Hari Sabtu (19/11), aku mendapat kesempatan berjejaring dengan teman-teman dari AFS dan mengikuti sebuah intercultural seminar: Indonesian Education for Prosperity and Peace yang diadakan oleh Bina Antarbudaya. AFS & Bina Antarbudaya ini biasa dikenal publik dengan kegiatan pertukaran pelajar ke luar negeri.
Tiga topik utama yang didiskusikan dalam acara ini, yaitu: Independence, Diversity & Global Citizenship. Acara diawali pemaparan dari Prof. Arief Rachman (Chairman of the Indonesian National Commission for UNESCO) & Melissa Liles (Chief Education Officer of AFS Intercultural Programs).
Ketulusan & Empati sebagai Modal Sosial
Dalam paparannya, Prof. Arief Rachman menekankan 5 hal penting dalam pendidikan, yaitu:
- Learning to Know: belajar untuk memahami, meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan membangun kemampuan untuk mengenal dunia.
- Learning to Do: belajar berbuat sesuatu yang memberikan manfaat tak hanya secara lokal tapi juga global.
- Learning to Be: belajar menemukan & mengembangkan kepribadian & identitas diri sehingga menjadi pribadi yang berkemampuan.
- Learning to Live Together: berpartisipasi aktif dalam interaksi sosial yang plural, meningkatkan toleransi, penghargaan, penerimaan dan meningkatkan kemampuan penerimaan perbedaan demi tercapainya perdamaian.
- Learning to Transform Oneself & Society: nembangun kemampuan integrasi dengan beragam lapisan masyarakat, berfikir untuk kepentingan yang lebih luas melebihi kepentingan dirinya dan bangsanya sendiri.
Prof Arief juga menyatakan pentingnya membangun suasana & meningkatkan “rasa”.
“We have to train our feel, to feel others” kata pak Arief, karena menurut beliau banyak hal itu adanya di rasa (energi). Banyak hal tak terkatakan, tapi bisa terasakan oleh orang lain. Damai itu adanya di rasa. Bibir kita bisa berkata damai, tapi kalau damai itu belum terbangun di hati maka yang ditangkap dan dirasakan oleh orang lain adalah energi ketidakdamaian kita. Semakin kita bisa memupuk rasa cinta & damai dalam hati kita, semakin kita mampu membangun kehidupan bersama.
Membangun Pergaulan Lintas-Budaya
“Reaksi pertama orang ketika berbeda adalah mundur dan membangun dindingnya, padahal untuk membangun komunikasi kita memerlukan jembatan” ujar Melissa Liles, CEO AFS Intercultural Programs dalam paparan selanjutnya. Untuk itulah AFS Intercultural Programs lahir, untuk membangun jembatan dan meruntuhkan dinding-dinding perbedaan.
AFS, awalnya adalah “Ambulance Field Service” yang kemudian berproses pasca perang dunia kedua menjadi organisasi pertukaran pemuda internasional. Saat ini AFS sudah melakukan pertukaran remaja dari 100 negara, di Indonesia sendiri keberadaan AFS telah memasuki 60 tahun.
Banyak orang hebat di Indonesia yang merupakan alumni (returnee) dari program AFS seperti Taufiq Ismail, Arief Rachman, Anies Baswedan, Najwa Shihab, Tri Mumpuni, dll.
Pergaulan lintas budaya memperkaya wawasan dan cara pandang mereka melihat dunia. Pengalaman nyata hidup bersama dalam setting sosial yang berbeda juga membawa semangat untuk berkarya nyata pada bangsa dan meningkatkan empati & kepekaan sosial terhadap keragaman budaya dan sudut pandang yang ada di masyarakat.
Diskusi Panel tentang Diversity & Global Citizenship
Usai pembukaan, acara dilanjutkan dengan paparan dari 3 pembicara yang juga memimpin sesi diskusi panel setelah makan siang. Tiga pembicara itu adalah Dr. Irid Agoes (co-founder Bina Antar Budaya), Dr. Bagus Riyono (President International Association of Muslim Psychologist) & Ms. Jasmin Jasin (Founder Sekolah Gemala Ananda). Paparan dimoderatori oleh Ms. Tri Mumpuni (Executive Director, Yayasan Ekonomi Berbasis Rakyat). Mereka berempat juga merupakan alumni AFS.
