Selain pengalaman mengkristalkan yang berusaha kita temukan pada anak, ada sisi lain pengalaman yang perlu kita perhatikan.
Pernahkah Anda mengalami sebuah peristiwa di masa kecil ketika Anda sibuk membuat sebuah karya (lukisan, prakarya, tulisan, dsb), Anda kemudian datang dengan penuh kepercayaan diri dan rasa bangga karena telah menyelesaikan karya tersebut dengan susah payah, dan Anda menganggap karya itu adalah sebuah mahakarya (masterpiece)? Lalu, ketika Anda menunjukkan kepada orangtua/dewasa/guru, kemudian Anda mendapatkan umpan balik yang menyesakkan hati?
“Apa ini!? Jangan membuat sampah dan mengotori rumah yang baru saja dirapikan..!”
“Ngapain membuat yang kayak gini. Ini tidak penting, tahu..!”
Atau umpan balik ketidakpedulian,
“Ayah/Ibu sedang sibuk. Jangan hanya menganggu Ayah dan Ibu. Nanti saja kalau Ayah/Ibu sedang tidak sibuk…” tapi sayangnya Ayah/Ibu tak pernah menyempatkan diri melihat mahakarya Anda.
Atau, karya Anda diperolok-olok,
“Anak-anak semua,” kata guru di depan kelas sambil menunjukkan pekerjaan Anda kepada teman-teman semua. “Ini adalah contoh hasil karya paling buruk yang pernah ada…” Dan semua teman-teman Anda riuh-rendah menertawakan Anda.
Sejak itu, Anda malas dan tak ingin membuat karya yang serupa itu lagi. Anda dipenuhi perasaan malu, rasa bersalah, takut, marah, dan emosi negatif lainnya. Dalam istilah Thomas Armstrong, pengalaman seperti ini disebut dengan pengalaman yang melumpuhkan (paralyzing experiences), sebuah pengalaman yang “mematikan” kecerdasan.
**
Terkadang respon yang kita berikan sebagai orangtua terhadap anak bersikap refleks, tanpa sebuah niat buruk. Walaupun begitu, kita harus waspada bahwa sikap yang buruk dapat mengakibatkan dampak yang serius untuk perkembangan psikologi dan kecerdasan anak-anak kita.
Tentu, kita tak menginginkan anak-anak kita “lumpuh” pada sebuah aspek kecerdasannya hanya karena kesalahan yang tak sengaja kita lakukan.
1 thought on “Pengalaman yang melumpuhkan”
Jadi ingat ada pengusaha cilik yang cerita di blognya. Waktu itu dia masih TK, dia ditanya sama gurunya ingin jadi apa, dia bilang,”Aku mau jadi semuanya.” Guru TK-nya bilang,”Kamu harus pilih satu cita-cita saja, nggak mungkin pilih semuanya.” Akhirnya anak itu dihukum dan orang tuanya dipanggil ke sekolah. Untung deh, ortunya ngebelain dia. Sedangkan kalau orang tua biasa, cenderung akan bilang, ikuti saja apa kata gurumu.
Dia tulis di blognya:
Note to teachers, parents, and other adults: Don’t tell a kid they are limited in what they can do or what they can be.
Note to self: Keep believing that I can do anything as long as I keep trying and remember to ignore the negative comments of others. Dari http://tinyurl.com/yfbvowp