Pendidikan bukanlah sebuah dogma yang harus diterima begitu dan diimani. Pendidikan adalah produk dari budaya dan peradaban manusia, yang filosofi, metode, kandungannya dipilih dan dijalani karena dianggap terbaik. Tetapi ketika ada kesadaran bahwa yang dipilih itu bukan yang terbaik, tentunya bukan sebuah hal yang ditabukan untuk melakukan kritik demi mencari yang lebih baik lagi.
Berikut ini kutipan tulisan mbak Irmayanti Nugraha, seorang guru, mengenai proses pendidikan yang digelutinya sehari-hari. Kritiknya adalah kepedihan seorang guru yang mencintai anak muridnya dan ingin memberikan bakti yang terbaik untuk mereka.
**
Zein ‘Ditemukan’ dalam Pengkhianatan
Saya tahu, saya harus percaya kalau semua anak itu terlahir cerdas. Saya seorang guru, dan kepercayaan akan hal itu adalah modal awal bagi setiap guru yang akan mengajar. Tapi kadang, sulit sekali untuk merasa percaya, setelah berbagai cara telah dicoba di kelas. Pakai metode ini, pakai cara itu, tapi materinya tidak bisa terserap juga. Ya, mungkin saya tidak cukup sabar. Apa daya, kurikulum mengejar.
Pagi ini kami berkumpul untuk rapat evaluasi tengah semester. Seperti biasa, semua guru melaporkan perkembangan mata pelajaran yang diampunya. Maka muncullah nama-nama siswa yang ‘sulit ditangani’, baik secara kedisiplinan maupun secara akademik.
Dalam situasi ini, memang sulit untuk tidak berpendapat bahwa ada anak yang memang terlahir bodoh. Zein, misalnya. Nilainya di bidang eksakta hancur-hancuran, di bidang sosial jeblok, di bidang bahasa sama saja. Sulit sekali menghapal, tulisannya sangat jelek, dan tidak paham bila guru menerangkan. Jadi kalau bukan bodoh, anak ini disebut apa?
Tampaknya memang sulit menemukan gaya belajar anak bila masih mengikuti pakem pembelajaran yang konvensional. Saya bersyukur, sekolah kami punya tiga kelas yang ‘mengkhianati’ kurikulum, yaitu kelas seni, kelas pengembangan diri, dan kelas kerohanian. Ada 7 jam pelajaran normal yang dikorbankan untuk ketiga kelas ini. Nah, kalau ‘pengkhianatan’ ini ketahuan pengawas sekolah, bisa gaswat!
Kebetulan saya menjadi mentor Zein di kelas pengembangan diri. Di kelas ‘ngobrol-ngobrol lesehan’ ini baru saya tahu bahwa Zein hobi memodifikasi sepeda motor. Wah, bukankah ini memerlukan keterampilan teknis tertentu? Titik terang tentang gaya belajar Zein mulai bisa ditemukan, ketika kami mulai mengkhianati kurikulum.
Ketika rapat tadi, titik terang itu makin jelas. Pelatih kelas marawis (yang semua alatnya perkusi) menyerahkan nilai, dan tebak siapa yang tertinggi nilainya? Ya, Zein. Ah, ah. Ternyata dia punya kecenderungan pada kecerdasan kinestetik (badan) dan ritmik (musikal) yang tidak diketahui orang, bahkan juga tidak diketahui oleh dirinya sendiri.
Aneh juga. Zein sudah pernah mengikuti tes multiple intelligences sederhana sebelumnya, tapi hasilnya tidak terlalu jelas. Saya berpikir, dan menduga bahwa ia lemah dalam bidang verbal (bahasa). Hal itu membuatnya sulit mempelajari percakapan, menulis dengan baik, menerima instruksi verbal, termasuk memahami materi tes MI.
Coba tebak, apa yang saya pikirkan soal kondisi ini? Ya, ya ya. Saya tahu tak semua anak bisa jadi homeschooler karena berbagai sebab. Tidak bisa saya bilang, “Kita pulangkan saja Zein ke orang tuanya. Homeschooling!” Tidak semudah itu. Tetapi setiap bertemu dengan masalah seperti ini, kepercayaan saya pada sistem sekolah konvensional makin rendah saja.
Di sekolah konvensional, dengan kurikulum kemendiknas, Zein akan selalu jadi pecundang. Padahal kalau Zein boleh belajar dengan gayanya, dengan musik, dengan lagi, dengan bergerak, dengan peralatan, mungkin tak akan ada yang bilang dia bodoh. Tapi di sekolah biasa seperti tempat saya, hal itu cukup sulit dilakukan.
