Ketika realitas negeri kita begitu karut marut dengan kebobrokan moral di hampir semua lini, salah satu harapan kita adalah institusi pendidikan yang akan menjadi bagian solusi untuk negeri kita. Dengan menggantung asa untuk masa depan, kita berharap banyak kepada para guru untuk menyiapkan anak-anak kita, yang bukan hanya cerdas, tetapi jauh lebih penting: memiliki integritas pribadi dan bermoral kuat.
Tapi membaca dan menonton berita hari ini, harapan itu rasanya semakin kabur. Isi berita itu tentang para orangtua di SDN Gadel Surabaya yang menangis meraung-raung di sekolah dan memprotes ujian ulang di Sekolah Dasar. Sebabnya, sekolah itu diindikasikan melakukan kecurangan secara sistematis alias mencontek massal atas perintah seorang guru.
Yang mencengangkan, para orangtua siswa itu membela guru yang memerintahkan mencontek itu. Dia selama ini dinilai sebagai guru yang baik dan banyak berjasa untuk daerah itu. Para orangtua murid itu juga menjerit-jerit karena ketakutan anak mereka tak akan lulus ujian jika ada ujian ulang.
Dan lebih menyedihkan lagi, orangtua murid yang jujur justru mendapat amarah dan disudutkan. Dia justru dianggap yang bersalah dan telah menyusahkan orang banyak karena pengaduannya mengenai ketidakjujuran sekolah tersebut. Bahkan, polisi sampai berpatroli mengawasi rumahnya agar tidak terkena tindakan anarkis warga/orangtua lain yang marah.
Beberapa hari yang lalu, aku melihat tayangan berita yang sejenis: orangtua yang mengadukan kecurangan guru/sekolah bukan diapresiasi dan didukung, tetapi justru disudutkan dan terintimidasi.
***
Fenomena apakah ini?
Kebenaran seperti terbolak-balik. Yang salah menjadi kebenaran yang diterima masyarakat, yang benar dianggap asing dan dinilai sebagai kesalahan. Dosa dan kejahatan terus diratapi. Tetapi begitu menyangkut diri sendiri, semua orang mencari pembenaran-pembenaran. Kita selalu menganggap diri kita sebagai korban yang tidak bisa lepas dari sistem buruk yang menjerat.
Orangtua berkeluh-kesah tentang kecurangan dan contek-mencontek di UN, tetapi di dalam hati bahagia melihat anaknya lulus dengan nilai bagus dan tak mau ambil pusing tentang proses yang dialami anaknya. Apalagi ketika anak diterima ke Perguruan Tinggi ternama karena nilai rapornya bagus, keluh-kesah itu langsung sirna, berganti menjadi kebanggaan pada anak. “Toch bukan aku dan anakku yang salah?! Salahkan guru, sekolah dan pemerintah yang menjadi biang keladi semua itu!”
Para guru yang berhati nurani pun sebenarnya resah menjalankan semua ritual kebusukan tahunan, melakukan mark-up nilai raport dan memberikan kunci jawaban kepada para siswa yang akan ujian. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Tetapi rasa tahunya itu dikalahkan oleh ketakutan pada penilaian buruk dari para kolega dan atasannya. Kepala sekolah takut dinilai tak berprestasi jika target yang ditetapkan atasannya mengenai tingkat kelulusan tak tercapai. Juga, ini bukan sekedar tentang prestasi, tetapi juga tentang prestise guru, sekolah, dan seluruh pejabat yang terkait. “Habis mau bagaimana lagi kalau semua orang harus begitu?”
Bahkan, para pejabat pendidikan di daerah pun memiliki alasan dan pembenaran untuk segala kecurangan yang terjadi di sekolah-sekolah yang ada di bawah pengawasannya. Alasan formalnya, mereka tak melihat kecurangan itu. “Kecurangan itu hanya kasuistis,” katanya. Di balik semua itu, dia merasa hanya meneruskan tekanan dari para pejabat pemerintah yang telah memberikan target dan tak mau tahu bagaimana target itu semua bisa dipenuhi. Alasan pribadinya, dia ingin dinilai sebagai pejabat yang berprestasi.
Pejabat pemerintah pusat pun tak merasa bersalah. Mereka menyatakan bahwa mereka ingin mengukur pencapaian kualitas pendidikan negeri ini. Mereka bahagia ketika semuanya terlihat baik-baik saja. Tak peduli apakah laporan yang diterimanya hanya fatamorgana dan formalitas yang penuh kecurangan, mereka menutup mata dan tak mau tahu. Pembenaran mereka,”Kalau ada yang salah, itu adalah adalah kesalahan pejabat dan sekolah-sekolah yang curang dan membuat laporan palsu kepada saya.”
