Tak cukup lagi ajaran untuk “letakkan sampah pada tempatnya”. Walaupun kita di Indonesia ini belum mempraktekkannya, tapi ajaran itu ternyata sudah usang.
Ajaran itu digantikan dengan semangat untuk lebih peduli lagi. Sampah harus dikelola lebih baik dan kita harus lebih peduli pada lingkungan untuk kebaikan anak cucu kita. Semboyan gerakan baru ini adalah “3R: Reduce, Reuse, Recycle. Pada prakteknya, yang sering mendapat tekanan dalam gerakan ini adalah dua yang terakhir, Reuse & Recyle. Dua hal tersebut lebih mudah dilakukan karena bersifat post-consumption.
Nah, setelah menonton film “Trashed” bersama Klub Oase, aku terhenyak. Masalah sampah ternyata tetap tak terselesaikan dengan aneka model pengolahan sampah. Bahkan di negara-negara maju sekalipun sampah tetap menjadi masalah. Kegiatan dan gerakan Reduce, Reuse, dan Recycle memang bermanfaat, tapi tak mencukupi untuk menahan laju pertumbuhan sampah yang dihasilkan manusia. Apalagi, sebagian besar jenis sampah masa kini unorganik dan racun yang dihasilkannya tetap akan bertahan di bumi untuk jangka waktu panjang.
Incinerator yang sering digambarkan sebagai solusi pengelolaan sampah ternyata juga bermasalah. Incinerator bukan hanya menghasilkan dioksin yang sangat beracun, tapi racunnya menyebar ke areal yang lebih luas.
Menurut film “Trashed”, kita harus berani masuk ke level yang lebih mendasar, yaitu mengurangi jumlah sampah yang kita hasilkan. Titik ideal utopisnya adalah “zero waste”.
Film “Trashed” mengungkapkan bahwa bumi bukan hanya menyerap dan menguraikan sampah, tetapi pada saat bersamaan bumi mengakumulasinya. Racun tak hilang, hanya berubah bentuk dan tempat dengan intensitas yang terus meningkat.
Korban pertama dari racun ini adalah tanaman. Saat tanaman dimakan binatang, racun berpindah ke binatang. Dan ketika tanaman dan binatang ini dimakan manusia, maka racun itu akan berpindah dan terakumulasi dalam tubuh manusia. Akibatnya adalah penyakit-penyakit seperti kanker dan kecacatan karena mutasi genetik.
Bukan hanya dioksin yang menjadi racun berbahaya yang menjadi ancaman dari sampah. Tetapi sebuah riset di Samudera Pasific (kalau tidak salah) menunjukkan bahwa pada air laut yang diambil sebagai sampel, jumlah debu sampah plastiknya lebih banyak dari jumlah plankton-nya. Plankton adalah organisme yang menjadi dasar dalam rantai makanan. Itu artinya, kehidupan di bumi ini akan terancam kalau kondisi ini terus berlanjut.
***
Menonton film “Trashed” menghentakkan kesadaranku. I’m stunned!
Kepedulian pada lingkungan bergeser dari kepala (pengetahuan) ke hati (kesadaran). Ini mencerahkan, tetapi juga sedikit menakutkan.
Aku seperti mengenali pengalaman yang aku dapatkan usai menonton film Trashed. Rasanya menggetarkan seperti saat gelap mencekam menjelang fajar. Rasanya mulas seperti menanti kelahiran. “Ah, aku mungkin terlalu serius,” aku berusaha menenangkan hatiku.
Buatku, ternyata film ini bukan hanya perihal sampah. Ini perihal world view, wawasan tentang cara kita memandang dunia dan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan di dalamnya. Ini menyangkut tentang apa yang dianggap penting dan tidak penting, gaya hidup, keberpihakan, dan pilihan-pilihan lain tersedia di hadapan kita. Ini bukan hanya perihal kehidupan pribadi, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana industri dan modernitas seharusnya berjalan, juga tentang harapan terhadap dunia dan kehidupan sosial yang ingin kita cipta-ulang (re-create) bersama.
***
Aku tahu, kesadaran ini masih bayi. Kesadaran ini tetap harus dipelihara agar tak digerus oleh derasnya keseharian. Memelihara harapan untuk tunas kesadaran yang baru tumbuh ini butuh perhatian dan kelenturan yang besar agar tak mati oleh rasa terintimidasi dan kekhawatiran untuk berubah.
Dan tak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain mulai melangkahkannya. Setapak adalah awal dari sekilometer perjalanan. Dan langkah kecil personal itu adalah mengurangi penggunaan plastik, terutama pada saat berbelanja. Lala dan Andit sudah lebih dulu memulainya dengan berbelanja ke pasar menggunakan kotak wadah yang dibawa dari rumah. Aku berusaha untuk mengikutinya dengan selalu membawa tas kalau berbelanja di supermarket atau membeli sesuatu di toko dekat rumah. Setidaknya, kami berusaha tidak menambah jumlah plastik yang dibawa ke rumah.
***
Terima kasih Shanty Syahril sudah menghadirkan film “Trashed” bersama keluarga besar Klub Oase.
Ide inspiratif: tips 100 langkah untuk menjalani kehidupan tanpa plastik
2 thoughts on “Nonton film Trashed, sebuah refleksi gaya hidup”
Thanks for sharing Aar. Kami sekeluarga juga senantiasa berusaha hidup “green” semoga nantinya bisa mendekati zero waste. Senang makin banyak teman yang sejalan ^^
@Ratna: senang punya banyak teman seiring seperjalanan. Apalagi buat saya yang baru saja memulainya 🙂