fbpx

Drama Penjemputan dibalik Petualangan Belajar Garut Jakarta

“Apa pak? Anaknya nggak ada?”
“Iya pak. Anaknya ada 4, 3 laki-laki 1 perempuan. Masih kecil-kecil.”
“Serius pak? Bapak tapi bis Primajasa Garut Jakarta yang berangkat jam 9 pagi kan?”

Dan aku pun lemas di sebelah mas Isal. Kami sudah berhasil menghubungi bus Primajasa yang berangkat pukul 9 dari Garut, tapi tak ada anak-anak kami di dalam bus itu.

***

Penjemputan yang Dipercepat

Hari ini (Selasa, 24/01/2017) adalah jadwal Tata dan teman-temannya, Zaky, Husayn, dan Fattah; pulang dari kegiatan #petualanganbelajar alias nyantrik di Pesantren Ekologi Ath Thaariq Garut.

Malam sebelumnya, aku berbincang dengan Tata melalui telepon. “Jadinya aku besok pulang naik bis, bu. Paling lambat jam 8 berangkat dari sini. Lama perjalanan katanya sekitar 5 jam, kalau kami naik bis yang jam 9 atau 10 mungkin jam 3an baru sampai. Ibu jemput jam 4 aja supaya tidak lama menunggu.”

Tapi sekitar pukul 13.00, mas Isal (Faizal Kamal) menelepon dan menanyakan posisi kami.

“Ayo La kita segera berangkat,” kata mas Aar tak lama setelah kami selesai makan siang.
“Lho, bukannya anak-anak baru sampai paling cepat jam 4 sore?

“Mas Isal sudah sampai di Terminal Kampung Rambutan. Katanya sebentar lagi sampai. Mbak Moi juga komentar di status Facebook-ku. Katanya, sejam lalu anak-anak sudah ada di km 111. Berarti sebentar lagi mereka sampai. Masa nggak ada update informasi di grup?”

“Terakhir aku cek sekitar jam 9 sih kayaknya belum ada perubahan waktu.”

Tapi kami memutuskan segera berangkat ke Terminal Bus Kampung Rambutan. Jarak dari rumah ke Kampung Rambutan relatif dekat. Setelah masuk jalan tol Cawang, tak sampai setengah jam kami sudah sampai di Terminal Kampung Rambutan.

Hujan mulai turun saat kami tiba di Terminal Kampung Rambutan menjelang pukul 2 siang. Kami datang 2 jam lebih awal dari jadwal rencana penjemputan. Kami duduk menunggu di parkiran. Mas Aar mencoba menghubungi mas Isal, tapi tak ada jawaban dan tak ada informasi di mana posisi mas Isal.

Bus Tak Masuk Kampung Rambutan

Sejam menunggu, tak ada tanda-tanda kedatangan bus Primajasa yang dinaiki anak-anak.

wa-zaki-01Karena Tata tidak membawa handphone, aku mencoba menghubungi Zaky untuk mendapatkan lokasi keberadaan mereka. Ternyata bis yang dinaiki anak-anak masih belum masuk Purwakarta. Itu berarti paling cepat 2.5 jam lagi mereka baru sampai Jakarta.

Aku mulai galau.

“Yaaah, tahu begini tadi masih sempat mengerjakan beberapa pekerjaan dulu,” pikirku agak kecewa. Sementara mas Aar langsung kebayang persiapan simulasi webinar homeschooling nanti malam.

Akhirnnya aku meminta mas Aar pulang dulu untuk mengurusi Simulasi Webinar Homeschooling.

Sambil menunggu kedatangan bus, aku mengobrol bersama beberapa penumpang dan awak bus yang ada di ruang tunggu Terminal Kampung Rambutan.

Dari obrolan, tiba-tiba aku mendapatkan informasi yang mengejutkan.

“Bus yang ditunggu dari mana?”
“Primajasa dari Garut.”

