Hari Jumat (12 Juni 2015), aku bersama rombongan dari Majalah Griya Asri berangkat menuju Pekalongan untuk survey terakhir menjelang acara Pameran lukisan karya Djoko Simbardjo bulan Agustus mendatang.
Berangkat dengan kereta jam 7 pagi, membuat kami sampai Pekalongan menjelang tengah hari. Bukan jam yang tepat untuk sampai di kota pinggir laut yang panas. Muka rasanya langsung gosong. Apalagi kami menginap di hotel Horison yang terletak tepat di seberang stasiun Pekalongan jadi tanggung kalau mau naik taksi dan mau tidak mau harus jalan.
Hotel Horison terletak tepat di jalur Pantura, sehingga banyak sekali truk-truk besar melintas. Mobil-mobil pun tetap melaju kencang walau ada orang yang ingin menyeberang. Ibu sempat berteriak, entah karena aku yang jalannya meleng atau memang mobil itu yang melaju terlalu cepat & dekat dengan pinggiran jalan. Kesan pertama yang kurang manis buatku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Pekalongan.
Setibanya di Hotel Horison Pelalongan, kami bertemu dengan rombongan Majalah Griya Asri lain yang sudah sampai lebih dahulu. Rombongan itu berangkat dari Semarang, setelah hampir 1 minggu berjalan melakukan pemotretan ke beberapa tempat untuk majalah.
Wisata Kuliner di Pekalongan
Bersepuluh, dipandu oleh ibu Ipuk yang memang lahir dan besar di Pekalongan, kami memulai petualangan di Pekalongan dengan menyantap Tauto, atau soto dengan kuah tauco yang menjadi khas kota Pekalongan. Ini adalah perjalanan wisata kuliner kami di Pekalongan.
Ada banyak tempat makan Tauto di Pekalongan, tapi kata bu Ipuk, Tauto alias soto di Gedung PPIP Pekalongan adalah yang paling enak. Tempat ini pun memiliki memori yang kuat bagi bu Ipuk yang dulu melaksanakan resepsi pernikahannya di gedung PPIP, “Tapi tempat ini dulu cakep, nggak kayak gini” ujarnya sambil tersenyum.
Walaupun secara fisik sederhana, tapi tempat ini sangat ramai. Aku langsung jatuh cinta dengan tempe & tahu goreng tepungnya yang renyah, tidak terlalu berminyak tapi empuk. Bumbunya juga pas. Sementara kalau untuk rasa Tauto-nya sendiri masih belum terlalu cocok di lidahku. Mungkin karena baru pertama kali, dan mindset “soto” di pikiranku yaaa soto ayam yang bening. Bayangkan, Soto Mie saja menurutku rasanya aneh, bagaimana dengan soto yang berkuah tauco?
Walau kurang cocok di lidah(ku), tapi sebagai pengalaman kuliner aku tetap bisa menikmati Tauto. Dagingnya empuuuuk sekali, krupuk pendampingnya renyah lumer di mulut gitu. Untung porsinya kecil dan aku tidak pakai nasi, jadi lumayan aman lah…
Kunjungan di Lapas Pekalongan
Dari Tauto kami berjalan ke Lapas Pekalongan. Di sini kami disambut langsung oleh pak Prapto sang kepala Lapas Pekalongan. Lapas yang sudah dibangun sejak zaman Belanda tahun 1913 ini menurutku sangat cantik & asri untuk ukuran Lapas.
Setelah melewati pemeriksaan di kantor Lapas Pekalongan, kami disuguhi pemandangan para narapidana yang sedang membuat aneka karya di sebuah taman asri. Ada yang melukis di gentong, ada yang membuat replika motor, ada yang melukis dinding.
Sambil memperhatikan mereka, kami diberikan ragam informasi menarik seputar Lapas Pekalongan. Kami bahkan diizinkan untuk masuk sampai dalam, melihat langsung tempat para narapidana menenun, menjahit, bercocok tanam, memelihara ikan, berinteraksi, sampai tempat tidur mereka. Rencananya aku akan menuliskan kisah sendiri tentang Lapas Pekalongan.
Jalan-jalan di Pantai Pasir Kencana
Dari Lapas, sebagian dari rombongan pergi untuk melakukan pemotretan, sementara rombonganku jalan-jalan ke pantai Pasir Kencana dan menyusuri pinggiran hutan mangrove yang cantik di sore hari dalam perjalanan pulang menuju hotel.
Rapat Persiapan Pameran Lukisan
Kami hanya beristirahat sebentar di hotel sebelum malamnya dijemput untuk rapat persiapan pameran lukisan. Buatku, melakukan kolaborasi kegiatan dengan orang dari beda daerah selalu menarik. Apalagi kalau sebelumnya belum pernah bertemu, padahal acara sudah dekat waktunya.
Ada perbedaan karakter, kebiasaan & standar yang harus disikapi dengan cara bijaksana agar bisa sampai pada sebuah tujuan yang memang sudah disepakati bersama. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan rasa saling percaya & saling menghormati.
Semoga acara pameran lukisan karya Djoko Simbardjo di bulan Agustus mendatang berjalan lancar. Selancar suasana rapat malam ini.
Selesai rapat, dengan menggunakan becak kami kembali ke hotel, merebahkan badan setelah hari yang panjang.
***
Survey, Memotret, Makan & Belanja
Hari kedua diisi dengan aneka pemotretan baik untuk majalah Griya Asri, buku karya pak Djoko Simbardjo serta survey langsung ke lokasi pameran. Tempat yang paling berkesan untukku di hari itu adalah kunjungan ke Ridaka, rumah tenun dan kerajinan kreatif. Tidak pernah terbayang olehku, koran bisa dianyam menjadi alas piring, taplak, kemeja dll. Tak hanya koran, tempat ini juga mengolah serat nanas, eceng gondok, dll menjadi hasil tenun yang lembut & cantik.
Aku tergoda memborong banyak sekali alas makan warna-wani untuk adikku yang punya katering. Sementara mata ibu berbinar melihat aneka selendang putih yang lembut, “Bayangkan La, ini biasanya ibu beli satu harganya bisa sampai 200.000, di sini harganya 37.500!!”. Wiiii pantes banyak bener borong selendangnya 😀
Setelahnya kami makan siang di Kepiting Kombor. Awalnya bingung kenapa nama masakannya kepiting gemes. Dikemudian setelah kepitingnya luamaaaaaaaaaaaa sekali masaknya barulah kami sadar, jangan-jangan ini mengapa namanya kepiting gemes, karena menunggunya luama sekali sampai gemes mau ditinggal pulang aja.
Untungnya rasa kepitingnya enak, begitu pula udang tepung & asam manisnya. Mungkin ini juga yang menyebabkan walau lama sekali pelayanannya restoran ini tetap ramai dikunjungi orang.
Malam ini menjadi malam terakhir di Pekalongan. Lega karena urusan survey sudah selesai. Paling tidak bagianku. Dan aku sudah tidak sabar untuk pulang esok hari!