Banyak tokoh pendidikan yang menginspirasi para praktisi homeschooling. Salah satunya adalah Charlotte Mason, tokoh pendidikan Inggris yang hidup di akhir abad 19.
Berikut ini adalah cuplikan dari tulisan Charlotte Mason yang disarikan oleh mbak Ellen Kristi, praktisi homeschooling yang tinggal di Semarang. Mbak Ellen mengampu milis ngobrolin-CM, tempat praktisi homeschooling yang tertarik dengan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason. Terima kasih untuk mbak Ellen yang menyarikan dan menuliskan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason dalam tulisan serial di milis ngobrolin-cm.
“Sangat menakjubkan saat melihat sebuah gagasan berkembang dan masak sampai berbuah, seperti sebuah inspirasi yang menjadi sebuah novel yang seolah-olah menulis dirinya sendiri. Si penulis mungkin bahkan tidak tahu dari mana gagasan itu berasal. Dan tidak semua gagasan sebegitu menginspirasi – juga gagasan-gagasan buruk masuk ke dalam pikiran sama mudahnya seperti yang bajik dan juga bisa berkembang sampai berbuah. Di sinilah kebiasaan bekerja pula – kita cenderung berpikir sepanjang jalur-jalur pikiran yang biasa kita tempuh.
Kita orang dewasa barangkali bisa memperkirakan arah gerbong pikiran yang lewat di benak kita lantas menghentikannya supaya tidak melaju lebih lanjut, tapi seorang anak belum terampil melakukan ini seketika. “Ia bergantung kepada orangtuanya; orangtualah yang berperan memantik pikiran-pikirannya, hasrat-hasrat yang akan ia pupuk, perasaan-perasaan yang akan ia ijinkan.” Namun sekali orangtua memantik semua itu, pikiran-pikiran tersebut akan terus hidup dalam bilik-bilik hati dalam benak si anak.
Sebagaimana kita semua adalah makhluk yang terbentuk oleh kebiasaan, orangtualah yang berperan besar menumbuhkan dalam diri anaknya kebiasaan untuk memikirkan hal-hal yang berharga, sehingga akan lebih sulit bagi si anak untuk mengubah kebiasaan itu menjadi kebiasaan berpikir jahat, dan kebiasaan-kebiasaan memikirkan hal yang baik ini bisa menjadi karakter anak. Charlotte mengumpamakan latihan ini seperti memasang rel-rel sebagai jalur kereta api dalam benak seorang anak, rel-rel yang akan menjadi jalur tempuh lokomotif dan gerbong-gerbong pikirannya.
Namun jika orangtualah yang memasang rel-rel kebiasaan berpikir dan bertindak dalam diri si anak, dan kebiasaan akan menjadi karakternya, tidakkah itu sama dengan merebut kebebasan berkehendak si anak? Tidak juga, sebab kebiasaan tetap akan memandu sebagian besar kehidupan si anak, entah kebiasaan itu sesuatu yang anak peroleh secara kebetulan (meniru teman sebayanya dan orang-orang di sekitarnya – Mod.) ataupun dilatihkan secara terencana oleh orangtua.”