“Yang tertinggal dari sebuah perjumpaan adalah rasa. Dan rasa yang melekat bersama Ibu sungguh luar biasa!”
Selasa, 23 Juli 2013, 16.00. Aku sedang menyeterika pakaian ketika Yudhis lari kecil menghampiriku sambil membawa handphone yang berbunyi. “Ada telepon dari Om Agung Madiun,” katanya sambil menyerahkan handphone kepadaku.
“Ada berita duka mas Aar,” kata dik Agung, suami dik Sari, adikku. “Baru saja Ibu meninggal dunia. Tadi tidur siang, terus mau dibangunkan buat shalat Ashar, tapi ternyata sudah tidak ada….”
Sesaat dunia terasa gelap. Waktu seakan berhenti.
Berita ini bagai petir di terik siang bolong yang panas. Tak ada kabar sebelumnya tentang menurunnya kondisi kesehatan Ibu yang sudah dua minggu dirawat di Pavilun Merpati, RS Soedhono, Madiun. Bahkan kabar terakhir adalah mengenai kondisinya yang stabil, walaupun beliau semakin susah makan.
Dan hari ini, aku mendapatkan kabar bahwa Ibu sudah dipanggil menghadap sang Pencipta, tak lama dari ulang tahunnya yang ke-79 pada 20 Juli 2013.
Orangtua Tunggal yang Hidup untuk Anak-anaknya
Ibuku dan keluargaku adalah keluarga biasa, sama seperti keluarga Indonesia lainnya. Kami tinggal di Madiun, kota kecil yang berada di sisi barat Jawa Timur.
Ibuku bernama Soenarjati. Beliau lulusan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama) yang bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dan kemudian mengakhiri karir gurunya usai menjabat sebagai Kepala Sekolah.
Ayahku bernama Ami Basoeki. Aku tak pernah bertemu dengan beliau. Aku hanya mendengar cerita tentang beliau yang diceritakan sebagai lulusan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) dan bekerja di kantor Pertani.
Ayahku sudah meninggal sejak aku berusia 3 tahun. Aku tak memiliki kenangan momen-momen pribadi ataupun ingatan tentang Ayahku. Perkenalan dengan beliau hanya kunikmati melalui foto-foto yang ada di album foto yang ditinggalkannya.
Satu-satunya kenangan yang kumiliki tentang orangtuaku adalah kenangan bersama Ibu yang tak pernah menikah lagi sejak perpisahan itu. Beliau fokus bekerja dan hidup untuk membesarkan kami, anak-anaknya.
Jika diungkapkan dengan satu kalimat, kenanganku tentang Ibuku adalah kerja keras dan perjuangannya membesarkan anak-anaknya, aku dan adikku. Semua dilakukannya seorang diri.
Kerja keras dan usahanya membesarkan kami tanpa kenal lelah itu kurasakan sebagai kenangan yang luar biasa.
Tamasya Memancing Ikan
Ibuku bukan seorang yang romantis yang pandai berkata-kata manis dan mengapresiasi hal-hal yang dilakukan anak-anaknya. Wajahnya selalu serius. Dunianya adalah berjuang dan bekerja keras.
Walaupun begitu, aku tahu dengan pasti bahwa seluruh hidupnya didedikasikan secara penuh untuk anak-anaknya. Kami mengetahuinya walaupun beliau tak pernah mengatakannya.
Ada peristiwa-peristiwa masa kecil yang masih melekat di hatiku sampai kini tentang Ibu saat aku kecil. Kenangan itu samar-samar, tapi lekat dalam ingatanku.
Ada kenangan saat aku punya ide pergi ke TK sambil membawa kambing yang akan kugembalakan di sebelah sekolah, yang ditanggapi dengan tawa oleh Ibu. Ada kenangan membawa gelas sangat bagus yang sengaja dibawakan oleh Ibu untuk minum susu di sekolah, tapi karena aku sembunyikan di balik baju justru pecah saat aku terjatuh.
