Anak-anak adalah “mata pelajaran” yang tak ada habisnya. Mereka mengajariku kesabaran serta menumbuhkan kemauanku untuk terus belajar & mengembangkan diri agar mampu menjawab pertanyaan mereka. Ketika anak-anak beranjak remaja dan memiliki segudang pertanyaan yang tak mampu lagi kujawab, maka tibalah kini saatnya belajar bersama.
Sejak awal kami berusaha menekankan kepada anak-anak bahwa mereka tidak punya guru yang khusus mengajar mereka tapi mereka yang harus aktif jika ingin mengetahui sebuah hal. Tugas kami selain memaparkan banyak hal dan mengungkit rasa ingin tahu mereka, juga adalah menjadi teman mereka belajar. Teman di sini bukan berarti hanya duduk di sebelahnya dan membantu jika mereka mengalami kesulitan, tapi menjadi teman mereka (sparing partner) dalam mempelajari materi tersebut.
Seperti ketika Yudhis mulai suka bermain gitar, maka aku pun menemaninya ikut belajar. Tentu saja hasilnya tidak secepat Yudhis yang memang kursus, tapi dia tahu bahwa ibunya tak hanya “memonitor” hasil kursusnya, tapi bisa ikut merasakan tingkat kesulitan yang dilaluinya. Contoh lain ketika Yudhis belajar programming di Code Year, maka bapak Aar juga mengikuti kelas tersebut sehingga Yudhis pun bisa mendiskusikan “kewalahan” atau pun “keberhasilan” mereka dalam melewati tiap tugas yang harus dikerjakan setiap minggu.
Intinya, anak-anak itu ingin dimengerti. Mereka ingin orangtuanya juga “ikut merasakan” apa yang mereka rasakan. Menjadikan diri kita “teman seperjuangan” bagi anak, menyamakan diri sebagai sesama pembelajar ternyata menjadi salah satu cara efektif untuk memicu semangat belajar mereka.
Kadang-kadang kita sebagai orangtua hanya ingin melihat “hasil akhir” dari perjuangan anak. “Nilai berapa? rangking berapa? lulus atau tidak?” dan kemudian secara tidak sadar penilaian pun berakhir di titik itu. Kesibukan dan banyaknya persoalan yang kita hadapi sepanjang hari seringkali membuat kita lupa bahwa dibalik sebuah nilai ada “perjuangan”, ada “rasa”, bahkan mungkin ada “tangisan” yang tak terdengar.
Setiap anak adalah individu yang unik, dan mereka hidup dalam zaman yang berbeda dari kita. Jika kita tak pernah menyelam ke dalam dunia mereka, mengerjakan apa yang mereka kerjakan setiap hari, akan sulit bagi kita untuk memberikan empati terhadap keberhasilan atau pun kegagalan mereka.
Mempelajari suatu hal bersama anak, tak hanya akan menambahkan rasa sabar kita kepada mereka, tapi juga akan menciptakan kekaguman. “Oo ternyata anak kita betul-betul kuat di titik ini atau aku baru tahu kalau ternyata anakku menyukai hal ini dan seterusnya”.
***
Aku ingin berbagi sebuah kisah pengalaman salah satu proses belajar bersama Yudhis. Beberapa waktu yang lalu, aku dan Yudhis mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan SEO dari Ali Akbar @pakarSEO. Ini sebuah pelatihan 2 hari yang serius. Yudhis memperoleh tawaran ini dilihat dari website portfolio yang dimilikinya. Tentu saja ketika tawaran ini datang aku menyerahkannya kepada Yudhis. Awalnya aku tidak cukup yakin apakah dia mau dan mampu mengikuti pelatihan ini. Ternyata setelah bapaknya memberi tahu apa itu SEO dan apa saja yang kira-kira akan dia pelajari, Yudhis tertarik dan bahkan tidak sabar ingin tahu seperti apa rasanya. “Ibu ikut kan?” | “Iya. Kita belajar bersama” | “Ibu tahu tidak SEO?” | “Sedikit-sedikit”
Pagi itu aku berangkat berdua Yudhis menuju Hotel Harris. Sampai di sana, kami langsung disambut oleh Mella & Faizal yang menjadi panitia. Satu-persatu peserta hadir dan aku melihat Yudhis santai saja, tidak gugup sekelas dengan orang-orang dewasa. Ketika kelas dimulai, ini menjadi pengalaman pertamaku betul-betul masuk kelas bersama Yudhis. Aku tak mengharapkan dia akan memahami isi materi secara utuh apalagi memaksakannya.
Aku merasa beruntung, Mas Ali memiliki kemampuan menyederhanakan hal-hal yang rumit dalam istilah-istilah sederhana yang mudah dipahami sehingga aku lihat Yudhis bisa menikmati kelas ini. Beberapa kali selama kelas aku bertanya apakah Yudhis paham yang diajarkan mas Ali. Yudhis bilang “ngerti dong bu”. Proses ini pun seperti ujian buatku. Ujian buat homeschooler adalah ketika mereka berinteraksi di masyarakat. Bagaimana mereka bersikap kepada orang lain, menghadapi masalah yang ada, begitu pula respon orang lain seakan menjadi salah satu rapot berhasil tidaknya proses pendidikan di rumah.
Sebagai peserta termuda, tentu Yudhis mendapat perhatian khusus. Saat istirahat dia banyak ditanya oleh peserta lain. Walau berada di dekatnya, aku berusaha berjarak dan meminta mereka bertanya langsung kepada Yudhis. Mendengar jawaban-jawaban Yudhis atas pertanyaan seperti bagaimana belajarnya, belajar apa saja, nanti mau jadi apa dan seterusnya membuatku merasa bahwa Yudhis memang beranjak dewasa. Bahasa & cara menjawabnya mungkin masih anak-anak, tapi logikanya sampai dan dia mampu mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya dengan cukup baik.
Keesokan harinya kami kembali pergi pagi. Walau hari itu ada film kesukaannya, tapi rupanya itu tak menurunkan semangat belajarnya, “gampang bu, aku kan tinggal lihat di Youtube”. Sepanjang jalan dia sibuk mengulang pelajaran kemarin, “Dengerin aku ya bu, jadi KKO itu adalah KKB plus KKI plus….” terus dia ngoceh sepanjang jalan. Aku geli campur bahagia mendengarnya. Semangatnya menunjukkan bahwa memang dia melakukan ini dengan bahagia.
Senang melihat semangat belajar Yudhis, menikmati ocehannya, menikmati wajahnya yang berbinar-binar selama mengikuti kelas SEO. Semoga semua ilmu yang didapatnya tak hanya baik buat dirinya tapi juga untuk orang banyak. Semoga kecintaannya untuk belajar senantiasa tumbuh dan terjaga. Amin.