“Kalau bus Primajasa dari Garut nggak ada yang turun di Kampung Rambutan sini. Pool akhir mereka di Lebak Bulus. Paling nanti berhenti sebentar di Pasar Rebo buat nurunin penumpang.”

Begitulah penjelasan yang aku terima dari beberapa orang yang aku ajak bicara.

Hujan, sendirian, kebingungan dengan beragam pertanyaan melintas di pikiran. Anak-anak ngeh nggak ya kalau bis mereka pool akhirnya bukan Lebak Bulus? Mereka kira-kira bisa nggak turun di tengah jalan? Aku bagusnya menunggu mereka di mana?

Aku mencoba menghubungi telepon Zaky, tapi HP-nya tak aktif. Jangan-jangan batere handphone-nya sudah habis.

Aku lalu mencoba menelpon mas Isal dengan sedikit panik, “Mas, kamu ada di mana? Ternyata Primajasa Garut – Jakarta tidak masuk Kampung Rambutan. Enaknya bagaimana ya?”

“Aku di parkiran sama Ali, mbak. Aku ke sana deh. Kita pikirin bareng”

Lumayan. Setidaknya ada teman yang bisa diajak diskusi dan mencari solusi bersama.

***

Badai Ketidakpastian

wa-zaki-02Satu jam berlalu.

Tring… Sebuah printscreen dari Zaky kembali masuk via WA. Posisi mereka nyaris tidak berubah dari satu jam sebelumnya. Tapi dari perkiraan waktu malah justru makin lama, 2 jam 42 menit.

Aku mencoba mengirim pesan meminta Zaky bertanya kepada kenek apakah bis mereka benar tidak masuk Kampung Rambutan atau tidak. Dan kalau benar, aku minta mereka untuuk turun Pasar Rebo, tapi WA itu tidak terkirim ke Zaky. Sepertinya setelah mengirim printscreen, HP Zaky mati.

Kepanikan mulai terjadi. Mbak Moi menyatakan HP Fattah mati, mas Isal juga bilang kalau HP Husayn tidak bisa dihubungi. Zaky pun beberapa kali aku telepon tidak merespon. Hanya ada nada pesan suara “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Silakan mencoba beberapa saat lagi”.

Mbak Moi juga mulai gemas karena sudah menunggu sejak pukul 11 pagi di Mc Donald TB Simatupang bersama Fari, kakak Fattah paling tua.

“Kalau sekarang jam 3, berarti paling cepat mereka nyampe sini Maghrib, mas” kataku kepada mas Isal, sambil duduk di belakang mobilnya. Untungnya mobil mas Isal cukup lapang dan pintu belakangnya bisa dibuka ke atas jadi lumayan jadi payung yang enak buat duduk-duduk sambil menunggu.

“Kayaknya begitu mbak. Mudah-mudahan Zaky matiin HP untuk menghemat batere, jadi nanti dia bisa kirim kabar lagi ke kita.”

“Lumayan yah, masih 3 jam lagi.” Aku tertawa garing membayangkan anak-anak baru akan datang pukul 18.00.

“Tapi mending nunggu di sini kan mbak? Daripada di dalem terminal banyak asap rokok. Tuh di sana ada tukang pop mie, hahaha…”

***

Menghalau Galau

“Kita cari makan aja yuk, mbak” kata mas Isal setelah beberapa waktu kami ngobrol ngalor-ngidul kesana-kemari mengisi waktu.

Kami kemudian keluar dari Terminal Rambutan dan mencari tempat makan di daerah Condet. Tadinya kami mau makan di warung nasi kebuli langganan mas Isal, tapi ternyata tutup. Akhirnya kami menyusuri condet dan berhenti di kedai martabak.

“Aduh anak-anak gimana kondisinya ya mas? Pasti pada kelaperan nih. Kita aja yang nunggu laper…”

Susah bagiku untuk tak membayangkan anak-anak yang kelaparan karena mereka melewatkan makan siang dan belum makan sampai sesore ini.

