Sabtu, 29 Juli 2017, saya berbahagia mendapatkan kesempatan menemani mas Eko Nugroho untuk sharing tentang “Mengoptimalkan Game sebagai Media Belajar seluruh Keluarga” alias Game-based Learning. Acara diselenggarakan di Binus University, Jl Hang Lekir I, Jakarta.
Mas Eko Nugroho adalah salah satu anak muda Indonesia yang luar biasa. Beliau memiliki latar belakang pendidikan yang kuat di dunia game karena memang bersekolah khusus tentang game design di Jerman. Pulang ke Indonesia, beliau mendirikan Kummara Game Studio di Bandung. Beliau menjadi konsultan game dan game designer baik untuk produk game nasional maupun internasional.
Walaupun kemarin aku sharing tentang pengalaman praktis di keluarga kami memanfaatkan aneka game dalam proses pembelajaran, sebenarnya acara kemarin adalah momen belajar bagi keluarga kami tentang dunia game.
Dunia Anak = Dunia Bermain
Menarik mendengarkan cerita dan paparan dari mas Eko tentang dunia permainan.
Bermain merupakan hak anak. PBB bahkan menyatakan bermain sebagai salah satu hak yang perlu diberikan oleh orang dewasa pada anak.
Anak sejak lahir tumbuh dan berkembang dengan permainan (ludic play) dalam proses interaksi dengan sekitarnya. Permainan adalah proses belajar untuk mengenali dan memahami realita. Bentuk permainan itu terus berkembang dan bervariasi sesuai usia anak, dari permainan fisik, berkembang ke imajinasi, role playing, hingga problem solving.
Problemnya, orang dewasa sering menganggap permainan bersama anak adalah sebuah hal rumit, butuh waktu dan alat khusus. Padahal, permainan sangat bisa mengambil bentuk-bentuk sederhana seperti mengobrol, tebak-tebakan, atau interaksi bersama anak yang menyenangkan.
Sekolah dan Rumah dengan Setting Bermain
Menurut Scot Osterweil, dari MIT Education Arcade. ada 4 kebebasan dalam permainan (4 freedom of play), yaitu:
- freedom to explore (kebebasan mengeksplorasi apapun)
- freedom of identity (kebebasan berganti identitas)
- freedom to fail (kebebasan untuk gagal tanpa terlalu dihakimi)
- freedom of effort (kebebasan untuk mencoba kembali)
Banyak pelajaran yang bisa diperoleh melalui kegiatan permainan. Dalam dunia permainan, anak bisa mencoba bermacam-macam pengalaman yang ingin diketahuinya, anak juga bisa berubah peran menjadi raja, penyihir, ksatria, dll dengan segala konsekuensi yang menyertainya, kalau gagal dalam sebuah permainan dianggap biasa, dan kemudian bisa mencoba lagi permainan kapan pun.
Bayangkan jika ada permainan yang digunakan untuk mengajarkan empati & toleransi. Di permainan itu, anak bisa memilih identitas menjadi orang lain (suku, agama, status sosial) dengan konsekuensi yang melekat di dalamnya. Karena dilakukan sebagai permainan, semua tak masalah bermain peran. Toh permainan peran itu tak mengubah identitas aslinya. Tapi, pada saat bersamaan peran ini bisa membuat anak belajar tentang sudut pandang dan pengalaman dari orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
Pertanyaan yang menarik adalah: mungkinkah kita membuat sekolah dengan “rasa bermain”, dengan 4 jenis kebebasan? Mungkinkah kita menjadi rumah sebagai tempat bermain dengan 4 jenis kebebasan yang melekat itu?
***
Mencoba Bermain Boardgame
Dalam sesi siang Seminar kemarin, para peserta mencoba melakukan permainan boardgame bersama. Ada beberapa game produksi Manikmaya, publisher game dari Bandung, yang bisa dimainkan: Bhinneka, The Festivals, Get Egg, Mat Goceng, Mashup Monster, dan Aquatico.
Setelah bermain, para peserta bersama-sama belajar melakukan refleksi menggunakan Game-based Learning Kanvas yang sudah disiapkan mas Eko Nugroho.
Selain menjadi alat refleksi, Game-based Learning Kanvas ini juga berfungsi sebagai alat merencanakan kegiatan game sehingga bisa dirasakan lebih bermanfaat.
***
Acara “Potensi game sebagai Media Belajar seluruh Keluarga” ini baru yang pertama kali diadakan. Mas Eko memiliki visi kegiatan ini bisa diselenggarakan di kota-kota lain di Indonesia.
Jadi, ceritanya kita pengin keliling Indonesia untuk sharing tentang pemanfaatan game sebagai media belajar. Mudah-mudahan terlaksana ya…