Mengelola Keragaman Indonesia
Indonesia, dengan 300 suku (yang kemudian diralat oleh peserta dengan jumlah 783) dan 875 bahasa, memiliki potensi perpecahan yang sangat besar.
“How to overcome diversity among us? by building the bridge, not walls” kata Dr Irid dalam paparannya di diskusi panel tentang tema keragaman (diversity) di Indonesia.
“Kita itu sebenarnya bisa hidup dengan damai selama tidak ada pilkada atau pemilu” ujarnya lagi sambil tersenyum. “Mengapa kita mudah sekali terprovokasi dan terpecah belah?” karena ternyata Individualism Index Value (IDV) bangsa ini adalah 14.
Semakin tinggi IDV sebuah negara semakin individual negara tersebut. Sebagai gambaran Amerika memiliki IDV sebesar 91, itulah sebabnya mereka sangat individual. Apakah negara dengan IDV tinggi berarti lebih baik? Tidak juga. Justru Indonesia dengan angka IDV kecil menunjukkan betapa bangsa ini harusnya mampu hidup damai dalam nuansa kekeluargaan & gotong royong.
Dr Irid juga menjelaskan tentang efek budaya. Menurut Dr. Irid, efek budaya, keyakinan dan nilai perilaku manusia adalah seperti gunung es. Kebanyakan orang mengidentifikasikan budaya berdasarkan hal-hal yang umum seperti seni, sastra, musik, makanan, tulisan, pakaian dan berbagai hal yang terlihat lainnya.
Padahal ada jauh lebih banyak aspek yang membentuk masyarakat yang sering luput dari perhatian, misalnya hubungan dengan binatang, cara pandang tentang apa yang dianggap baik, kecepatan kerja, cara mengambil keputusan, bahasa tubuh, cara menyelesaikan masalah, konsep kebersihan dll. Semua hal yang tak terlihat ini banyak membentuk kepribadian dan masyarakat.
Menurut Dr Irid, yang terjadi di Indonesia pada saat ini adalah tubrukan nilai bawah sadar yang menjadi sangat terbuka dengan adanya media sosial.
Di sinilah pentingnya kemampuan kita untuk mempelajari tingkat keterkaitan di antara manusia. Dan menurut Dr Irid, guru terbaik dalam mengenal & mempelajari budaya orang lain adalah melalui pengalaman interaksi.
Dengan mengalami interaksi, berbagi perasaan, keprihatinan dan harapan akan masa depan, diharapkan potensi konflik akibat keberagaman bangsa Indonesia yang sangat besar lebih dapat dijembatani.
Global Citizenship
Tema lain yang dibahas dalam diskusi ini adalah tentang kewarganegaraan global (global citizenship). Dr. Bagus Riyono dalam paparannya menyatakan bahwa menjadi warga dunia (global citizen) bukan berarti harus menjadi orang yang selalu mengikuti trend, mengkompromikan identitas hingga akhirnya mengubah kepribadian karena terlalu kagum dengan budaya asing.
Menurutnya, kata kunci “warga dunia” adalah hak asasi manusia, perdamaian, pembangunan berkelanjutan dan pemahaman internasional. Seorang warga dunia adalah sosok yang memiliki keprihatinan terhadap apa yang terjadi di dunia, menghargai perbedaan, peduli terhadap kemanusiaan secara keseluruhan dan memiliki nilai-nilai universalitas dalam hidupnya.
Dr Bagus memberi contoh Prof Khoirul Anwar yang memberikan kontribusi global di bidang teknologi tapi tetap mempertahankan identitasnya sebagai seorang muslim Indonesia.
Menurut Dr. Bagus ada 3 hal penting yang dibutuhkan untuk menjadi warga dunia:
- Pengetahuan: pemahaman akan beragam sifat dasar manusia, nilai-nilai universal, tujuan hidup, serta masalah kemanusiaan yang terjadi secara global.
- Kemampuan: kemampuan untuk berempati, membangun dialog, memiliki sensitivitas budaya hingga dapat menyelesaikan konflik dengan baik.
- Sikap: senantiasa meningkatkan kemampuan, menghormati orang lain, berfikir sehat, kesungguhan hingga dapat menjadi teman kolaborasi yang baik bagi warga dunia.