Sambil makan, kami berdiskusi cara mendapatkan informasi tentang posisi bus yang dinaiki anak-anak. Aku mencoba Googling dan mencari nomor kontak Primajasa. Aku menelpon nomor-nomor itu satu-persatu. Tapi semua nomor kontak yang ada di Internet tak ada yang bisa dihubungi.

Menjelang pukul 18.00, kami kembali ke arah Terminal Kampung Rambutan. Sambil berjalan, kami mendiskusikan lokasi tempat menunggu terbaik, apakah di Kampung Rambutan seperti kesepakatan dengan anak-anak atau di Pasar Rebo tempat bus keluar tol seperti informasi yang kami peroleh dari beberapa orang di Kampung Rambutan.

Tak berapa lama, ada pesan WA dari mbak Moi yang menyatakan mereka sekarang sudah menunggu di LotteMart Pasar Rebo.

Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu anak-anak di Kampung Rambutan. Jadi ada 2 titik yang bisa dijaga bersama, di Kampung Rambutan dan Pasar Rebo.

***

Transportasi Publik yang Kacau

“Masa nggak ada nomor yang bisa saya hubungi untuk mendapatkan informasi posisi bus, pak?” tanyaku memelas kepada petugas Dishub yang ada di Kampung Rambutan. Kasus yang kualami ini semakin membuatku yakin bahwa sistem transportasi publik di negeri ini memang kacau balau. Pantas orang bela-belain membeli kendaraan pribadi walaupun dengan kredit daripada naik kendaraan umum yang serba tak jelas kualitas layanannya.

“Nggak ada bu. Kalau mau coba tanya-tanya dengan petugas Primajasa yang ada di sini.”

“Tapi bu, memang kan jalur Purwakarta itu lagi parah-parahnya” kata petugas yang lain lagi.

“Ibu memang anaknya naik bis yang jam berapa?” tanya seorang bapak yang tiba-tiba masuk dalam percakapan.

“Jam 9 pak.”

“Waaah, selamet aja bu. Bisa-bisa jam 1-2 malem baru nyampe. Saya berangkat jam 6 pagi, ini setengah enam baru nyampe sini. Kayaknya makin siang makin macet bu. Ini aja udah jam setengah tujuh bis-bis Bandung yang lain belum ada yang masuk lagi”

Kepalaku yang sejak tadi pening, langsung berputar-putar membayangkan harus menunggu anak-anak sampai dini hari.

***

Langit sudah gelap dan kami belum menerima kabar baru sedikit pun dari Zaky.

Dalam usaha mencari informasi tentang bus yang dinaiki anak-anak, akhirnya kami bertemu pak Sulis dari Primajasa. Beliau berbagi beberapa nomor telepon orang Primajasa yang dikenalnya.

Dari situ aku dan mas Isal langsung berasa menjadi detektif. Kami sudah tak peduli pulsa yang terpakai untuk mencari informasi ini. Untungnya dengan mobile banking aku bisa mudah membeli pulsa & memperpanjang langganan internet. Jadi urusan komunikasi lancar walau harus menelepon lebih dari 10 nomor telepon untuk mencari tahu nomor HP supir atau kenek bis yang ditumpangi anak-anak.

Bergantian dengan mas Isal dan pak Sulis, aku mengontak satu demi satu orang-orang yang dianggap bisa memberi tahu keberadaan bis anak-anak. Kami mengontak orang-orang yang menjaga titik Pasar Rebo, pool Lebak Bulus, bahkan ke Bandung dan Garut, tapi tetap saja tidak berhasil mendapatkan nomor kontak bus anak-anak.

Pak Sulis bahkan sempat menyarankan kami untuk pergi ke Lebak Bulus. “Siapa tahu di sana bisa ketemu orang yang tahu nomor kontak bis yang ditumpangi anak-anak.”

“Memangnya tidak ada cara lain selain kami harus ke Lebak Bulus?” Dengan enggan kami menolak sarannya.

