“You cannot teach a man anything. You can only help him discover it within himself.”
(Galileo Galilei)
Ketika membicarakan tentang pendidikan, sebagian besar fokus kita terletak pada bagaimana proses mengajarkan materi belajar. Di sekolah, kita berbicara dan memfokuskan pembahasan pada guru dan cara mengajar. Di dalam homeschooling, para peminat selalu bertanya bagaimana cara mengajar anak-anak. Mereka khawatir karena tidak bisa mengajarkan materi-materi sulit kepada anak.
Seolah-olah, sentral dari pendidikan adalah mengajar dengan guru/orangtua sebagai pelaksananya. Dan memang begitulah pandangan konvensional tentang pendidikan yang menekankan pada proses transfer pengetahuan dari otoritas eksternal (guru/orangtua) kepada anak-anak.
Pandangan ini sebagian berakar pada pemahaman filosofis bahwa “anak adalah kertas kosong” sehingga tugas orang dewasa adalah mengisi kertas kosong itu.
**
Cara Pandang Pendidikan Tidak Tunggal
Pandangan itu bukanlah satu-satu cara pandang tentang pendidikan. Pandangan yang lebih modern justru menekankan bahwa proses pendidikan seharusnya lebih memfokuskan diri pada proses belajar yang dilakukan anak.
Anak-anak bukanlah kertas kosong, tetapi seorang individu yang juga memiliki kehendak diri. Pendidikan bukan hanya berarti transfer pengetahuan, tetapi di dalam makna sejatinya adalah mengeluarkan potensi anak.
Mengutip tulisan Robert T. Kiyosaki, education dalam bahasa asalnya “educare” bermakna mengeluarkan. Jadi, pendidikan itu sejatinya bermakna mengeluarkan potensi-potensi yang diberikan Tuhan kepada seorang anak.
**
Pergeseran Paradigma Pendidikan
Dengan mengubah paradigma kita tentang pendidikan dari “mengisi kertas kosong” menjadi mengeluarkan potensi”, kita sebenarnya melakukan sebuah pergeseran penting. Perubahan yang kelihatannya sederhana itu sebenarnya fundamental.
Banyak hal yang akan berubah dari pergeseran itu, antara lain:
- fokus pendidikan bukan guru/orangtua, tetapi anak
- fokus kegiatan bukan mengajar, tetapi belajar
- fokus evaluasi bukan pada penguasaan materi, tetapi pada keluarnya potensi
- anak tak dipaksa menyesuaikan diri dengan kurikulum, tetapi kurikulum ditujukan untuk melayani potensi anak
- yang aktif bukan guru/orangtua, tapi anak
- arah kegiatan bukan top-down, tetapi bottom-up
- fungsi utama guru/orangtua bukan sebagai sumber ilmu, tetapi sebagai fasilitator
- dll
**
Aku tidak tahu bagaimana gagasan seperti ini berinteraksi di dalam konteks sekolah yang pada saat ini fokus dan model dasarnya adalah “mengajar”.
Tetapi dalam konteks homeschooling, pandangan yang seperti ini bukanlah hal yang baru. Pandangan yang seperti ini dan sangat membantu orangtua homeschooling menjalani proses pendidikan di rumah.
Dengan menggeser paradigma tentang pendidikan ini, maka proses homeschooling yang dijalani menjadi lebih mudah dijalankan, tanpa mengorbankan kualitas pendidikan. Beban psikologis tentang ketidakmampuan mengajar materi yang sulit bisa dieliminir karena fokus pendidikan lebih diarahkan untuk mengeluarkan potensi anak dan memfasilitasi anak menjadi pembelajar mandiri.
3 thoughts on “Fokus pendidikan bukan mengajar”
mbak Lala mau nanya, terkait dengan mengeluarkan potensi anak. teknisnya gimana? apa kita biarkan keluar secara alami atau harus di stimulasi oleh kita sbg ortunya? usia brp biasanya udah terbaca potensi sebenarnya si anak? (bukan karena ikut2an atau coba2). maturnuwun
Banyak cara sih mbak, tp aku memilih cara memaparkan anak pada beragam hal & membiarkan anak berproses dari beragam paparan tersebut secara alami.
Untuk usia terbaca potensi menurutku tiap anak beda2. Kita saja yang orangtua kadang masih saja ada yang “belum muncul” potensinya. Isunya adalah stimulus & paparan serta dukungan jika anak terlihat muncul minatnya pada sebuah hal.
berarti kita harus punya catatan ttg anak kita ya mbak? hasil observasi ttg interest mrk, respon pasca stimulasi dll yah…
u/ mas yudhis sendiri, menurut mba Lala udah ketemu belum potensi dominannya dimana?