Kenangan yang paling lekat adalah saat Ibu membawa kami berjalan jauh untuk menghadiri acara semacam pesta di sekolah. Kami berjalan bersama dan Ibu menggendong dik Sari, adikku, yang mungkin usianya sekitar 3 tahun. Kami berjalan kaki, tak naik becak. Mungkin uang Ibu terbatas. Di tempat acara, aku bermain pancing ikan yang mata kailnya berupa magnet. Permainan itu sederhana, tapi peristiwa itu meninggalkan memori masa kecil yang melekat indah di dalam hatiku hingga kini.
Kenangan memancing ikan itu sangat berkesan buatku. Saat aku besar dan mencoba merekonstruksi pengalaman itu, aku tersadar bahwa jarak yang kami tempuh pada waktu itu cukup jauh, mungkin sekitar 5 km. Kesadaran itu membukakan keharuan, menyadari bahwa Ibu benar-benar berusaha keras untuk membuat kami, anak-anaknya, berbahagia.
Single Parent = Super Woman
Para single mom adalah wanita super. Dan Ibuku adalah salah satu diantaranya. Aku hormati dengan sepenuh hati kekuatan tekadnya membesarkkan kami, walaupun dengan langkah terseok-seok setiap saat.
Hari demi hari, tahun demi tahun beliau berjumpalitan menyelesaikan seluruh masalah sendirian. Bukan hanya urusan mencari nafkah, memasak, dan membesarkan anak-anaknya yang masih kecil, urusan memperbaiki rumah pun dilakukannya sendirian.
Teringat masa-masa saat kami harus sering bepergian ke luar kota menggunakan bus umum. Ibu menggendong adikku sambil mengurusi aku yang sering muntah di kendaraan. Ah, betapa merepotkannya semua itu..
Belum lagi kalau kami sakit. Saat kecil kakiku mudah luka dan korengan entah karena apa. Selalu ada bintik di kaki yang kemudian mengelembung berisi nanah dan kalau pecah kemudian menjadi koreng.. Bertahun-tahun Ibu merawatnya dengan ikhlas dan penuh kasih sayang. Ah…
Hal lain yang selalu mengharukan setiap kali mengingat beliau adalah usahanya untuk memprasaranai kami agar sama dengan anak-anak pada umumnya. Dengan keadaan ekonomi yang sederhana, beliau tak ingin kami minder atau merasa rendah diri di hadapan anak-anak lain. Saat aku SMA, Ibu membelikan sepeda motor dengan mencicil agar aku bisa memiliki sepeda motor yang mempermudah kegiatanku di OSIS dan Pramuka. Saat aku kuliah di ITB, Ibu memaksa diri mencicilkan komputer agar kuliahku di Teknik Informatika tak terhambat.
Tentu saja banyak pengorbanan lain yang beliau lakukan, yang tak pernah akan selesai kutuliskan. Dan yang luar biasa buatku, tak pernah beliau mengungkit yang dilakukannya satu kalipun, walaupun saat beliau marah atas kenakalan-kenakalan yang kulakukan.
Kemarahan karena Cinta
Tentu saja Ibuku bukan dewi penyayang yang sempurna. Beliau adalah manusia biasa, orangtua bisa seperti pada umumnya. Beliau sering mengomeli kami.Tapi hanya sedikit kemarahan besar beliau kepadaku yang bisa kuingat.
Yang pertama, beliau marah besar saat aku bermain bola di belakang rumah saat hujan besar. Beliau sudah memintaku untuk tidak ikut bermain bola, tapi aku nekad melakukannya. Pulang rumah dalam kondisi baju bergelimang lumpur saat hari sudah gelap, ibu marah besar, mencubit pahaku dan memukul pantatku dengan lidi. Inilah satu-satunya hukuman fisik yang pernah kuterima dari Ibu. Di luar itu, aku sama sekali tak pernah mendapati hukuman fisik dari Ibu.
Kemarahan kedua adalah saat Ibu baru membelikan aku sepeda motor. Sepeda motor diletakkan di dalam rumah. Dengan iseng dan bergaya, aku naik di sadel motor dan tiba-tiba kehilangan keseimbangan yang mengakibatkan motor jatuh dan menimpa jendela kaca hingga pecah. Ibu marah besar. Sebenarnya bukan marah, tapi beliau menangis dan memintaku bertanggung jawab. Aku kemudian pergi sendiri mencari tukang dan cara untuk memperbaikinya. Jadi, kenangan yang lebih kuat sebenarnya bukan kemarahan, tetapi pelajaran untuk bertanggung jawab.
