“I feel alive! Aku excited banget hari ini.”
Yudhis menyergah masuk ke kamar dengan nafas yang memburu karena bersemangat. Jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 22.00 dan dia baru pulang usai menghadiri acara diskusi di @qotacorner.vorlesung, sebuah komunitas pembelajaran terbuka di Jakarta Selatan.
“Senang sekali rasanya ketemu dengan orang-orang yang jago tentang sebuah hal dan mendapatkan perspektif cara pandang baru,” lanjutnya usai kami duduk bersama di meja makan untuk mendengarkan cerita lengkap Yudhis.
Hari ini, Yudhis mengikuti sesi diskusi tentang seni dan kebahagiaan dengan tema “When Life Is Stranger Than Fiction”. Sesi ini merupakan bagian dari serial diskusi #bahagiaproject yang diselenggarakan QotaCorner.
Kami bahagia menyaksikan kebahagiaan Yudhis. Kebahagiaan yang muncul saat belajar. Ekstase menikmati penyingkapan ilmu, wawasan, dan perspektif cara memandang kehidupan.
Peristiwa semalam meneguhkan dua hal bagi kami:
a. Ruang belajar semakin terbuka
Di era kini, banyak sekali ruang pembelajaran yang terbuka. Belajar tak lagi bersifat linier dari SD-SMP-SMA-kuliah. Belajar tak hanya tentang mata pelajaran. Belajar bisa tentang apa saja.
Di Internet, banyak materi belajar yang bisa dipelajari tanpa prasyarat pendidikan tertentu. Mau belajar materi akademis, ada Khan Academy, Youtube Channel, atau model perkuliahan seperti Coursera, Edx, dll.
Demikian pun komunitas diskusi dan sharing ilmu semakin bertumbuh.
Sebelum mengikuti acara QotaCorner, Yudhis sebelumnya pernah mengikuti kelas serial tentang Filsafat Pendidikan yang diselenggarakan oleh Jaringan Pendidikan Alternatif di Studio Sang Akar, Tebet.
b. Anak-anak bisa menjadi pembelajar mandiri
“Mengapa nggak banyak remaja yang mengikuti diskusi asyik semacam ini?” tanya Yudhis. Mungkin mereka tak punya waktu karena sibuk dengan aneka target belajar eksternal yang harus mereka selesaikan.
Sementara itu, Yudhis yang menjalani homeschooling memiliki waktu yang sangat longgar untuk mengeksplorasi berbagai hal. Dia memiliki minat belajar yang lebar mulai desain, game, data science, filsafat, spiritualitas, dan lain-lain.
“You have that kind of luxury yang perlu kamu syukuri karena kamu nggak sekolah” kataku. “Manfaatkan kesempatan belajar yang terbentang luas di hadapanmu. Belajarlah apa saja yang menjadi keingintahuanmu dan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan.”
Menyiapkan Pembelajar Mandiri
Salah satu tujuan besar dalam proses homeschooling yang kami jalani adalah menyiapkan anak menjadi pembelajar mandiri (self-directed learner). Ibarat memancing, kami lebih berfokus untuk mengajari dia cara memancing daripada memberikan ikan yang siap disantap.
Dengan mengajari ilmu memancing, kami berharap anak-anak bisa hidup dan survive di manapun berada. Dengan menyiapkan anak menjadi pembelajar mandiri, kami berharap anak-anak bisa beradaptasi dan belajar dengan aneka ilmu baru yang terus berkembang sepanjang kehidupan mereka.
Ada 2 komponen utama dalam proses menyiapkan pembelajar mandiri, yaitu membangun budaya belajar (learning culture) dan keterampilan belajar (learning skills).
Membangun budaya belajar (learning culture) memang tak mudah. Membangun keterampilan belajar (learning skills) memang membutuhkan waktu yang panjang.
Melihat proses yang dijalani Yudhis, kami semakin yakin bahwa usaha itu bisa dilakukan.