apa aja jawabnya “bisa”. Kalau pas yang nggak bisa jawabnya, “Nanti saya belajar”. Xixixi, pokoknya modal nekat aja. Eeh beneran, setelah melewati proses lumayan panjang akhirnya aku juga bisa cuti sekolah setahun dan pergi ke Bermuda.

***
Mengikuti pertukaran pelajar adalah sebuah hal besar yang mengubah banyak cara pandang dalam hidupku. Aku seperti ikan kecil yang dilepaskan ke samudra luas dan menyadari begitu banyak jenis ikan-ikan lain yang berbeda tapi tetap cantik dalam setiap perbedaan yang mereka miliki.
Semakin kaya karena di Bermuda aku bukan sekolah SMA, tapi masuk ke College. Jadi kebayang dong, waktu main jauh lebih banyak! Hehehe (ujung-ujungnya selalu waktu main). Lain kali saja aku bercerita tentang pengalamanku di Bermuda, sebuah negara cantik dengan pasirnya yang berwarna merah jambu. Dan betapa aku nyaris saja jadi pengamen, ikut tour satu tahun keliling dunia karena lulus audisi Up With People.
Yang ingin kuceritakan sekarang justru pasca pulang dari pertukaran pelajar, ketika kembali ke SMA. Ternyata aku tetap harus mengikuti kelas 3 SMA & itu berarti aku ketinggalan satu tahun dari teman-teman satu angkatanku.
Parahnya, ketika pulang, aku lupa hampir semua pelajaran SMA. Susah sekali konsentrasi selama 6 bulan pertama, akhirnya menjelang akhir SMA aku ikut bimbel. AJAIBnya bimbel-bimbel itu mampu memadatkan pelajaran 3 tahun hanya dengan 6 bulan dan mampu membuatku lulus UMPTN. Wooow…
Di sinilah aku seperti mendapat pencerahan, kalau ternyata perjalanan panjang belajar selama ini seakan menjadi tidak penting begitu kita lulus/tidak lulus UMPTN. Ada temanku yang menurutku sangat pintar tapi nggak lulus UMPTN lalu menjadi sangat down. Mungkin saat itu dia sedang tidak enak badan atau salah mencoret kertas jawaban. Sedangkan aku yang benar-benar seakan mulai dari 0 dan mengejar selama 6 bulan, cukup beruntung untuk bisa lolos UMPTN.
Lalu buat apa tangisan ketidakterimaanku nyaris tidak naik kelas kemarin, bersusahpayah bertahan untuk mampu duduk manis di dalam kelas sementara pikiranku entah melanglang ke ujung dunia sebelah mana, berusaha keras menutup mulutku rapat-rapat sepanjang jam pelajaran, pusing-pusing ulangan, tumpukan PR selama kelas 1 & 2, kucing-kucingan dengan guru mencari-cari alasan untuk bisa keluar pada saat jam pelajaran, kalau ternyata pas pulang dari Bermuda LUPA HAMPIR SEMUA mata pelajaran dan dikejar pakai bimbel saja cukup?
Saat itu aku memikirkan adakah cara belajar yang lain, yang mampu mengakomodir anak seperti aku yang pantatnya cepat panas kalau kelamaan duduk di kelas. Susah tenang & terlalu banyak ngobrol pada saat guru sedang menerangkan?
Di manakah tempat untuk anak yang lebih senang berlari, bernyanyi & belajar melalui gambar & media bergerak bukan dengan teks? Adakah guru yang cukup tahan dengan anak yang susah untuk diam, yang tidak berhenti bertanya dan sering tidak bisa terima kalau hanya disuruh mencari jawaban di kunci jawaban? Sampai kapan anak-anak seperti aku ini mendapat cap sebagai anak ceroboh, tidak bisa diatur, cerewet, nakal & semaunya sendiri?
Mungkin itulah yang akhirnya membuatku merasa, jika kelak aku punya anak. Kan kubiarkan dia belajar mulai dari apa yang dia suka, dengan cara yang dia suka, di tempat yang dia merasa nyaman, ketika dia merasa sedang tergelitik keingintahuannya. Di mana saja, kapan saja, bersama siapa saja, selama itu berguna baginya & masa depannya. Jalankan saja nak..
17 thoughts on “Ternyata Memang Harus Tinggal Kelas”
Setuju mak peluang itu belum tentu datang dua kali, keren ih 😀
Makasih kunjungannya ya mak Rahmi 😀
Kalau aku punya murid kayak Lala, kita pasti akan banyak ngobrol dan bisa jadi temen yang seruuuuu, karena aku akan banyak belajar darinya, bagaimana memanage perasaannya, dan bagaimana menahan segala hantaman
La, aku kan ngajar di tiga sekolah ya, sekolah negeri dibawah kemdiknas, sekolah negeri dibawah kemenag, dan satu sekolah swasta yang baru berdiri, terus ditambah aku ngajar bimbel.
