Kemarin aku menulis tentang seorang guru yang kasihan kepada muridnya yang tidak bisa mengerjakan soal ujian nasional. Karena rasa kasihannya, dia menolong muridnya dengan cara memberikan contekan jawaban soal ujian.
Tulisan itu mengingatkan aku tentang kisah kepompong dan kupu-kupu.
Pada suatu hari, ada sebuah kepompong yang sudah matang dan siap menjadi kupu-kupu. Pada awalnya, kepompong itu merekah sedikit dan kemudian keluarlah kepala kupu-kupu. Setelah itu, sedikit demi sedikit kepompong itu semakin merekah dan badan kupu-kupu mulai keluar dari kepompong.
Proses keluarnya seluruh badan kupu-kupu itu tak berlangsung cepat. Kupu-kupu itu terlihat susah paysh mengeluarksn badannya dari kepompong. Setiap selesai satu bagian, dia berhenti dan seolah nenghimpun tenaga untuk tahap selanjutnya. Begitu yang terjadi terus-menerus.
Seorang abak kecil melihat proses yang dialami kupu-kupu itu. Dia merasa kasihan pada kupu-kupu. Diambilnya gunting dari rumah, kemudian dirobeknya sisa kepompong yang masih belum terbuka. Ketika seluruh kepompong terbuka, dia berseru lega dan bersorak gembira karena merasa telah menolong kupu-kupu.
Tapi apa yang terjadi?
Kupu-kupu itu tak bisa terbang. Sisa badannya menggelembung. Kupu-kupu itu gagal untuk lahir sempurna. Anak kecil itu kaget dan sedih setelah mengetahui bahwa niat baik dan pertolongannya justru mencelakakan kupu-kupu.
Ternyata, proses keluar dari kepompong yang sulit itu adalah proses alam yang diperlukan untuk mengeluarkan cairan-cairan dari dalam tubuhnya. Proses itu terlihat menyakitkan, tetapi diperlukan untuk membuatnya lahir menjadi kupu-kupu yang indah dan sempurna. Pertolongan yang tidak tepat, walaupun dengan niat baik, bukan membantu tetapi justru mencelakakan.