Banyak yang masih awam dengan sistem pendidikan homeschooling, padahal kelebihannya pun melimpah.
Homeschooling (HS) atau home education (HE) adalah model pendidikan di mana keluarga memilih bertanggung jawab atas proses pendidikan anak. HS bukan lembaga dan berbeda dari sisi pengelolaan sekolah. Di sekolah, sistem dan standar sudah dibakukan, sementara di HS, “Tanggung jawab pendidikan ada di orangtua. Jadi, hal terpenting adalah komitmen orangtua,” tegas Aar Sumardiono, pengamat dan praktisi HS dari Rumah Inspirasi.
Oleh karena itu, fleksibilitas waktu sangat penting, karena berhubungan dengan kualitas pendampingan orangtua. “Sebagian besar praktisi HS, salah satu orangtuanya tidak bekerja, bekerja di rumah, atau bekerja paruh waktu,” tambah penulis buku Homeschooling Lompatan Cara Belajar dan Warna-warni Homeschooling.
Selain waktu dan customized alias bisa menyesuaikan proses belajar dan materi dengan anak-anak, keluarga HS dapat menyesuaikan anggaran pendidikan dan memaksimalkan pengeluaran. Misalnya, menggunakan buku bekas, perpustakaan umum, bertukar keahlian, atau melalui internet.
Tapi, ada pula orangtua yang menggunakan kurikulum internasional, mengundang tutor, ikut kursus, dan menyediakan sarana belajar di rumah. Alhasil, biayanya relatif lebih banyak. Menurut Aar, langkah terbaik adalah membuat anggaran pendidikan HS sama dengan standar sekolah biasa.
Dapat Ijazah
Karakter dasar HS adalah customized education sehingga memiliki beberapa model. Mulai dari tidak terstruktur (unschooling) sampai yang terstruktur seperti sekolah (schooling atau school-at-home). Sepanjang tidak melanggar hukum, tambah Aar, tak ada masalah karena keluarga paling tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya.
Orangtua dapat memilih akan menyelenggarakan proses HS atau menggunakan bantuan lembaga lain seperti komunitas homeschooling. “Mereka memberikan layanan dan bantuan penyelenggaraan HS. Misalnya, menyediakan layanan tutor atau membantu dalam hal anak-anak HS mengikuti ujian,” jelas ayah dari tiaga yang semuanya menjalani HS.
Khusus model schooling, keluarga HS bisa memilih memakai acuan kurikulum nasional atau kurikulum lain, semisal Cambridge IGCSE yang digunakan sekolah internasional di Indonesia. “Kreativitas keluarga tetap terbuka, terutama dalam proses belajar yang disesuaikan dengan anak agar memperoleh hasil maksimal,” kata suami Mira Julia yang juga aktif di Rumah Inspirasi.
Model schooling bertujuan mendapatkan ijazah, sehingga ada rapor dan mengikuti proses layaknya sekolah biasa. Ya, anak-anak HS memang bisa memperoleh ijazah dengan mengikuti ujian kesetaraan yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional.
“Ujian kesetaraan sendiri terdiri atas tiga jenjang, yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA). Ijazah Paket C bisa digunakan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi,” jelas Aar.
Kejar Profesi
Model HS unschooling mengajak anak belajar melalui keseharian. Jika materi belajar di sekolah adalah pengetahuan atau teori, maka metode belajar unschooling dilakukan melalui minat dan dunia nyata. Misalnya, belajar matematika sembari berbelanja. Di model unschooling, tak semua mengejar ijazah. “Sebagian mengejar magang dan sertifikasi. Bisa dibilang, model unschooling lebih mengarah ke profesi,” ujar Aar.
“Sekarang kan banyak profesi yang memerlukan sertifikasi dan portofolio karya. Misalnya, jago olah foto menggunakan piranti lunak A yang bersertifikasi standar internasional,” jelas Aar. Jadi, anak bisa belajar dan ikut sertifikasi piranti lunak tersebut hingga memiliki semacam ijazah yang bisa menjadi tiket menjadi seorang profesional. Selain sertifikasi, jalur lainnya adalah portofolio dan magang di dunia kerja.
Good Habit
Homeschooling bisa dilakukan di usia dan tingkat mana saja. Tapi, memang lebih mudah melakukan HS sejak anak berusia dini. Jika anak sudah pernah bersekolah, biasanya butuh proses adaptasi dari kebiasaan belajar di sekolah menjadi belajar di mana saja.
HS di usia dini tidak berarti mengajari anak belajar membaca, menulis, matematika, dan hal-hal akademis lain sejak bayi. HS lebih menekankan pola pengasuhan yang sehat (good parenting). Hal ini bertujuan sebagai fondasi agar anak siap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi (SD) serta penjajagan komitmen orangtua mengenai proses pendidikan HS.
Khusus anak-anak usia dini (pra-sekolah), penekanannya lebih kepada menciptakan kebiasaan baik (good habit). Anak usia 1,5 tahun misalnya, yang masih belajer berbicara dan bergerak, bisa lebih banyak diajak mengobrol, bercerita, dan melakukan kegiatan eksploratif.
Lintas Umur
Banyak yang menganggap HS akan menghambat perkembangan sosial anak. Menurut Aar, anak-anak yang dididik dalam HS memang memiliki model sosialisasi yang berbeda.
“Mereka tidak berkumpul di kelas dengan anak-anak seusianya. Mereka bersosialisasi dengan anggota keluarga dan masyarakat di sekitarnya yang sebagian besar memiliki usia berbeda,” kata Aar.
Jadi, model sosialisasi lintas umur adalah model sosialisasi utama dan karakteristik utama di dalam HS yang dijalani selama proses pendidikan. Akan tetapi, model sosialisasi ini ternyata justru memiliki keuntungan. “Keuntungan model sosialisasi lintas umur ini adalah mereka tak membutuhkan penyesuaian ketika harus bersosialisasi ke masyarakat,” lanjutnya.
Penulis: Hasto Prianggoro, Foto: Eng Naftali/Nova
Sumber: Tabloid Nova No. 1332/XXVI, 2-8 September 2013
2 thoughts on “Tabloid Nova: Nilai Lebih Belajar di Rumah”
mau tanya pak? apa homeschooling juga sudah ada izin dari diknas..? soalnya ada juga yang ikut ujian di ummbrella school…
Homeschooling itu pendidikan berbasis keluarga (informal), jadi tak memerlukan izin. Yg memerlukan izin adalah lembaga penyelenggara pendidikan kesetaraan seperti PKBM.