Mengajar sekolah dengan kultur dan karakater anak anak yang jauh berbeda merupakan tantangan tersendiri buatku, kadang sih kadang nih, aku amaze saat mengajar topik yang menurutku sulit dipahami di sekolah yang satu, ternyata dengan sangat sangat mudah dipahami di sekolah yang lain, di sekolah yang satu aku ngos ngosan, di sekolah yang lain enteng aja
Disitulah tantangan buatku, yang bikin sedih adalah di sekolah yang satunya justru motivasi anak belajar bukan karena mereka ingin tahu, tetapi cuma karena sebuah angka, ancaman tidak akan dapat nilai manjur sekali disana
Beda dengan sekolah yang satunya, mereka tanpa motivasi, mau diancam atau tidak mereka merasa punya free will, yang penting enjoy aja
Asyik ya, makanya aku cintaa banget jadi guru
Sekarang sih aku lumayan paham kalau guru itu juga manusia, bisa galau & juga sedang mencari jalan terbaik untuk bisa mengajarkan murid2nya. Sayang aku tidak memiliki itu saat SMA. Aku pikir setiap guru yang ada di sekolah itulah sumber kebenaran. Makanya cap/trademark itu melekat dan akhirnya aku amini. Cukup lama sampai akhirnya berani keluar dan merasa bahwa bentukku ini pasti ada maksudnya. Dan aku bukanlah singa yang bisa dinilai dari kepandaiannya terbang..
Nice share mba Lala ^^
Aku juga punya pantat yang panas kaya mba Lala. Sering banget jaman dulu ijin ke UKS lah, ijin ke kelurahan mau bikin KTP lah….hihiihihi silly ya? iya, but thats true. Bedanya aku ngga seberuntung mba Lala bisa ikut pertukaran pelajar keluar sana, tapi aku…kami pengen antar Lugas “keluar” sana.
God bless you mba 🙂
God bless you too mb Puri.
Aku percaya setiap orang dilahirkan unik dan punya hak untuk belajar dengan gaya belajarnya masing2 ^_^
Pengen ketemu mak Lala
Ayo atuh mak, kapan2 kita ketemuan 😀
Keren banget kak pengalaman sekolahnya. Aku bingung kak kenapa aku jd pelajar kok ‘pasrah banget’ ya 🙁
hehe…
“Membayangkan betapa menyenangkannya mereka setahun nggak harus sekolah”
Maaf dek, untuk jadi peserta AFS, kamu HARUS sekolah selama disana. Bolos berakibat kamu langsung dikembalikan (dengan dipermalukan) ke Indonesia.
~Senior Alumni AFS. Angk. 1991
Hehe kak Adrian, “Membayangkan betapa menyenangkannya mereka setahun nggak harus sekolah” –> itu kan imajinasi saya aja waktu denger cerita mereka. Saya juga tahu kok ada rule itu. Jangan baper ya kak…
btw, Saya ikutnya Rotary mas bukan AFS. Oleh Rotary district New York saya dikirim ke Bermuda dan didaftarkan BUKAN di SMA tapi di College, sehingga waktunya sangat fleksibel jadi saya juga nyaris nggak pernah bolos di sana.
Mba Lala.. anakku sekarang sedang bermasalah di pelajaran hingga tidak naik kelas tahun ini. Sekarang dia harus mengulang di kls 1 sma. Menurutnya cara menjelaskan gurunya di sekolah bikin bingung. Padahal anak saya cukup cerdas di bidang bhs inggris dan komputer.. dan sepertinya anak saya lebih gampang berkomunikasi dalam bahasa Inggris, yg mana saya jadi heran karena anak saya tidak pernah les bhs Inggris, menurutnya dia bisa bhs inggris melalui media internet dan tv kabel.. namun karena nila mata pelajaran pokok (fisika, kimia, mtk) di bawah rata2 menjadikan anak saya tidak naik kels.. bisa saya dapat info dulu mba Lala ikut bimbel dimana..?
Saya waktu itu ikut bimbel Ganesha Operation: http://www.ganesha-operation.com/
Wah keren ih aku mau dong cara nya gimana caranya daftar kaya gitu ya?
Kalau untuk ikut Rotary Youth Exchange bisa di sini: http://ryeindonesiad3410.org/
Kalau untuk ikut AFS Youth Exchange Students bisa di sini: http://afsindonesia.org/en/pages/kl-yes-program.html
Kak, memang kenapa kakak kok bisa ikut Afs padahal udh kls 2? Ceritain dong kak, makasih