Apakah ada sampel anak-anak yang mulanya homeschooling, kemudian gagal ketika dewasa? Itulah pertanyaan singkat mbak Lea Kesuma yang diajukannya kepada Lala.
Pertanyaan semacam ini layak untuk diajukan. Sebab, sebuah gagasan yang hanya berisi cerita sukses tanpa jejak kegagalan biasanya cenderung merupakan ilusi. Ada hal-hal yang ditutupi sehingga realitas seolah ideal dan hanya berisi keberhasilan.
Padahal, kegagalan di dalam praktek, dalam jumlah tertentu, merupakan sebuah kewajaran yang dapat diterima. Sebab, keberhasilan membutuhkan sebuah prasyarat. Dan ketika prasyarat itu tak dipenuhi, maka kegagalan lah yang dialami. Kalau semua orang bisa masuk dan pasti berhasil (dengan nilai kegagalan nol persen), maka keberhasilan itu tak memiliki makna apapun.
Apakah ada kegagalan dalam homeschooling? Menurut saya ada. Problemnya, data tentang kegagalan itu lebih sulit diperoleh daripada tentang keberhasilan. Kalaupun kita melihatnya, yang bersangkutan belum tentu bersedia diekspos kegagalannya. Juga, ada sedikit komplikasi di dalam memaknai dan memandang keberhasilan.
1. Memaknai keberhasilan
Secara sederhana, keberhasilan adalah ketika apa yang ditetapkan sebagai tujuan tercapai. Kegagalan adalah ketika tujuan yang ditetapkan tak tercapai. Sebagaimana keberhasilan memiliki spektrum yang luas (mulai keberhasilan kecil hingga keberhasilan besar), demikian pun kegagalan.
Kegagalan pada satu segi bukan berarti kegagalan secara keseluruhan. Selalu ada ruang untuk keberhasilan dan memaknai sebuah kegagalan pada hal tertentu dalam posisinya yang relatif kecil terhadap ruang kehidupan yang sangat luas. Selalu tersedia ruang yang luas untuk memaknai kehidupan secara lebih positif sehingga manusia tak berhenti pada kegagalan, tetapi maju terus untuk melakukan kompensasi denan membuat keberhasilan-keberhasilan baru (apapun definisi keberhasilan itu).
2. Tujuan homeschooling
Salah satu faktor yang membuat penilaian keberhasilan menjadi lebih sulit adalah karena setiap keluarga homeschooling memiliki definisi/standar berbeda mengenai tujuan pelaksanaan homeschoolingnya.
Tujuan yang dianggap penting oleh sebuah keluarga dan dianggap sebagai ukuran keberhasilan belum tentu dianggap penting oleh keluarga lain. Padahal, pengertian sederhana kegagalan adalah tak tercapainya sebuah tujuan.
Kalau tujuan yg hendak dicapai berbeda-beda, bagaimana kita ingin mengambil sampel tentang kegagalan secara umum? Kita bisa saja menyebutkan seorang anak gagal dalam homeschooling (mis: karena gagal dalam ujian Paket atau gagal masuk Perguruan Tinggi). Tetapi, bisa jadi keluarga yang bersangkutan menganggap bahwa masalah akademis itu hanya hal sampingan dalam proses homeschooling yang dijalaninya karena mereka mendidik anaknya menjadi pebisnis atau seniman (yg tak menempatkan aspek akademis dalam kegiatan belajarnya).
Atau, ada yang menyebutkan anak yang tidak terampil dan kurang pandai bergaul sebagai kegagalan dalam homeschooling. Sementara, keluarga yang bersangkutan menganggap bahwa hal-hal tersebut tak menjadi masalah besar. Toch anaknya pintar dan bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi terkenal.
So?
Keragaman dan fleksibilitas di dalam penetapan tujuan itu membuat peluang keberhasilan dalam homeschooling lebih besar dibandingkan sistem sekolah yang menggunakan satu ukuran (nilai raport/ujian) sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan. Walaupun begitu, fleksibilitas ini harus dikawal dengan kejujuran sehingga tak menjadi alasan pembenaran/kamuflase atas kegagalan yang sedang dialami.
3. Critical Areas
Dalam konteks ini, mungkin lebih tepat untuk membahaskan titik-titik kritis (critical areas) dalam pelaksanaan homeschooling daripada mencari contoh2 kegagalan homeschooling. Ini bukan tentang tujuan dan gambar besar (big picture) tentang homeschooling. Tetapi lebih mengenai aspek-aspek praktis dalam pelaksanaan homeschooling yang perlu diperhatikan agar homeschooling dapat berhasil. Saya ingin memberikan beberapa contoh diantaranya:
a. Kekompakan keluarga
Kekompakan keluarga menjadi area kritis ketika homeschooling dijalankan tanpa persetujuan penuh dari salah satu pasangan (suami/isteri). Kekritisan ini bisa menjadi mimpi buruk ketika ada pihak ketiga (orangtua/mertua dan keluarga) yang melakukan intervensi dan ikut menunjukkan ketidaksetujuannya pada homeschooling, sementara proses homeschooling yang dijalani masih sangat baru dan belum menemukan bentuk yang diinginkan.
Intervensi ini datang biasanya pada saat anak mulai usia sekolah (7 tahun). Inilah masa kritis pelaksanaan homeschooling, apakah akan terus atau beralih ke sistem sekolah.
b. Pemilihan model homeschooling
Area kritis yang lain adalah pemilihan model homeschooling yang akan dijalani.