“Soalnya pak, itu nomor yang tadi saya kasih kan udah orang Lebak Bulus, tapi dia ternyata beda shift. Dan dia nggak punya nomornya orang yang lagi jaga sekarang.”

“Atau ada nomer lain nggak yang bapak tahu yang kira-kira tahu nomer telpon orang yang jaga di Lebak Bulus saat ini?”

“Ooo mungkin si ini tahu….” Lalu pak Sulis memberitahu lagi nomor lain dan kami mencoba menelpon nomor itu.

Begitu terus.

Sampai akhirnya kami dapat nomor kontak pak Mugi yang kemudian memberikan kami nomor kontak pak Maman yang konon adalah kenek dari bis yang ditumpangi anak-anak. Kata pak Mugi, bisnya sudah sampai Cijantung. Rasanya lega sekali, mas Isal langsung mengontak pak Maman, namun tidak berhasil.

Dengan bingung kami pun kembali ke tempat parkir.

“Gimana ini mas? Anak-anak kita ada di mana?”
“Kita coba kontak pak Maman aja terus sampai berhasil.”

***

Bus Yang Mana?

“Halo pak Maman, mohon maaf ini. Saya mau tanya, bapak bis yang berangkat dari Garut ke Jakarta pagi ini jam 9?” tanya mas Isal saat berhasil menghubungi pak Maman.

“Alhamdulillah kalau iya. Kalau gitu saya boleh titip pak. Di mobil bapak ada anak-anak kami dari Jakarta. Usia sekitar 12-14 tahun 4 orang, 3 laki-laki 1 perempuan. Naik dari Garut. Boleh titip pesan, ke mereka kalau nanti turun di Pasar Rebo saja. Karena mereka tahunya bis ini lewat Kampung Rambutan pak.

“Apa pak? Anaknya nggak ada?”
“Iya pak. Anaknya ada 4, 3 laki-laki 1 perempuan. Masih kecil-kecil.”
“Masa pak nggak ada?”
“Punten, boleh tolong dilihat lagi?”
“Serius pak? Bapak tapi bis Primajasa Garut Jakarta yang berangkat jam 9 pagi kan?”
“Iya pak. Anak saya ada 4. Nggak ada ya pak?”
“Bis yang sebelumnya berangkat jam berapa pak?”
“Bapak punya nomor telpon supirnya?”
“Nggak ada ya pak. Haduh baik pak. Terima kasih.”
“Kalau boleh tahu, bapak sudah sampai di mana ya pak?”
“Di mana pak? Masih di Purwakarta..?”
“Baik pak. Terima kasih pak. Nuhun.”

Dan aku pun lemas di sebelah mas Isal. Kami sudah berhasil menghubungi bus Primajasa yang berangkat pukul 9 dari Garut, tapi tak ada anak-anak kami di dalam bus itu.

“Trus gimana mas? Serius anak kita nggak ada di bis itu?” tanyaku setengah panik
“Anak-anak itu naik yang jam berapa sih?” mas Isal bertanya balik.

Aku langsung mengontak teman-teman di grup Whatsapp.

“Menurut Fattah jam 9 kurang, La” kata mbak Moi “Jam 8.51 Fattah bilang mereka sudah di bis. Semoga bis sebelumnya ya.”

Untungnya tak berapa lama kami mendapat nomor telepon pak Yayan, kenek bis sebelumnya.

“Nuhun pak, alhamdulillah. Ada ya pak?” aku mendengar mas Isal berkata demikian setelah untuk yang sekian kalinya mengulang prolog yang kurang lebih sama.
“Boleh saya bicara dengan salah satu dari mereka pak. Yang paling besar pak, namanya Zaky.”
“Zaky, alhamdulillah… kamu baik? Alhamdulillah.”

Dan percakapan selanjutnya adalah detil dimana mas Isal memberitahu anak-anak untuk turun langsung di Pasar Rebo serta meminta pak Yayan untuk mengirim pesan kalau sudah dekat Jakarta.