Independence
Sementara ms Jasmin Jasin berbicara banyak tentang sistem pendidikan. Beliau menekankan bahwa problem mendasar yang terjadi dalam sistem pendidikan kita saat ini adalah tidak terjalinnya hubungan baik antara “pendidikan karakter” dengan “pendidikan akademis”. Padahal menurut ms Jasmin, pembelajaran terbaik itu terjadi ketika kita:
- mengalaminya, tak hanya sekedar membaca atau mendiskusikannya
- mengendapkannya, mengembangkan makna terdalam tentang apa yang kita pikirkan & yakini
- mampu mengkomunikasikannya dengan orang lain yang memiliki perbedaan sudut pandang sehingga dapat saling memahami
Ms Jasmin yakin bahwa untuk bisa saling memahami, kita perlu berlatih menjadi pendengar yang aktif dan menjaga setiap kata yang kita ucapkan. Jika berhasil dilakukan maka kita akan semakin mengenali diri kita sendiri, mampu berfikir kritis, bisa melihat sudut pandang orang lain, lebih percaya diri ketika menghadapi sebuah hal yang baru, melihatnya sebagai kesempatan belajar dan mampu membina hubungan berdasarkan saling memahami.
***
Berjejaring bersama mbak Puni (Tri Mumpuni)
Masih banyak hal menarik yang dibicarakan di hari itu. Aku sendiri bahagia karena mendapat kesempatan ngobrol lumayan panjang dengan mbak Puni (Tri Mumpuni), seorang tokoh pengembangan kemandirian masyarakat di kawasan terpencil melalui pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang karyanya telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Yang menarik dari mbak Puni adalah dirinya bukan hanya mengusahakan listrik di sebuah daerah tapi juga memikirkan bagaimana daerah tersebut bisa meningkat pendapatan masyarakatnya.
“Kamu tahu La, hal pertama yang perlu disiapkan dalam menjaga keberlangsungan listrik untuk rakyat itu adalah manusianya itu sendiri. Tantangannya adalah bagaimana agar masyarakat di desa itu mampu membangun dirinya sendiri karena sadar kemanfaatan yang akan mereka peroleh. Kalau cuma sekedar menjalankan proyek saja sih, susah bertahannya” cerita mbak Puni disela-sela obrolan ringan kami saat makan siang.
Haduh mbak Puni, kamu keren sekali! Semoga kita bisa ketemuan dan ngobrol lebih banyak lagi. Aku selalu terinspirasi dengan orang-orang yang mampu memberikan manfaat kepada orang banyak melalui hal-hal yang mereka lakukan dengan sepenuh hati dan sukacita.
Diskusi & Rekomendasi Kebijakan
Setelah makan siang, peserta boleh memilih mau mendiskusikan lebih mendalam tema Diversity, Global Citizenship atau Independence di ruang-ruang yang berbeda. Awalnya sebelum acara dimulai, aku mendaftarkan diri di ruang Diversity, karena aku sangat ingin tahu bagaimana sudut pandang serta pendapat teman-teman peserta tentang bagaimana cara terbaik membangun jembatan perdamaian di negeri ini.
Tapi ternyata, setelah paparan diskusi panel sebelum makan siang, aku juga penasaran bagaimana bentuk “kemandirian pendidikan” dalam sudut pandang kebangsaan, lagipula keberadaanku di acara ini atas nama Rumah Inspirasi yang notabene praktisi homeschooling, jadi galau gitu. Hehehe.
Akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan grup Independence yang difasilitasi oleh mbak Jasmin & bang Ucok, apalagi aku merasa cukup akrab dengan keduanya karena sempat berinteraksi di acara Pertemuan Nasional Pendidikan Alternatif beberapa waktu lalu.
Diskusi berlangsung menyenangkan. Ada 4 rekomendasi yang mengkristal dari diskusi kami di grup Independence.
Rekomendasi yang diajukan kepada pemerintah adalah:
1. Adanya kampanye aktif dari pemerintah untuk meningkatkan partisipasi orangtua dalam proses pendidikan anak mereka di sekolah. Salah satu contoh kampanye yang diapresiasi adalah seperti yang dilakukan saat pak Anies Baswedan menjadi Mendikbud, yaitu “Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah”. Diharapkan dengan keterlibatan orangtua sebagai partner utama sekolah, maka pendidikan karakter anak kembali menjadi tanggung jawab orangtua di rumah.
