Pagi ini aku terbangun dengan segar. Udara pagi mengalir semilir menyenandungkan nyanyian gesekan dedaunan yang tertiup angin. Semerbak melati yang rimbun di halaman depan wanginya membasuh kulitku.
Tapi ada yang tak biasa pagi ini. Aku mendengar desah bisikan lembut di telingaku.
“Selamat atas hari pertama di sepuluh tahun pernikahanmu yang kedua…”
Aku terhenyak. Sudah lama tak kudengar suara itu. Itu adalah suara sahabat lama yang telah begitu lekat dengan hidupku.
“Terima kasih, sahabatku.” Aku berbisik lembut menjawab sapanya. “Sudah lama kita tak bertemu. Cerita apa yang engkau bawa dari perjalanmu?” Aku bertanya dengan penuh kerinduan kepadanya.
Sang angin, sahabatku itu, terdengar menderu.Pohon-pohon perdu nan rimbun di seberang jalan berceloteh dengan saling menggesekkan daunnya. Lonceng-lonceng kecil yang terpasang di lantai dua tempatku berdiri itu menderingkan nada-nada merdu.
“Ah.. rupanya dia pun merindu seperti aku.” bisikku di dalam hati.
**
“Aku rindu makna. Aku suka hati yang terbuka. Itulah sebabnya aku mengunjungimu,” katanya. “Aku rindu bercakap denganmu.”
“Ada apa dengan makna sehingga membuatmu ingin bersua denganku?”
“Karena kehidupan adalah pemaknaan. Karena hidup adalah perihal penciptaan. Dan pemaknaan adalah sebuah penciptaan kehidupan.”
Aku menyimak dengan baik kata-katanya yang selalu kusukai dan kunikmati.
“Aku sudah berjalan melintasi Sahara hinggu Kutub Utara. Aku sudah mendaki aneka bukit dan menyusuri semua lembah. Aku sudah berlari menembus bumi dan hari. Dan aku melihat banyak manusia yang mulai kehilangan arti. Mereka hidup tetapi mati.”
Aku diam. Aku merenung. Aku ingin mendengarkan cerita angin yang kini tersenyum lembut, mengisi seluruh rongga tubuhku.
“Apa hubungannya dengan ucapan selamat yang engkau katakan sebagai pembuka sapamu kepadaku?” Aku bertanya dan ingin mengetahui ke mana ceritanya hendak berlaku.
“Karena engkau baru melewati sebuah hari yang sangat penting. Bahkan teramat penting. Sepuluh tahun pertama pernikahanmu?”
Aku tak mengerti.
“Apa bedanya tahun ini dengan tahun-tahun yang lalu? Apa bedanya hari ini yang telah lalu? Matahari tetap terbit dari Timur. Setiap hari aku terbangun di pagi hari, bekerja dan kemudian tidur di malamnya,” tanyaku.
“Itulah yang disebut hidup yang mati. Karena kamu bukan hanya tak membuat penciptaan. Bahkan kamu membunuhnya. Kamu kehilangan makna dan hanya menjadi mesin belaka,” jawabnya
“Bukankah setiap hari tak ada yang sama? Tidakkah kau lihat sinar matahari itu menciptakan bentuk awan yang berbeda setiap hari? Tidakkah kau saksikan anak-anakmu yang tumbuh dan tak lagi sama dengan kemarin? Tidakkah kau mendengar cerita-cerita yang berbeda setiap saat? Bahkan, tanaman tua mati dan tunas muda tumbuh? Samakah itu semua?”
Suaranya terdengar meninggi. Suara gemerincing lonceng yang tertiup angin kembali meramaikan pagi ini yang mulai terlihat terang. Motor dan mobil mulai melintasi jalan depan rumah. Anak-anak bersiap berangkat ke sekolah. Orangtua bergegas berangkat ke tempat kerja. Rutinitas pagi yang terlihat sama, tapi sesungguhnya memang berbeda.
“Jadi, apa maksud kunjunganmu hari ini?” Aku bertanya cepat, khawatir dia segera pergi melanjutkan perjalanannya karena hari telah beranjak siang.
“Aku mengucapkan selamat karena kamu telah memaknai harimu. Kamu telah menciptakan makna. Itu berarti kamu menciptakan hidup dan kehidupan. Kamu menciptakan kehidupanmu sendiri yang ikut mempengaruhi tumbuhnya kehidupan-kehidupan yang lain. Maka ciptakanlah makna selalu. Karena kamu diciptakan dari Dia yang Maha Mencipta dan selalu mencipta.”
Suara itu semakin terdengar lirih dan samar. Aku terus mencari. Tapi tak kudapati lagi sambungan dari kata-katanya. Aku diam dan menunggu. Tapi suara itu telah betul-betul sirna.
Sementara langit sudah menjadi biru terang. Warna merah dan keemasan awan telah berganti dengan gulungan kapas yang membentuk lukisan-lukisan di kanvas biru. Semua tiba-tiba terasa berbeda. Padahal biasanya setiap hari terasa sama saja.
Adakah makna itu yang membuat realita menjadi terasa berbeda?