Rasanya legaaaaaaa banget. Apalagi pak Yayan yang baik terus meng-update posisinya kepada kami.

Pukul 8 bis yang ditumpangi anak-anak sampai Lippo Cikarang. Pukul 8.18 pak Yayan telpon kalau sudah sampai Bekasi Barat. Dan pukul 8.45 akhirnya bis Primajasa itu pun merapat di Pasar Rebo. Leganya hati ini. Tambah bahagia karena melihat wajah anak-anak yang tetap ceria walaupun mereka usai menempuh perjalanan 12 jam, lebih dari dua kali lipat dari yang seharusnya.

dibalik-petualangan-belajar

Ada Kejutan dari Husayn

Turun dari bus di Pasar Rebo, Fattah langsung pulang bersama mbak Moi & Fari. Tata, Zaky, dan Husayn pulang bersama kami.

Kami mampir di rumah makan padang untuk melerai kelaparan anak-anak yang terlambat makan siang dan makan malam.

Aku takjub melihat energi anak-anak. Walau sudah 12 jam kena macet di jalan, tapi mereka tetap ceria. Cerita panjang lebar ketawa-ketawa tentang Husayn yang hanya mandi sekali selama 6 hari, serta seru & asyiknya nyantrik di Pesantren Ath Thaariq. Aku pun bercerita ke mereka betapa sulitnya mendapatkan nomer telepon supir atau kenek bis yang mereka tumpangi.

Tiba-tiba dengan lirih Husayn berkata di sebelahku, “Bu Lala, sebenarnya Husayn bingung deh. Kok nggak ada yang telepon Husayn?”

“Maksudnya? Memang HP Husayn nyala?”

“Nyala laaah, 60%. Tapi kok nggak ada yang kontak Husayn?”

“Maksudnya? Sal… anakmu bilang HPnya nyala itu,” kataku kepada mas Isal saking terkejutnya.

“Lhaa, papah telpon tadi katanya HP mati?” dalam kekagetannya mas Isal bertanya kepada Husayn.

“Lha papah, kan Husayn berusaha hemat batere. Jadi nyalainnya dikit-dikit. Husayn cek nggak ada message. Ya udah matiin lagi. Trus akhirnya Husayn nyalain pas mau deket Jakarta, tetep aja nggak ada yang kontak Husayn.”

“Lho Sen, kalau nyala kok kamu nggak kontak ke kami?” tanyaku. Rasanya seperti kejedot tembok mengetahui bahwa HP Husayn masih menyala dengan batere 60%, sementara kami sejak sore pontang-panting mencari cara menghubungi mereka.

“Nggak bisa bu Lala. Kan kartuku masa tenggang…”

. . . oh my God . . .

6 thoughts on “Drama Penjemputan dibalik Petualangan Belajar Garut Jakarta”

  1. Aduh mbak Lala… Beneran saya ikut deg-degan bacanya. Tapi juga ketawa baca akhir ceritanya.. 😀
    Pengalaman belajar yang sesungguhnya…

      1. La, jangan sekali-kalinya lagi gak ngitung Husayn yak! Hehehe…
        Hadeh nahan napas sepanjang baca tulisan ini, rasa bersalah banget bikin para ortu cemas sampai begini. Eits, tp jangan kapok ya, anak2 dah pada mau bikin ide dolan lagi nih…

        1. Lhaaaa, bukannya nggak ngitung Ra. Tapi kan mas Isal udang bilang kalau HP Husayn mati. Jadi aku ya… percaya aja 🙂

  2. Ya ampuun, bacanya deg-degan n nahan napas, hahaha. Untung jaman sekarang udah ada hp ya, begimana jaman dulu yg ga ada hp?

    Btw aku penasaran, jadi itu anak2 sama sekali ga makan siang? Trus selama itu mereka ga makan sekali atau gimana? Duuhh aku ngebayangin lapernya :(.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.