2. Diadakannya kurikulum yang mengandung lebih banyak konten lokal. Bangsa ini dengan segala keragamannya tidak bisa dididik hanya dengan satu bentuk kurikulum. Kurikulum anak di kota besar tak bisa disamakan dengan anak yang tinggal di gunung atau di pinggir pantai. Setiap daerah memiliki kekayaan dan kekuatannya masing-masing. Kurikulum yang membumi (contextualized curriculum) dibutuhkan untuk menciptakan generasi yang mampu mengoptimalkan apa-apa yang ada di sekelilingnya. Dalam bayangan kami, mungkin pemerintah cukup memberikan 30% materi inti, selebihnya dikembalikan kepada kebutuhan & kekuatan daerah masing-masing.
3. Dibuatkan program pendidikan guru yang lebih update. Walau saat ini sudah ada pendidikan bagi para guru, tapi dari para pendidik yang hadir dalam grup Independence merasa kalau ilmu yang diberikan masih kurang “update”. Terlalu banyak hal baru yang harus dikejar para guru. Dibutuhkan pendidikan berjenjang & berkala yang lebih sering agar para guru tidak kalah dengan murid-muridnya yang sudah lebih melek teknologi.
4. Adanya bentuk evaluasi baru dari pemerintah, tidak hanya berdasarkan akademis, tapi juga melibatkan proses pendidikan bagi peserta didik (holistic approach) untuk mengeliminir kecurangan ujian yang saat ini marak terjadi karena hanya berpaku pada penilaian akademis saja.
***
Bercermin dari Pengalaman Pribadi
Aku sangat menikmati seminar antar budaya ini. Sebagai orang yang pernah mengalami pertukaran pelajar, aku merasakan betul manfaat dari program seperti ini. Dua puluh satu tahun yang lalu aku berangkat untuk tinggal di kepulauan Bermuda selama 10 bulan dalam program Youth Exchange Program.
Jauh dari orangtua, hidup dalam sebuah ritme kehidupan yang sama sekali berbeda, berinteraksi dengan beragam jenis manusia dengan latar belakang yang mungkin belum pernah aku temui sebelumnya, membuatku menyadari bahwa masih banyak hal yang belum aku pahami yang tak layak aku hakimi hanya karena hal tersebut belum kumengerti. Pengalaman itu pula yang secara tidak langsung mempengaruhi pilihanku dalam memilih homeschooling untuk anak-anakku saat ini.
Makanya, aku sebenernya sempat sedih waktu mendengar selentingan berita kalau anak homeschooling tidak bisa mengikuti program AFS. Untungnya di acara ini aku bertemu langsung dengan teman-teman dari AFS – Bina Antarbudaya seperti mbak Jasmin & mas Hning yang menegaskan walau belum pernah ada preseden anak homeschooling sebelumnya, tapi kemungkinan itu masih terbuka lebar.
Jadi, mari kita cobaaaa. Siapa tahu Yudhis (atau Tata atau Duta atau anak teman-teman yang mungkin homeschooling juga seperti anakku) berjodoh dengan program pertukaran pelajar ini.
Buat teman-teman yang tertarik dengan program AFS, bisa memepersiapkan diri (atau anaknya) untuk pendaftaran yang akan dibuka sekitar bulan Maret-April tahun depan. Informasi selengkapnya bisa dibaca di web AFS Indonesia.
4 thoughts on “Intercultural Seminar Bersama AFS dan Bina Antarbudaya”
menarik banget baca tulisan dirimu mbak Lala..
aku inspired ! ^~^
dan mau tau lebih banyaaaak.
haturnuhun sblmnya berkenan.
Salam kenal mbaaaak 🙂 terima kasih kunjungannya ke RumahInspirasi!
Halo mba Lala.. mohon pencerahannya..
Jadi bagaimana dengan anak unschooling, apakah bisa mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negri? Apalagi bagi anak unschooling yang sudah memiliki passion di bidang yg dia minati, apakah saat pertukaran pelajar, mereka bisa melanjutkan belajar “passion” mereka, atau mereka harus kembali bersekolah di sana?
Mereka memiliki syarat administratif yaitu rapor. Kalau mau pertukaran ke luar negeri, sekarang banyak jalan yang bisa dilakukan selain AFS.