Membaca buku dan menonton film adalah dua hal yang berbeda. Aku sadar sepenuhnya tentang itu.
Saat membaca, kita memiliki ruang imajinasi yang luas untuk berkhayal sesuai gambaran kita. Demikian pula, kita memiliki banyak kesempatan untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan dan kontemplasi penulis.
Sebaliknya, menonton film adalah membuka diri terhadap imaji dan sentuhan emosi yang dibangun dari gambar, dialog, dan suasana yang terbangun bersama penataan suara. Sensasinya berbeda dari membaca buku.
Berbeda itu ya berbeda. Tak lebih baik. Tak pula lebih buruk. Mungkin seperti merasakan apel dan jeruk.
Begitulah sudut pandangku saat berniat menonton film Sokola Rimba yang diadaptasi dari buku Sokola Rimba karya Butet Manurung.
Tapi tak dapat dipungkiri, sejak awal aku penasaran; sudut pandang dan plot seperti apa yang dibangun Riri Riza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser) untuk film Sokola Rimba ini.
Apakah film ini akan berkisah tentang proses Butet yang pada awalnya ditolak oleh Orang Rimba hingga kemudian diterima dan mendirikan Sokola Rimba? Apakah film ini akan menekankan pada keunikan Sokola Rimba yang menghadirkan pendidikan yang berbeda dari sekolah umum? Ataukah film ini akan bercerita tentang keindahan Taman Nasional Bukit Duabelas yang eksotik?
Apakah ini film tentang kemanusiaan? Film romantika keindahan alam? Film perjuangan lingkungan? Film tentang perjuangan? Atau apa?
Pilihan pasti harus dibuat. Dan di sinilah hal yang menarik buatku untuk menikmati tafsir sutradara dan produser sekelas Riri Riza dan Mira Lesmana terhadap buku Sokola Rimba.
***
Satu hal yang mengejutkan aku, dialog dalam film ini menggunakan bahasa Orang Rimba seperti apa adanya, dengan sub title dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia hanya digunakan kalau memang dialognya di kantor LSM Wanaraya (sebagai pengganti nama Warsi) atau di kota.
Ini keren! Penonton disajikan bahasa visual, dengan bahasa hanya menjadi instrumen pendukung yang tak menjadi penghalang untuk menikmati bangunan cerita dalam film. Salut untuk Prisia Nasution (pemeran Butet Manurung) yang terlihat sangat fasih berbahasa Orang Rimba dan memerankan dengan baik Butet Manurung. Dia sudah mengerjakan PR-nya dengan baik, sebuah profesionalitas yang patut diacungi jempol.
Plot film Sokola Rimba ini dibangun berdasarkan dua kisah. Yang pertama adalah interaksi antara Butet-Bungo-Orang Rimba dalam konteks belajar/bersekolah. Bungo adalah seorang anak rimba yang berasal dari suku di hilir sungai Makekal. Bungo terus “membuntuti” Butet walaupun jarak antara tempat tinggalnya dengan tempat Butet mengajar di hulu membutuhkan perjalanan tujuh jam.
Plot kedua disusun berdasarkan konflik antara LSM Wanaraya dengan Butet. Sudut pandang berbeda antara LSM Wanaraya yang mementingkan konservasi hutan dan Butet yang mementingkan pemberdayaan manusia melahirkan konflik alami. Apalagi dalam konteks benturan inisiatif pribadi idealis dengan kehidupan organisasi yang tergantung pada batasan kegiatan yang disepakati dengan donor.
***
Hal yang paling mengharukan buatku adalah momen saat Bungo membaca surat perjanjian kaumnya dengan orang luar dan memprotes beberapa pasal yang ada di perjanjian itu. Momen itu menjadi titik balik Orang Rimba yang mencurigai dampak pendidikan kepada anak-anak mereka, apakah akan membuat anak-anak menjadi tercabut dari adat dan keluar dari hutan, atau memberikan penguatan agar bisa survive di tengah modernitas yang terus menggilas kehidupan mereka.
Film ini keren! Sangat bagus untuk menghangatkan hati kita, melihat perspektif yang berbeda, dan menjadi renungan-renungan untuk kehidupan. Untuk anak-anak, film ini bagus untuk memberikan wawasan kepada mereka tentang keragaman teman-teman mereka yang ada di berbagai penjuru Indonesia. Membayangkan perjalanan 7 jam menuju sekolah dan belajar dengan fasilitas seadanya adalah benih yang bagus untuk memperbesar kapasitas bersyukur mereka.
4 thoughts on “Film Sokola Rimba: beda tapi tetap seru”
Wah, jadi penasaran pengen nonton nih..ga banyak film indonesia yg “bermakna” seperti ini
jadi pengen nonton filmnya…
keping CD nya apakah sudah beredar ya? keren banget… jadi pengen baca buku dan nonton filmnya juga.
Wah, kami tidak punya informasinya 🙂