***
Menurut cerita teman-teman yang aktif di dunia pendidikan, problem kecurangan-kecurangan di dunia pendidikan itu nyata ada. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa itu sudah biasa dan terjadi di mana-mana.
Terus bagaimana? Apakah kita akan terus mengharapkan pemerintah dan para pemimpin berubah? Apakah kita akan terus mengharapkan orang lain melakukan perjuangan untuk anak-anak kita?
Atau ada sesuatu yang bisa KITA lakukan?
***
Saya ingin belajar dan mendengar… apa yang bisa KITA lakukan untuk memperbaiki kondisi ini? Sekali lagi, ini tentang apa yang bisa KITA, bukan tentang yang seharusnya dilakukan pemerintah dan orang lain.
Jika Anda berkenan, saya ingin mendengar dari Anda…
12 thoughts on “Mencontek massal?”
doakan saya bisa menyampaikan tentang ini di seminar ‘mendidik dengan hati’ sabtu 11 juni ya. memberikan contekan secara massal dan bekerjasama dalam hal keburukan sudah pasti keluar dari jalur mendidik dengan hati.
saya geram sekali dengan contek mencontek ini. inilah salah satu hal yang bikin saya nggak suka sekolah [sejak kecil]. lengkapnya bisa baca di: http://www.facebook.com/note.php?note_id=418570525115
Amin mbak. Semoga semuanya dimudahkan, berkomunikasi dari hati-ke-hati, dari pikiran-ke-pikiran. Di dalam semua keresahan kita, jangan sampai kita jatuh menjadi apatis. Kita harus terus berjalan menyalakan api harapan utk siapapun yang masih mau berjalan.. 🙂
Pak Aar,
Izin meng-copy link tulisan ini di FB saya ya Pak.
Saya sendiri miris sekali membacanya, dan semoga saya termasuk orang yang lebih mementingkan proses, bukan hasil. Mencontek kadang memang dianggap lumrah krn anak juga mendapat tekanan untuk belajar sesuatu hal yang tidak disukainya tapi harus lulus.
Semoga semakin banyak orang tua yang peduli atas minat anak2nya yang sesungguhnya bukan hanya mengejar nilai dan penilaian orang lain. Cinta belajar itu diperoleh dengan proses, tidak instan, saya sendiri melalui proses itu. Semoga semakin banyak orang tua yang peduli dan paham.
Silakan mbak Ita. Ini tantangan untuk kita semua mbak. Mari kita tetap percaya bahwa kebaikan itu lebih kuat dari kejahatan. 🙂
Saya sgt miris melihat dunia pendidikan kita.Saya punya anak 6th kelas 1 SD , sedang mempertimbangkan home schooling tapi suami saya kurang setuju, gmn ya pak Aar? ❓
Proses pemilihan HS memang bukan sebuah hal yang mudah mbak. Perlu proses utk mengenal dan meyakini bhw ini adalah pilihan terbaik utk anak-anak. Tentunya, paling bagus kalau HS adalah keputusan bersama keluarga karena itu akan membuat HS menjadi lebih mudah dijalani. 🙂
saya kalo pas nunggu ujian geregetan liat mhs pada nyontek. ni mah nyontek yang terorganisir. perlu kampanye besar-besaran di tiap sekolah untuk anti nyontek kali. tapi di balik itu semua kayaknya da sistem dan proses pendidikan kita yang salah. saya sangat mendukung HS, cuma belum kesampaian
tulisan yg bagus mas Aar…smoga kita yg tersadar sll diberikan kekuatan untuk mampu membawa anak2 kita ke jalan yg lurus agar menjadi manusia pembelajar n bermoral baik di masa depan…amiiiiiiiiiiiiiiiiin…. ayo semangat mengadakan perbaikan dari hari kehari n dimulai dari diri n keluarga sendiri…. trimakasih tuk kluarga di rumah ini yg sgt menginspirasi…. tuk mas Aar, mbak lala, yudhis, tata, abby n duta…. teriring doa buat kalian smua…..
betul 😉 😉 😉 padahal kejujuranlah yang kita cari.. 🙁 🙁 🙁 kecewa dengan yang tak jujur 😥 😥 😥
saya jg sedih bgt dgn berita ini..yg jujur dan benar yang meminta maaf dan terusir T_T …
Sepertinya di negeri ini menguasai ilmu itu tidak penting, karena ada yang lebih penting dari itu semua, dinilai lulus, dinilai berkualitas, dinali cerdas, dinilai diatas kertas saja..
Menurut saya kegiatan menyontek di indonesia ini sudah sangat lazim Dan perlu penanganan lebih lanjut agar masalah ini bisa terselesaikan