fbpx

Melintasi Moda Bertahan (Survival mode)

Akhirnya hari ini aku mulai bisa bernafas lebih lega. Dunia terasa lebih normal setelah hampir dua minggu seperti naik roller coaster. Maraton kegiatan, petir yang menyambar, ditambah kesehatan yang sedang drop menjadikan beberapa hari terakhir serasa dalam mode bertahan alias survival. Masalah seolah tak ada habisnya, datang dan pergi tanpa dapat diduga.

Tapi syukurlah. Tuhan memudahkan prosesnya dengan mengurai satu demi satu. Tuhan menambahkan kelapangan pada hati kami sehingga relatif tak bergejolak saat menjalaninya. Juga, variabel waktu berperan seperti kebijaksaan kuno “time heals”, waktu adalah obat yang membantu mengurai masalah.

Kali ini agak lumayan lah menjaga emosi, walaupun sesekali meletup karena stamina tipis dan tekanan masih tinggi, hehehe…

***

(c) layoutsparks.com
(c) layoutsparks.com

Sebelum berangkat ke Salatiga untuk hadir dalam Festival Pendidikan Rumah (FESPER), sebenarnya kami sudah mengantisipasi dan membuat perencanaan. Beberapa pekerjaan kami lembur dan selesaikan di awal.

Tapi apa mau dikata, tiba-tiba ada kejutan. Selasa malam, ada petir menyambar rumah. Korbannya adalah satu CPU mati, dua monitor rusak, modem, dan televisi. Wah… langsung panik kami. Butuh berapa juta nih untuk membeli alat-alat elektronik ini?

Dan yang langsung terbayang, bagaimana mengirim undangan dan menyelenggarakan webinar HS Usia Dini untuk hari Rabu malam karena Internet mati total. Belum lagi, surat-menyurat pasti kacau. Ditambah, kami belum packing untuk FESPER, padahal harus berangkat Kamis malam. Pfuih… langsung akrobat deh.

Untungnya, di tengah kepanikan itu banyak uluran cinta dan pertolongan. Ada Raken menawarkan modem Bolt (yang sayangnya tak bisa digunakan karena rumah kami termasuk blank spot). Ada Mella yang menawarkan akses Internet di rumahnya untuk webinar. Cinta dan uluran tangan itu menguatkan, walaupun pada akhirnya kami tak menggunakannya.

Rabu siang Lala pontang-panting mencari warnet (yang sudah semakin jarang di Jakarta) untuk mengirim undangan webinar. Eh, tiba-tiba sore hari teknisi Firstmedia muncul dan mengganti modem. Lega rasanya, seperti melihat secercah cahaya tiba. Walaupun Wifi masih mati dan hanya satu komputer yang bisa Internetan, tapi webinar malam itu terselamatkan di menit-menit terakhir. Pfuih.. kami mengelap keringat lega. Sementara Lala begadang mengolah rekaman webinar sampai pagi.

***

Drama itu masih belum selesai. Kami harus segera bersiap untuk berangkat FESPER ke Salatiga.

Kamis malam, kami berangkat ke Salatiga naik kereta bersama sekitar 80 orang rombongan Jabodetabek plus. Sesampai di stasiun Senen, lega dan bahagia rasanya walaupun kondisi kesehatan tidak terlalu prima. Lupakan dulu masalah petir, komputer yang mati, urusan rumah, dan tugas-tugas yang menumpuk sebagai akibat komputer mati.

Yang penting sekarang fokus urusan FESPER.

Tiga hari menjalani kegiatan FESPER, bahagia meliputi. Capek iya, tapi lebih banyak senangnya. Senang melihat anak-anak bermain tanpa henti bersama teman-temannya, semenjak berangkat hingga 3 hari penuh di FESPER. Senang juga melihat acara berjalan lancar. Tentu saja ada catatan di sana sini yang pengin kutulis nanti.

Usai FESPER, kami masih tinggal di Salatiga sehari. Kami berkunjung dan mengobrol dengan bu Anik dan pak Mahfud mengenai proses ujian persamaan di Salatiga. Bu Anik ini adalah sosok yang membantu Yudhis mengikuti Ujian Paket A tahun lalu. Melihat komitmen dan semangat Bu Anik dan pak Mahfud memperjuangkan anak-anak, kami sungguh terharu.

***

Selasa pagi kami pulang ke Jakarta naik kereta Argo Lawu dari Solo. Kami diantar bu Iping dan pak Edi, kerabat di Salatiga yang menjadi tempat persinggahan kami.

Sampai Jakarta sore hari, pekerjaan langsung menyambut: persiapan dan pelaksanaan webinar sesi terakhir. Kami begadang menyelesaikan materi webinar yang belum rampung karena komputer keburu mati tersambar petir. Hingga Kamis pagi, kami maraton menyelesaikan urusan webinar sambil badan rasanya melayang.

***

Rasa hati ingin beristirahat, tapi kondisi tak memungkinkan. Banyak PR pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan juga, aku harus memastikan Wifi hidup lagi dan komputer menyala agar bisa bekerja normal lagi. Ternyata komputer dan Internet sudah betul-betul menjadi kebutuhan pokok di keluarga kami karena sebagian besar pekerjaan kami memang berhubungan dengan komputer dan Internet.

Tapi tak semuanya hanya berisi kabar kesulitan. Selalu ada kebahagiaan dan penghiburan Tuhan diantara kesulitan. Buku “Apa itu Homeschooling” yang kutulis ternyata sudah masuk proses percetakan. Jadilah itu menjadi hiburan sekaligus pekerjaan baru karena saat ini mulai masuk promosi dan pre-order.

Dan tentu saja, karunia Tuhan menjadi sumber kebahagiaan yang tiada henti. Ketika kami ikhlas dan lapang menjalani semuanya, seolah ada pintu-pintu pertolongan yang terbuka. Dalam setup alat kerja baru (yang rusak karena terkena petir), ada saja kemudahan-kemudahan dan pertolongan-Nya.

***

Hingga hari ini masa kritis sudah dilewati, menuju ke kondisi normal. Mudah-mudahan minggu depan sudah mulai normal. Artinya, berharap karunia Tuhan untuk kepulihan kesehatan, alat-alat kerja bisa bekerja normal, dan satu-demi-satu pekerjaan terselesaikan.

Saat menyusuri dan menjalani proses survival ini, hanya satu hal yang aku usahakan. Aku harus bisa menjaga emosi dan menutup rapat-rapat mulut dari keluhan agar bisa memberi contoh kepada anak-anak cara bersikap saat menghadapi masalah dan kondisi-kondisi yang tidak ideal.

Posting ini juga menjadi cara kami memulai. Yang penting terus berjalan. Yang penting bola terus digulirkan. Maju terus hingga kita kembali kepada-Nya.

 

2 thoughts on “Melintasi Moda Bertahan (Survival mode)”

  1. Dia juga ada waktu petir menyambar rumah. Dia tau dan Dia percaya Bung Aar dan keluarga bisa. Terima kasih sudah menjadi berkat buat kami semua.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.