Hari ini hari pendidikan, dan aku ingin membuat catatan pribadi tentang hari-hari sekolahku dulu. Biar lebih dapet suasananya, bacanya sambil denger lagu “Gita Cinta SMA” aransemen Erwin Gutawa.
Aku ini biasa-biasa saja, tidah terlalu bodoh tapi juga tidak pinter-pinter amat. Dari TK-SMP aku sekolah di sebuah sekolah swasta yang sangat nyaman dengan murid sekitar 18-20 anak/kelas. Karena jumlah murid yang sedikit rasanya seperti keluarga besar, hampir semua murid saling kenal, dengan guru-guru pun rasanya akrab sekali. Letak sekolah yang berada di dalam kompleks membuat suasana nyaman & tentram. Mungkin itu sebabnya waktu lulus SD-SMP nilaiku selalu bagus.
Tapiiiiiii begitu masuk SMA negeri favorit rasanya seperti jatuh dari langit terhempas ke bumi. SMAku berada di pinggir jalan raya, mulai belajar siang hari, satu kelas 50 anak dan satu angkatan ada 10 kelas. OMG.. pada tinggi besar pula badannya. Aku langsung berasa jadi anak kampung datang ke kota besar. Aku nggak berani ke kantin karena kantin selalu penuh sesak, aku nggak berani ke kamar mandi karena WCnya bikin mual bahkan dari sekian meter di luar pintu, aku bisa lamaaa banget berdiri di pinggir jalan karena takut nyebrang. Pura-pura betulin tali sepatu kek, beli minum dulu kek, apaan dulu lah pokoknya sambil nunggu ada teman yang turun angkot dan nyebrang jalan.
Norak? Pasti. Dan yang menyedihkan adalah ulangan pertamaku nilainya 4.5! Padahal itu PMP! Pelajaran yang menurutku paling gampang. Parahnya, ada (banyak) yang dapet nilai bagus antara 8-9. Jadi kan bukan soalnya yang susah, emang akunya aja yang payah 🙁
Kepayahan demi kepayahan di level akademis menderaku di awal masa SMA. Aku yang biasanya selalu masuk 5 besar waktu SD-SMP kini termasuk 20an besar. Semangat belajarku turun drastis. Untungnya aku ikut ekskul Fotografi & lumayan mendapatkan kebahagiaan di sana. Tapi di luar itu? Rasanya sebagian besar materi di sekolah menguap bahkan sebelum menyentuh sel-sel kelabuku.
Akibatnya aku mencari kebahagiaan di luar “pelajaran”. Aku yang suka musik mulai ikutan grup band dan kemudian sering latihan untuk manggung di pensi kecil-kecilan. Aku juga ikut mading, sebenarnya sih biar punya kesempatan wawancara cowok2 cakep di sekolah (aaaah malu bener kalau inget itu. Semoga tak ada satu pun dari mereka yang baca. hehehe). Ternyata, begitu aku berhasil merajut kebahagiaan, kecerdasanpun datang lagi. Nilai-nilaiku membaik, tidak nembus 10 besar sih, tapi lumayan laaah. Nggak ada nilai di bawah 6 lagi.
Tapiiiiiiiiiiii (lagi-lagi tapinya lebay panjang. Ini diperlukan untuk memberikan penenakanan super pada cerita selanjutnya), ternyata nilai lumayan saja tidak cukup untuk bisa naik kelas. Jadi, untuk meraih kebahagiaan di sekolah aku sering “cabut” dan apesnya beberapa kali PAS pelajaran Bahasa Indonesia. Akhirnya menjelang kenaikan kelas, aku divonis tidak naik kelas karena nilai Bahasa Indonesia yang masuk ke wali kelas dari pak guru Bahasa Indonesia adalah 4.5. Padahal nilai Bahasa Indonesia adalah satu dari sekian nilai penentu kenaikan kelas.
O tidak! Panik dong. Lala nggak naik kelas? Parah!! Masa lulusan NEM terbaik pas SMP gak naik kelas? Bikin malu SMPku aja. Kok bisa 4.5? Nilaiku kan nggak pernah di bawah 6? Wali kelasku pun bingung dan tidak percaya dengan nilai tersebut. Setelah dirunut & diselidiki, ternyata nilai itu adalah “buah” dari seringnya aku cabut waktu pelajaran Bahasa Indonesia. Pak guruku rupanya merasa kalau aku itu anak nakal yang tak layak naik kelas (walau nilaiku bagus).
Serius? Beneran serius ini kisah nyata. Aku nyaris tidak naik kelas hanya karena sering cabut. Aku dianggap anak yang tidak punya etika, tidak menghargai sekolah, belum dewasa dan tidak layak untuk naik kelas. Wuaaa mau nangis rasanya. Tega bener deh si bapak, euy. Padahal nilaiku yang lain di rapot bagus, tapi hanya karena nilai merah setitik (yang bukan dari hasil tes pula) aku terancam tidak naik kelas.
