Literasi keuangan sudah diajarkan di negara-negara maju untuk membantu anak-anak agar mereka siap menjalani kehidupan modern dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan uang. Di Indonesia kesadaran itu masih belum berkembang. Tapi tak ada salahnya untuk dimulai.
Mengapa belajar literasi keuangan (financial literacy) penting bagi anak-anak?
Yang pertama, karena ada banyak sudut pandang mengenai uang yang tumbuh di masyarakat.
Uang dan Materialisme
Pada satu sisi, pandangan seseorang tentang uang sangat materialistis. Uang menjadi tujuan hidup. Segala persoalan diselesaikan dengan uang. Dinamika kehidupan direduksi dan dinilai hanya dari sudut pandang uang. Pandangan ini cukup banyak terlihat di masyarakat modern yang memiliki kecenderungan tinggi untuk konsumtif dan hedonis.
Padahal, kehidupan tak hanya tentang uang. Ada yang bisa dibeli oleh uang, tetapi banyak hal yang tak dapat dibeli dengan uang. Yang bisa dibeli biasanya adalah hal-hal fisik dan fasilitas. Sementara yang menjadi sumber kebahagiaan adalah esensi yang bersifat psikologis-spiritual dan biasanya tak terkait langsung dengan uang.
Uang dan Sumber Kejahatan
Pada sisi yang lain, sebagian masyarakat menganggap uang sebagai sumber kejahatan yang dapat menjatuhkan manusia pada dosa dan sengsara. Uang dipandang dengan sudut pandang yang buruk. Orang kaya yang memiliki banyak uang dicurigai, dinilai sebagai orang egois, dan dianggap tak mulia.
Sebagai akibatnya, pengetahuan dan keterampilan mengenai uang tak dipentingkan, bahkan cenderung dihindari. Akibatnya, ketiadaan pengetahuan dan keterampilan tentang uang dapat membuatnya jatuh pada keputusan-keputusan yang salah tentang uang. Pada gilirannya, kesalahan sudut pandang ini dapat membuat orang hidup miskin dan tergantung secara keuangan pada orang lain.
Padahal, uang juga bisa bermakna sangat positif. Dengan uang seseorang bisa mandiri, menolong orang miskin, membangun sekolah, membangun rumah sakit, membuka lapangan pekerjaan, melakukan aneka inisiatif sosial yang sulit dilakukan oleh orang yang kekurangan uang.
Hipokrisi tentang Uang
Pandangan yang ekstrem tentang sikap negatif terhadap uang dapat menciptakan hipokrisi tentang uang. Orang bersikap seolah-olah tak butuh uang, tetapi seluruh hidupnya dicurahkan untuk mencari uang dengan cara halal maupun haram.
Hipokrisi dapat menciptakan rasa bersalah (guilty feeling), ketidaknyaman pada diri sendiri akibat ketidakselarasan antara sikap mental dan praktik kehidupan yang dijalani.
Sudut Pandang yang Sehat tentang Uang
Padahal sesungguhnya uang bersifat netral. Dia memiliki kekuatan dan sekaligus kelemahan yang perlu dikenali. Dia memiliki pesona yang dapat melipatgandakan niat baik. Sebaliknya, dia dapat menjadi seperti narkoba yang memabokkan dan mencipta kecanduan yang merusak.
Oleh karena itu, agar anak-anak memiliki sudut pandang yang sehat tentang uang, anak-anak perlu dididik dengan sadar tentang uang (pendidikan literasi keuangan). Langkah pertama dalam pendidikan literasi keuangan untuk anak-anak adalah mengajarkan cara pandang yang sehat tentang uang bahwa:
- Uang adalah alat, bukan tujuan.
- Uang adalah gagasan netral, tak sepenuhnya baik dan tak sepenuhnya buruk.
- Uang terlibat dalam banyak aspek kehidupan. Uang dan pengelolaan uang adalah sebuah ilmu dan keterampilan yang bisa dipelajari.
- Uang adalah sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan hal-hal baik.
Dengan sudut pandang yang sehat tentang uang, banyak manfaat yang akan diperoleh anak-anak dalam interaksinya dengan uang. Anak-anak tak menjadi “budak uang”, tetapi terampil mengambil keputusan yang berkaitan dengan uang dan mampu menjadikan uang alat untuk meningkatkan kualitas hidup pribadi dan orang lain.
Kredit foto: (c) http://www.flickr.com/photos/baligraph/