Beberapa waktu yang lalu, aku menuliskan tentang bagaimana memulai homeschooling untuk anak yang sudah pernah sekolah. Jadi, proses homeschoolingnya tak dimulai dari bayi atau preschool, tetapi anak sudah pernah menjalani pendidikan di sekolah.
Penyebab pindah dari sekolah ke homeschooling
Banyak penyebab perpindahan anak dari sekolah ke homeschooling. Sebagian diantaranya disebabkan anak yang mogok sekolah karena berbagai hal, diantaranya: bullying dari teman, trauma terhadap sikap tertentu dari guru, anak memiliki minat yang fokus yang berbeda dari sekolah atau sikap yang khas, dan sebab-sebab lain.
Biasanya, orangtua sudah mengusahakan berbagai cara untuk menjaga anaknya agar tetap bersekolah, mulai membujuk anak, berkomunikasi dengan sekolah, pindah sekolah, hingga “mengancam” anak. Ketika anak tetap tidak mau pergi ke sekolah, akhirnya orangtua mau tidak mau berfikir cara lain untuk menjalani pendidikan bagi anaknya. Lalu, terpikirlah homeschooling sebagai solusinya.
Bisa juga, homeschooling dipilih karena tiba-tiba orangtua pindah ke daerah terpencil. Jadi, inisiatif homeschooling terjadi karena kondisi eksternal yang memaksa. Masih banyak lagi alasan keluarga memilih homeschooling lainnya.
Saat homeschooling menjadi “katup pengaman darurat”, proses homeschooling tidak terjadi secara terencana, tetapi “by-accident” yang membutuhkan adaptasi secara cepat dari orangtua.
Tantangan memulai homeschooling
Apapun sebabnya orangtua melakukan homeschooling, semuanya adalah sah sebagai usaha orangtua memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya. Juga, homeschooling itu legal dan dijamin Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tapi satu hal yang perlu disadari orangtua, menjalani homeschooling tak bisa begitu saja meng-copy proses yang terjadi di sekolah. Meniru secara persis sekolah dan kemudian dipraktekkan di rumah memiliki kegagalan sangat tinggi karena rumah berbeda dari sekolah.
Yang pertama, semua interaksi yang terjadi di rumah berlangsung secara informal. Komunikasi antara orangtua dan anak berlangsung secara informal dan kasual, berbeda dengan komunikasi antara guru dan murid yang bersifat formal. Oleh karenanya, pendekatan komunikasi dalam proses belajar pun berbeda.
Yang kedua, orangtua berbeda dari guru. Walaupun salah satu fungsi orangtua dalam homeschooling adalah menjadi guru (sumber ilmu), tetapi fungsi terbesarnya bukan di sana. Sumber ilmu bisa diperoleh dari mana saja. Fungsi utama orangtua dalam homeschooling adalah menjadi inspirator, motivator, dan manajer kegiatan belajar anak. Atau, secara sederhana fungsi orangtua adalah mirip kepala sekolah.
Yang ketiga, sarana di rumah tak sama dengan sekolah. Pengaturan ruang-ruang di rumah pun berbeda dengan sekolah. Oleh karena itu, belajar dalam homeschooling sering mengambil bentuk-bentuk yang berbeda dengan menggunakan keseharian dan berbagai sarana yang ada di dunia nyata (masyarakat).
Yang keempat, model homeschooling itu sangat banyak. Model homeschooling tak hanya mengadaptasi sekolah. Di sinilah peran besar orangtua untuk belajar mengenai homeschooling.
Menjembatani perbedaan mindset dan budaya
Dalam homeschooling, sebagian besar proses belajar yang alami memanfaatkan keadaan anak, baik minat, pola kegiatan, gaya belajarnya, dan lain-lain. Proses belajar akan efektif jika berangkat dari anak, baik karena kebutuhan atau kesukaan. Keaktifan dan inisiatif anak memiliki peran yang sangat penting dalam proses homeschooling.
Di sinilah titik krusialnya.
Budaya belajar dalam homeschooling berbeda dengan sekolah. Di sekolah, hal terpenting adalah anak berangkat ke sekolah dan masuk kelas. Semua materi dan proses belajar sudah ditentukan oleh sistem. Jadwal belajar sudah dipastikan. Proses belajar diinisiasi oleh guru. Anak tinggal pasif dan menjalani saja apa-apa yang dikatakan oleh guru.
Kalau proses seperti sekolah ini diadaptasi ke rumah, prosesnya akan sangat berat sekali bagi orangtua. Orangtua harus menjadi pusat belajar. Orangtua setiap kali harus menyuruh anak belajar. Sementara, anak hanya bersikap pasif dan menunggu perintah orangtua untuk belajar. Belajar tak dirasakan sebagai tanggung jawab, apalagi kebutuhan anak karena mindset-nya seperti sekolah.
Jadi, tantangan pertama dalam peralihan dari sekolah ke homeschooling adalah mengubah mindset orangtua tentang belajar. Tanggung jawab yang utama dalah proses belajar berada di tangan anak, bukan orangtua. Peran orangtua adalah memfasilitasi kebutuhan dan proses belajar anak.
Di sinilah titik peralihan mental dan mindset yang penting menuju homeschooling, baik pada orangtua maupun anak. Proses inilah yang disebut deschooling, yang tujuan besarnya adalah membangkitkan kembali minat belajar yang alami pada anak.
(Bersambung ke: Apa itu Deschooling?)
2 thoughts on “Tantangan peralihan dari sekolah ke homeschool”
apakah bimbingan konseling bisa berperan dalam homeschooling?
Orangtua berperan paling utama dalam proses transisi ini. Bantuan profesional eksternal yang mengetahui ttg hal ini dapat dipergukan jika diperlukan.