Jangan mengambil sebuah model homeschooling tertentu dan menerapkannya begitu saja di rumah tanpa memperhatikan konteks-nya. Juga, jangan memindahkan model belajar di sekolah ke rumah begitu saja. Peluang kegagalannya cukup besar karena setiap model memiliki asumsi-asumsi tersendiri, demikian pun rumah bukanlah sekolah dan orangtua bukanlah guru serba bisa.
Penting untuk memasukkan faktor kondisi anak dan keluarga di dalam rancangan model homeschooling yang akan dijalani. Kunci keberhasilan pada pemilihan model homeschooling bukanlah memilih model yang terbaik (secara teoritis). Tetapi, yang terpenting adalah apa yang bekerja dan bisa dilaksanakan, yang membuat anak dan orangtua menikmati proses belajar yang dijalaninya.
c. Kualitas interaksi/komunikasi orangtua-anak
Jika kualitas interaksi/komunikasi antara orangtua dan anak rendah, maka kualitas hubungan antara orangtua dan anak pun tak bisa dikatakan bagus. Kualitas interaksi/komunikasi ini bisa menjadi pintu besar di dalam kegagalan praktek homeschooling.
Problem pertama ketika orangtua terlalu dominan dan memaksakan apa yang dianggap baik tanpa memperhatikan sudut pandang/pendapat anak. Akibatnya, tak ada ruang dialog yang cukup antara anak dan orangtua. Pada saat anak masih kecil/lemah dia mungkin akan menerima. Tetapi semakin anak besar, bisa timbul pemberontakan-pemberontakan pada anak yang membuat tujuan homeschooling tak dapat diraih dan praktek homeschooling tak dapat dijalankan.
Problem kedua bisa terjadi sebaliknya. Orangtua yang kehilangan kendali pada anak, sementara anak ingin melakukan apapun yang diinginkannya tanpa memperhatikan apakah yang dilakukannya adalah baik untuk masa depannya.
Kunci keberhasilan untuk mengatasi area kritis ini adalah membangun interaksi yang nyaman antara orangtua dan anak, yang memungkinkan evaluasi secara obyektif bisa dilaksanakan atas praktek homeschooling yang dijalani.
d. Taken for granted
Memilih homeschooling tak identik dengan keberhasilan. Homeschooling sama sekali bukan obat mujarab yang bisa menyembuhkan semua penyakit pendidikan. Ada sebagian orang yang berpindah dari jalur sekolah ke homeschooling dan mengira bahwa homeschooling akan menyelesaikan semua problem pendidikan yang dialami anaknya.
Padahal, memilih homeschooling barulah awal, bukan akhir dari perjalanan. Memilih homeschooling berarti mengambil tanggung jawab dari pihak lain (sekolah) dan mengalihkannya ke pundak sendiri. Itu berarti, jika ada kegagalan dalam pelaksanaan homeschooling, tak ada orang/pihak lain yang dapat dijadikan kambing hitam atas kegagalan itu.
Untuk membuat homeschooling bisa berjalan baik, diperlukan keterbukaan untuk belajar dan kerja keras di lapangan untuk mewujudkannya. Terus belajar untuk menjadi fasilitator belajar yang baik dan bekerja keras mencari cara agar proses belajar anak dapat berjalan efektif dan menyenangkan.
7 thoughts on “Kegagalan dalam homeschooling”
kegagalan bukan akhir dari segalanya kq,,, 😉
Menurut saya, homeschooling itu sulit gagal, karena bisa jadi keputusan homeschooling itu selalu kita evaluasi. Mau diteruskan apa sekolah. Kalau tampaknya HS sudah mustahil, ya pasti sekolah.
*Kita di sini maksudnya ortu HS, karena saya bukan ortu HS, hehe.
Homeschooling itu sampai umur 18 tahun saja (usia lulus SMA), setelah itu umur masih panjang. Paling nggak anak kita bentuk supaya bisa mandiri, punya keahlian yang bisa dibanggakan, bisa cari makan sendiri.
Lagipula, gagal atau tidak gagal, siapa yang tahu? Bisa jadi suatu saat anak itu tampak gagal, padahal sebenarnya masa persiapan untuk sukses.
Misalnya ingat cerita Steve Jobs dulu itu, ketika dia DO kuliah, luntang-lantung nggak tahu mau ngapain, orang-orang bisa menilai dia gagal. Tetapi Steve Jobs mengatakan, bahwa masa DO itu dia perlukan untuk belajar tentang font dan sebagainya, yang dia perlukan untuk membuat komputer Apple. Jadi dia butuh masa sulit itu untuk sukses. Kuncinya follow your passion, trust your instinct, and have faith. Orangtua HS dalam posisi yang lebih baik untuk mengajarkan itu pada anak-anaknya, daripada orangtua yang selalu mengajarkan “ikuti saja apa kata gurumu”.
Saya takut gagal HS kalau komitmen kedua orang tua anak gak serius, apalagi jika keduanya sama sama bekerja , mungkin tetap mendatangkan guru privat kerumah, dan homeschooling tidak menjadi produk langsung orang tua kepada anak2nya…..
Assalamualaikum mas Aar sy mau tny apa sj persyaratan utk anak HS yg mau masuk skolah reguler? Anak sy saat ini ditingkat SMP memilih utk HS .saat SMA nanti dia mau kembali ke skolah reguler.bgaimana caranya dan apa saja persyaratannya? Apakah diperlukan rapot SMP.terimakasih mas Aar utk jawabannya
Syaratnya raport HS saat SMP, ijazah Paket B dan placement test di SMA yang dituju
Sy blom paham. Rapot HS itu mksudnya gmn?
Raport yang dikeluarkan PKBM