Dalam rangkaian Pesta Pendidikan dan Bulan Dikbud, pada Selasa (17/5/2016) diselenggarakan acara Dialog Nasional Pendidikan Alternatif dengan tema “Kemerdekaan Anak”. Acara diselenggarakan di Graha Utama Kemdikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Sebelum itu, di gedung yang sama di lantai 3 berlangsung acara Masyarakat Adat dalam Sistem Pendidikan Nasional dengan menampilkan Sokola Rimba sebagai salah satu perwujudannya.
Sokola Rimba, Pendidikan yang Berbeda
Mengingat Sokola Rimba buatku adalah membuka kenangan tentang Butet Manurung, kehidupan Suku Anak Dalam alias Orang Rimba, buku “Sokola Rimba”. Juga, cerita Pangendum yang sempat hadir dalam acara Bincang Pendidikan beberapa tahun yang lalu.
Ada cerita Pangendum di forum itu yang terus teringat. Katanya,”Saya itu sudah bisa membaca dan menulis. Saya suka membuat film (red. Pangendum sudah belajar membuat film dari volunteer dan karyanya sudah memenangkan penghargaan). Tapi mengapa saya tidak langsung kuliah dan belajar film? Mengapa saya harus menunggu 12 tahun dan belajar macam-macam supaya bisa belajar film?”
Semua pendengar tertawa. Dan Pangendum menambahkan,”Orang kota itu memang aneh. Hal yang mudah justru dibuat susah.” Dan kembali tawa berderai mengiringi ucapan Pangendum.
Walaupun bagi orang kota yang terbiasa dengan sistem persekolahan pendapat Pangendum itu dianggap naif, tapi sesungguhnya pertanyaan Pangendum itu sangat original. Pangendum mempertanyakan manfaat pendidikan dan materi yang dipelajarinya secara kritis, sebuah hal yang tak pernah lagi dilakukan orang kota karena mereka terbiasa dan hanya menjalani proses yang sudah ditentukan tanpa pertanyaan-pertanyaan kritis yang menyertainya.
Pertanyaan-pertanyaan alamiah dan kritis itu selalu dihadapi Butet Manurung dan teman-temannya di Sokola Rimba. Mereka tidak bisa hanya memindahkan materi belajar sekolah di kota pada masyarakat adat karena banyak materi yang bias-kota dan tidak relevan. Misalnya, menghafal nama menteri atau provinsi jelas tidak terkait langsung dengan kehidupan dan tantangan yang mereka hadapi.
Setiap masyarakat adat memiliki tantangan yang berbeda. Dan oleh karenanya program belajarnya pun harus dirancang berbeda. Ada masyarakat di hutan yang menghadapi tantangan “illegal logging”. Ada masyarakat pesisir yang menghadapi tantangan kerusakan terumbu karang. Tantangan yang berbeda membuat pengetahuan dan proses belajar mereka pun berbeda.
Model Sekolah untuk Masyarakat Adat
Dari pengalaman berinteraksi dan membangun sekolah untuk masyarakat adat, Butet menekankan modelnya pada 3 hal:
- literasi dasar
- literasi terapan
- advokasi diri
Literasi dasar berkaitan dengan membaca, menulis dan berhitung. Literasi terapan berkaitan dengan penerapan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah lokal yang mereka hadapi. Pada akhirnya, ujung dari proses persekolahan untuk masyarakat adat adalah untuk menyiapkan mereka agar mampu mengadvokasi diri untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Dari sisi keberhasilan, Butet mengukur keberhasilannya dari keberadaan kader yang berhasil dan meneruskan proses pembelajaran secara mandiri kepada teman-temannya. Tentang bagaimana ke depan, Butet hanya sampai pada titik menyiapkan mereka untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri mereka sendiri (self determination). Bagaimana mereka akan berinteraksi dengan modernitas (menerima, menolak, berasimilasi, dll), masyarakat adat itulah yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri.
Aneka Praktik Pendidikan Alternatif
Belum selesai diskusi tentang pendidikan masyarakat adat, aku mendapat kabar bahwa acara Dialog Nasional Pendidikan Alternatif sudah akan dimulai. Aku langsung beranjak dan menuju lantai 2 Graha Utama Kemdikbud.
Di lantai 2, setting acara disusun berbeda dari umumnya. Karena acaranya dialog, kursi disusun melingkar berbentuk huruf U. Suasana santai dan longgar, dialog dilakukan dengan cair.
Acara Dialog Nasional Pendidikan Alternatif dihantarkan oleh mbak Ira (Monika Irayati), founder Erudio School of Art (ESOA), sebuah sekolah seni tingkat SMA. Dialog dan diskusi kemudian dipimpin oleh Uwak Ibe (Ibe Karyanto), rektor/kepala sekolah Sanggar Anak Akar.
(c) Ibe Karyanto
Acara ini dihadiri oleh banyak praktisi dan pengamat pendidikan alternatif. Dengan santai, penuh canda, tapi tetap substantif, Uwak Ibe meminta beberapa peserta yang hadir untuk berbagi cerita tentang pengalaman dan tantangan yang dihadapi dalam menjalankan pendidikan alternatif.
Cerita dimulai dengan ibu Wahya (Sri Wahyaningsih) mengenai Sanggar Anak Alam (Salam) yang berlokasi di Nitiprayan, Yogyakarta. Mas Bukik sempat mendokumentasikan paparan bu Wahya:
Selanjutnya, ada mas Bahruddin berbagi cerita mengenai Qaryah Thayyibah yang berlokasi di Salatiga.
Selain itu ada sharing mas Imron Zuhri (ESOA), aku (homeschooling & Rumah Inspirasi), Diyar (Sekolah Semesta Hati).
Beberapa tokoh yang juga memberikan paparan dan pandangan antara lain: pak Sulistyanto Soejoso (Dewan Pendidikan Jawa Timur), Jimmy Ph. Paat, Bukik Setiawan, Bambang Wisudo, dan lain-lain.
Berbagai pengalaman dan perspektif mengenai pendidikan alternatif dan pendidikan yang memerdekana dikemukakan. Tak ada penilaian atau simpulan yang dikerucutkan dalam dialog ini.
Menuju Kongres Pendidikan Alternatif
Acara Dialog Nasional Pendidikan Alternatif ini merupakan bagian dari rencana Kongres Pendidikan Alternatif yang direncanakan akan dilangsungkan pada bulan Oktober 2016 di Yogyakarta.
Usai acara dialog, dilakukan pertemuan informal untuk membahas rencana Kongres Pendidikan Alternatif tersebut. Perdebatan dan diskusi untuk membahaskan acara tersebut masih berlangsung. Tetapi gagasan tentang kongres sendiri disepakati untuk dilanjutkan dan dieksekusi dengan pembentukan Steering Committe dan Organizing Committe.
Mudah-mudahan Kongres Pendidikan Alternatif betul-betul terlaksana. Banyak harapan yang tertuang di sana. Buatku, kegiatan ini bisa membuka mata pemerintah mengenai keberadaan pendidikan alternatif dan menjadi awal proses advokasi pendidikan alternatif ke dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.