Aku takut pulang, takut ngomong sama orangtuaku. Rasanya cemen banget nggak naik kelas karena “tidak punya etika”. Terus terang saat itu rasanya bener-bener males banget mau sekolah. Pengen menjerit ke si bapak bilang “Tau nggak pak, saya itu kan cabut untuk mencari semangat belajar. Gara-gara saya berkegiatan non akademis sel-sel kelabu saya bekerja lebih baik dan nilai akademis saya jadi bagus”. Tapi apa daya, ketemu aku pun sang bapak sudah nggak mau. “Saya tidak mau mengurusi anak yang susah diatur”, gitu katanya. Hiks hiks..
***
Untungnya aku tidak sendirian, wali kelasku baik hati dan punya empati yang cukup untuk mendengarkan kisahku. Ada juga seorang guru wali kelas 2 yang kemudian bahkan menjaminkan aku agar bisa naik kelas. Aku ingat sekali ibu itu berkata, “Kalau alasannya hanya susah diatur, biar dia masuk kelas saya. Saya pasti bisa mengaturnya. Dia harus mendapatkan perlakuan yang adil”.
Singkat cerita, wali kelasku berhasil membuju pak guru Bahasa Indonesiaku itu untuk memberiku nilai 5.5. Nilai itu “cukup” untuk naik kelas. Tapi tidak cukup untuk masu FIS. Alasannya, aku diberik kesempatan kedua untuk naik kelas, tapi tidak boleh masuk FIS karena di sana hanya untuk anak-anak yang mau belajar bersungguh-sungguh dan bekerja keras.
GUBRAAAG! “Paak, nilai saya harusnya 7 di rapot!! Dan harusnya saya berhak masuk FIS”. Suebeeel banget rasanya. Tapi daripada nggak naik akhirnya aku setuju saja. Yang penting jangan sampai nggak naik kelas lah.
Di kemudiannya aku baru tahu bahwa kasusku lumayan ramai dibicarakan guru, terjadi pro-kontra atas perlakuan sang bapak kepadaku. Sebagian menganggap sudah sewajarnya aku dihukum, sebagian merasa bahwa kalau pun aku dihukum boleh saja, tapi bukan dengan cara dikurangi angka di rapot. Mungkin dengan hukuman membersihkan kamar mandi, atau hukuman fisik lainnya.
Pro kontra ini menyebabkan ketika aku naik kelas 2, aku tercatat di 2 kelas sekaligus, FIS4 dan BIO1. Aku bahkan BOLEH memilih mau masuk mana. Uhuuuy, asik. Rasanya seperti beli pizza yang dateng terlambat jadi dapet bonus pizza tambahan (nyambung gak sih? #maksa yah? Hehehe). Lha abisnya, masa dari yang terancam nggak naik kelas ujung-ujungnya malah terdaftar di 2 kelas sekaligus. Bonus kan itu namanya?
Tadinya aku mau langsung aja masuk FIS (sebagaimana keinginan dan harapanku semula). Tapi begitu lihat daftar nama di BIO1. Waaa, banyak temen-temenku. Apalagi ada sahabatku yang sejak kecil selalu satu sekolah sama aku juga ada di kelas itu. Langsung tanpa pikir panjang aku putuskan untuk tetap di BIO, lagi pula kan katanya aku anak yang nakal yang susah konsentrasi dan bukan pekerja keras. Tak pantas berada di FIS… beuh.. >.<
***
Sepertinya kecerdasanku memang berkolerasi dengan kebahagian. Hehehe. Aku bener-bener seneng berada di Bio. Teman sebangkuku asyik banget, depan belakangku juga seru. Aku suka, aku bahagia. Lebih bahagia lagi karena kelasku PAS sebelah kantin, jadi aku nggak perlu takut pergi ke kantin lagi karena aku sudah bisa berada di sana jauh sebelum yang lain masuk kantin. Yess!! Hehe.
Haduh. Capek juga ternyata nulis panjang-panjang kayak gini. Maklum sudah lama nggak nulis jadi merasa agak berkarat nih. Kalau gitu aku tarik nafas dulu ya, bersambung ke bagian berikutnya.
(..bersambung: Ternyata Memang Harus Tinggal Kelas..)
3 thoughts on “Nyaris Tidak Naik Kelas”
hahahahahaha memang gokil dari sononya…
aku cari cari tuh di foto lala mana, yang duduk didepan gak ada ternyata nangkring berdiri diatas ya…
Masa masa SMA memang masa yang paling indah, that’s why aku jadi gurunya anak SMA sekarang, karena pingin terus merasakan masa masa itu… ceileee… 🙂
Ditunggu sambungannya yaaa… 🙂
Hahahaha…. makanya jauh tampang dari dosen kan?
Nanti ya tarik napas dulu untuk sambungannya. Soalnya mau cerita kalau akhirnya bener2 tinggal kelas. xixixixixi…