Naik kelas enam

Bulan Juli ini Yudhis menyelesaikan buku matematikanya kelas lima. Jadi, dia mulai masuk materi belajar kelas enam.

Pada saat dia menyelesaikan buku kelas limanya, aku tiba-tiba seperti tersadar bahwa dia sudah besar dan cepat sekali belajarnya. Padahal kami merasa tidak terlalu menekankan pada hal-hal akademis. Kami lebih fokus menemani dia belajar berbagai hal di komputer yang menjadi minatnya.

Memang sih, kami menyediakan buku-buku dan worksheet untuk dikerjakannya. Tetapi, sebagian besar kegiatan dengan buku dan worksheetnya itu dikerjakan sendiri. Sesekali dia datang kepada kami kalau ada hal yang ingin ditanyakannya. Selebihnya dia tinggal “setor” saja kepada kami tentang apa yang sudah dipelajarinya dan soal apa yang dikerjakannya. Kami kemudian bertanya atau mengecek jawaban soal yang dikerjakannya.

Pada saat bersamaan, di awal bulan Juli ini bu Yayah menawarkan kepada kami agar Yudhis ikut ujian persamaan Paket A (SD). “Dinas Pendidikan Tangerang mengizinkan kok pak untuk ujian percepatan,” kata bu Yayah menanggapi concern-ku tentang umur Yudhis yang baru 9 tahun itu.

“Saya lihat contoh soal ujiannya dulu ya, bu,” kataku kepada bu Yayah, tak buru-buru mengiyakan. Aku ingin menakar beban materi ujian Paket A. Setelah aku melihat contoh ujian Paket A, materinya menurutku masih dalam jangkauan kemampuan Yudhis.

**

Terus terang, pada awalnya aku agak ragu dengan gagasan Yudhis ikut ujian SD dalam waktu dekat. Ada beberapa concern-ku. Sebelumnya, aku concern dengan urusan legalitas. Aku ingin semua proses yang kami jalani dengan Yudhis ini berjalan lurus dan legal, tak ada akal-akalan atau suap-suapan. Itu adalah nilai dasar kami yang tak bisa ditawar-tawar.Tapi karena tawaran legalitas untuk ujian percepatan itu datangnya dari Diknas, maka kami pun mempertimbangkannya.

Concern lain dariku adalah aku tidak suka gagasan mengkompetensi anak, memaksa anak untuk ikut percepatan (padahal sebenarnya demi gengsi orangtua). Kami sama sekali tak mempunyai kebutuhan untuk gengsi dan kami sama sekali tak masalah kapan pun Yudhis ujian (bahkan kami sudah menyiapkan diri seandainya anak-anak tak memiliki ijazah).

Yang lain, aku khawatir ujian percepatan ini bisa mengalihkan perhatian orangtua homeschooling dan memicu perlombaan cepat-cepatan lulus (yang menurutku bukan esensi pendidikan dan esensi homeschooling). Ini sebenarnya cuma kekhawatiran terhadap persepsi orang luar terhadap homeschooling.

Tapi Lala kemudian juga membukakan sudut pandang lain kalau Yudhis ikut ujian. Yang pertama, kesempatan ini legal, jadi tak ada yang salah kalau dimanfaatkan. Yang kedua, pada dasarnya Yudhis memang sudah sampai pada levelnya. Lulus atau tidak tergantung pada hasil ujiannya. Yang ketiga, kami tak pernah melakukan “paksaan” kepadanya untuk belajar, waktu bermain dan eksplorasinya justru sangat banyak. Yang keempat, homeschooling juga membutuhkan uji efektivitas bahwa dengan pembelajaran santai di rumah, hasilnya tak kalah dengan model belajar formal di sekolah. Yang kelima, kelulusan Yudhis akan memberikan bekal komunikasi yang lebih mudah dengan sekitar. Yang keenam, ini akan menambah confidence Yudhis. Yang ketujuh, kalau Yudhis lulus ujian SD, berarti tersedia waktu yang lebih banyak baginya untuk menekuni kegemarannya mengeksplorasi komputer, SecondLife, dan hobinya yang lain.

Jadilah, kami kemudian mencoba menjajagi kemungkinan itu. Ketika kami tanyakan kepada Yudhis apakah dia merasa tertekan dengan proses belajar yang selama ini dijalaninya, dia menjawab tidak, bahkan merasa asyik. Ketika kami ceritakan mengenai tawaran baginya untuk ujian SD, dia antusias mengiyakannya. Dia merasa “cool” dengan gagasan bahwa dia sebentar lagi sudah SMP.

Hmm… ternyata Yudhis semangat pengin ikut ujian. Lalu bagaimana dengan perkembangan emosi dan kemampuan sosialisasi Yudhis? Aku berusaha mencari cara untuk menguji hal ini dan mengamatinya dari proses dia selama ikut aku dalam kegiatan Training Motivasi yang diadakan Komunitas Berkemas. Ternyata Yudhis bisa cepat beradaptasi dengan teman-temannya yang setingkat SMP, bahkan dia “memimpin” acara pertunjukan kelompoknya dengan bermain gitar dan bernyanyi bersama teman-temannya.

**

So, kelihatannya pilihan untuk menyiapkan diri ikut Ujian Paket SD (Paket A) itu semakin mantap buat Yudhis. Hari Kamis, akhirnya aku ke toko buku membeli buku-buku pelajaran kelas 6 (Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan) dan soal ujian untuk Yudhis.

Oke deh Dhis. Selamat belajar dan menyiapkan diri untuk ujian diantara kegiatanmu bermain dan mengeksplorasi hobi-hobimu.

5 thoughts on “Naik kelas enam”

  1. salam. saya tertarik dgn cerita yudhis.boleh saya bertanya?yudhis umur 9 tp dibolehkan utk ujian persamaan sd, saya ingin mengikuti jejak yudhis.tahap apa yg saya harus lakukan dan kemana saya bisa mendaftarkan spy bs ikut ujian persamaan.diknas setempat?pkbm?anak saya umur 10.sebetulnya saya ingin ikut akselerasi spt itu,tp tdk tahu infonya.tolong dibantu.-Ibu Frida, Bandung-

    1. Itu dulu tawaran ujian SD mbak bukan ujian persamaan. Kami tidak mengambil jalur ini. Untuk ujian persamaan Paket A syarat minimalnya usia 12 tahun

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.