Setelah lama ingin membaca buku Sokola Rimba karangan Butet Manurung, hari ini akhirnya aku menyelesaikannya. Kesan pertama: keren, jujur, inspiratif.
Perjuangan dan inisiatif Butet membangun Sokola Rimba sangat luar biasa, paparan dan kerisauannya tentang dilema-dilema modernitas sangat pas. Sokola Rimba memang layak menjadi inspirasi untuk dunia pendidikan maupun social entrepreneurship.
***
Buku Sokola Rimba adalah kisah Butet Manurung, yang awalnya menjadi fasilitator pendidikan untuk anak-anak rimba dan kemudian membangun sekolah untuk anak-anak itu yang diberi nama “Sokola Rimba”. Sokola Rimba kemudian menjadi salah satu model pendidikan yang diterapkan untuk berbagai komunitas adat yang ada di berbagai pelosok Indonesia.
Lokasi tempat tinggal orang Rimba tempat Butet berkecimpung ini berada di kawasan Bukit Dua Belas, Jambi, Sumatera. Orang Rimba adalah sebutan yang lebih netral daripada Kubu yang sering dikonotasikan secara arogan untuk menyebut sekelompok masyarakat yang bodoh dan terbelakang.
Selain tersebar di kawasan hutan Bukit Duabelas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar, lokasi Orang Rimba tidak mudah dijangkau. Diperlukan perjuangan keras berjalan kaki ke dalam hutan untuk menemui mereka. Diperlukan niat baik yang tulus, sudut pandang yang benar, serta kesabaran yang tinggi untuk mendampingi Orang Rimba yang memiliki adat dan sudut pandang berbeda dengan orang kota.
Mengharukan membaca proses Butet beradaptasi di kalangan Orang Rimba, dari awalnya ditolak untuk mengajari anak-anak karena dianggap akan membawa pengaruh budaya luar yang mengubah adat, hingga ketika buah kemampuan anak membaca memberikan manfaat langsung yang positif saat Orang Rimba harus membuat kesepakatan tertulis dengan penduduk desa.
***
Kalau berbicara Sokola Rimba sebagai sebuah sekolah, jangan bayangkan bentuknya seperti sekolah yang ada di kota-kota di Jawa yang memiliki gedung dengan prasarana lengkap. Jangan pula membayangkan proses belajarnya sama seperti yang diatur oleh kurikulum nasional dan standar-standar pendidikan yang ditetapkan pemerintah.
Seperti kata Butet:
“Jangan harap ada bangunan sekolah dengan gambar presiden atau ada skeleton anatomi manusia di dalamnya, atau tiang bendera dan lonceng di tengah lapangan…”
“Kami belajar tidak hanya di pondok, kalau hari cerah, kami lebih senang di alam terbuka, di bawah pohon, atau dekat sungan, atau jalan-jalan ke sana ke mari dengan buku digulung dan disemat puplen, lalu diselip di celana atau cawat masing-masing.
“…sering memberi pelajaran sambil berbaring dan tidak mandi seharian kalau lagi malas. Aku bahkan bisa juga sambil pake masker bedak dingin kalo lagi kurang kerjaan. Pernah maskernya kugeletakin sembarangan, sampai anak-anak menyelupkan masker itu ke dalam masakan karena dikira merica halus.”
Hahaha… Deskripsi Butet ini menarik. Rasanya akrab dengan deskripsi sekolah seperti itu karena mirip homeschooling yang kami jalani sehari-hari, yang sering membuat wartawan atau orang baru yang berkunjung merasa bingung karena tidak menemukan ruang kelas dan tak pernah melihat kami mengajar seperti guru di sekolah.
Tapi pada saat bersamaa, melalui realitas Sokola Rimba ini Butet mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang pendidikan: untuk apa sih anak-anak rimba ini belajar? Apakah untuk menjadi “beradab”? Apakah biar sama dengan orang-orang dunia luar? Apakah yang mereka pelajari harus sama dengan anak-anak lain di luar mereka? Apakah pendidikan memperkuat mereka atau justru mencerabut mereka dari akar budayanya?
***
Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan antropologi, pandangan-pandangan Butet dalam buku Sokola Rimba ini menarik.
Butet menolak sudut pandang “orang kota” yang melihat mereka dengan sikap yang merendahkan dan menganggap misi pada orang rimba adalah untuk memodernisasi dan membuat mereka lebih beradab. Butet juga menolak pandangan yang ingin mengasihani mereka.
Solusi-solusi “ala kota” belum tentu baik dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Bahkan bisa buruk dan menyakiti mereka.
“Orang Rimba di sini, mereka selalu merasa tertikam dan tersakiti benaknya ketika menerima sesuatu yang oleh orang luar disebut ‘bantuan’. Kelihatannya bantuan itu indah dan heroik, tetapi bagi Orang Rimba hal itu sama saja seperti menerima ejekan: mereka merasa diejek ketelanjangannya ketika menerima bantuan pakaian, mereka pun merasa dianggap miskin dan primitif ketika menerima bantuan rumah. Seolah-olah Orang Rimba akan kedinginan dan sakit gara-gara tidak memakai baju dan tidak menghuni rumah dengan empat dinding.
“Padahal, rumah yang nyaman bagi Orang Rimba adalah ketika tidur berhembus semilir angin yang membelai-belai wajah, dibuai senandung hewan-hewan malam serta gemerisik dedaunan yang menjadi lagu merdu pengantar tidur.
Pemberdayaan, dalam pandangan Butet, adalah self-empowerment. Pendidikan adalah untuk kepentingan mereka, sesuai kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Menguatkan diri mereka, memaparkan pada berbagai alternatif dan resiko, memfasilitasi kebutuhan mereka; lalu biarlah mereka mengambil keputusan yang menurut mereka terbaik untuk diri mereka sendiri.
***
Saat ini, buku Sokola Rimba telah diangkat ke dalam film layar lebar dengan judul yang sama dengan bukunya, yaitu “Sokola Rimba“. Film ini diproduseri Mira Lesmana dan disutradarai Riri Riza. Pemeran utama Butet Manurung adalah Prisia Nasution.
Tak sabar ingin menonton film Sokola Rimba yang akan mulai diputar di Studio XXI mulai hari Kamis, 21 November 2013.