Memang, tak boleh hanya menyalahkan, menuduh, menggerutu, marah-marah, pada institusi bernama sekolah. Karena sekali lagi, tak semua anak punya kesempatan homeschooling. Yang harus dipikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan dalam kondisi ini untuk membuat kondisi anak-anak ini bisa lebih nyaman. Maksud saya, sedikit lebih nyaman. Sedikit saja, kecuali Paman Gober mewasiatkan hartanya pada saya untuk bisa membangun sekolah macam Summerhill.
(Oleh: Irmayanti Nugraha, seorang guru di Tangerang)
9 thoughts on “Sekolah dan kritik pendidikan”
im very appreciate n very sad,this article make open my eyes about education now……………………….ohhhhhh……….the education now very billshit,they r hiding behind money and business……………
Saya baru baca-baca homeschooling sangat bermanfaat.Pengajaran zaman sekarang terlalu menghabiskan waktu,kurang bermanfaat.Sehingga jika mau diteliti guru-guru PNS sebenarnya banyak yang nganggur.Kelebihan guru.Setiap tahun anggaran pemerintah menerima guru baru/PNS baru,yang saya tahu ada kawan hanya diberi nol jam mengajar oleh kepala sekolahnya/PNS.Lah gajinya tetap dibayar.Ada yang mengajar hanya 6 jam saja tapi bukan kepala sekolah.Pendidikan memang harus direvolusi.Belum lagi biaya pendidikan makin mahal,yang duitnya entah dimanfaatkan untuk siapa.Atau pejabat-pejabat termasuk kepala sekolah yang mubazirkan sumbangan pendidikan ini.Mungkin inilah alternatif pendidikan lebih focus lagi homeschooling,tapi seberapa pengaruhnya untuk negeri Indonesia ini? Terus berjuang kawan
Saya seorang konsultan, instruktur dan motivator produktifias serta penurus organisasi Usaha Kecil Menengah KADIN UMKM usia 61 tahun. Saya sangat tertarik dengan tulisan diatas “Melakukan pengkhanatan Kurikulum”. Ini bukanlah sebuah pengkhianatan melainkan “Menegakkan kebenaran”.
Presiden SBY sudah meminta Menteri Pendidikan merubah sistem sebab 12 tahun pendidikan membuat anak anak tidak berdaya menjadi pencari kerja, kita perlu pendidikan pencipta kerja. Organisasi KADIN UMKM sedang mengembangkan Profesional Entreprenuer disekolah SD-SMP-SMA sampai Kampus. Kami sudah menerbitkan Buku Panduan “CARA CEPAT MENGEMBANGKAN PROFESIONAL ENTREPREUER”.
Kemi menemukan dinding penghambatnya, yaitu kurikulum yang dibuat oleh “PAKAR PENDIDIKAN” yang tidak mengajak Pelaku Dunia kerja dan usaha. Kurikulum ini menghalangi proses pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya manusia. Kami memperkenalkan Cara belajar kecepatan tinggi atau HIGHSPEED LERNING TEACHING yang dapat memperpendek pelajaran akademik dari 6 tahun jadi 3 tahun dan yang 3 tahun jadi 1.5 tahun, mengemasnya menjadi ketrampilan untuk membuat produk yang menjadikan siswa profesional entreprenuer.
Tolong, bagaimana caranya bisa bekerja sama dengan organisasi Guru.Sistem ini cukup didemokan 30 menit langsung dapat ditiru oleh guru, sangat mudah dan murah. Apakah lembaga pendidikan yang terlanjur mahal mau menggunakan ? Sistem ini aka menurunkan beaya sekolah drastis dengan kwalitas profesional entreprenuer untuk menghadapi persaingan pasar global.
Mohon bantuan anda demi kemajuan bangsa dan negara. Kami harus kemana? 😆
Semoga programnya sukses ya pak. Mohon maaf tidak bisa membantu karena kami hanya seorang keluarga homeschooling semata.. 🙂
very inspiring
Mbak Irma, bersama Mbak Gita Lovusa baru menerbitkan buku La Tahzan for Teachers lho… Guru-guru yang sadar homeschooling memang beda kali ya dedikasinya.
interesting 😉
ijin share ya Mas Aar 🙂
Silakan mbak Aira 🙂
Home schooling memang sangat menarik dewasa ini, apa lagi dalam suasana pandemi kali ini.
Namun saya rasa baik home schooling maupun sekolah konvensional tidak dapat dibandingkan, keduanya memiliki peran yang sama baiknya, tergantung apa yg hendak dicapai.
Saya sebagai orang tua lebih merekomendasikan pendidikan yg lebih terjangkau aja, tp tetp memperhatikan layanan pendidikannya.