Dan kemarahan terakhir adalah saat Ibu datang ke SMA untuk menjemputku. Waktu itu aku menjadi sekretaris OSIS sekaligus Pramuka. Hampir setiap saat aku sibuk berkegiatan dan mempersiapkan bermacam-macam hal. Aku juga selalu membawa pekerjaan ke rumah untuk kuselesaikan di malam hari. Berulang kali diperingatkan Ibu, aku tetap bekerja hingga larut malam untuk urusan OSIS dan Pramuka. Aku juga tetap mengikuti rapat-rapat di sekolah yang sering berlangsung hingga malam. Sampai suatu ketika, Ibu yang marah dan mengkhawatirkan kesehatanku akhirnya pergi naik becak malam-malam ke sekolah dan memaksaku pulang ke rumah.
Kemarahannya adalah kasih sayangnya. Kemarahannya bukan untuk dirinya, tetapi untuk kebaikanku, anaknya.
Kecintaan di Dalam Perbedaan
Jika ada pameo yang mengatakan cinta Ibu adalah cinta yang tak berbatas, memang benarlah itu. Aku sudah merasakannya sepanjang hidupku.
Di dalam setiap perbedaan antara aku dengan Ibu, beliau tak pernah memaksakan kehendaknya. Ketika aku sudah memutuskan pilihanku, Ibu menerimanya. Pilihan itu bisa berupa hal-hal sederhana seperti pilihan sekolah, tapi bisa juga hal yang rumit seperti pilihan jalan hidup dan keyakinan. Seberapapun Ibu tidak sepakat dengan pilihanku, beliau tetap memperlakukan aku sebagai anaknya dan dengan penuh cinta.
Cinta dan harapan Ibu untuk hal-hal yang terbaik bagi hidup anaknya jauh lebih besar dari apapun. Itu yang kurasakan dari Ibu.
Sikap Ibu itu yang kemudian menjadi pondasi dalam hidupku, bahwa apapun yang pilihan yang kulakukan harus membuat Ibu percaya dan bahagia akan anaknya. Beberapa pilihan bisa langsung terlihat sekarang, beberapa yang lain mungkin baru bisa disaksikannya dari langit tempat kediamannya sekarang.
Terima kasih Ibu yang telah mengorbankan hidupmu untuk anak-anakmu. Terima kasih Ibu yang telah memberikan kami ruang yang sangat luas untuk bertumbuh dan berkembang sepanjang hidup kami. Terima kasih Ibu yang telah melapangkan hati untuk semua pilihan-pilihan anakmu.
Aku bersaksi kepada-Nya bahwa engkau sudah memberikan yang terbaik untuk anak-anakmu.
Di dalam kecintaanku kepada-Nya dan kepadamu, Ibu, semoga aku dapat meneruskan pendidikan Ibu menjadi buah karya yang bermanfaat untuk kebaikan masyarakat dan semesta, yang pahala kebaikannya menerangi tempat bersemayammu bersama-Nya. Semoga aku mampu mengemban pesanmu untuk selalu menguatkan tali persaudaraan diantara para cucumu tercinta. Amin.
Love you always Ibu.
Jakarta, 28 Juli 2013
Anakmu
6 thoughts on “In Memoriam: Ibu”
Terharu. Semoga diampuni dosa2 beliau & diterima amal ibadahnya. Aamiin ya robbal alamin.
Amin..Terima kasih mbak Moi.
Innalillahi wa innailaihi rojiun, Allahummaghfir lahaa warhamha wa’aafihii wa’fu’anha..Amin Ya Robbal alamin……kami sekeluarga turut berduka…..
Amin. Terima kasih doanya mbak Intan.
Innalillahi wa innailaihi rojiun …
doaku utk beliau pahlawan keluarga. semoga beliau mendapat tempat yang mulia di sisi Allah.
Amin. Terima kasih mas Riza. Beliau memang pahlawan keluarga kami yg menjadi cermin utk kami sbg orangtua.