Hari Jum’at 30 September 2011, aku kembali mendapat kesempatan menghadiri acara Bincang Edukasi di @america – Pacific Place.
Sebagaimana Bincang Edukasi (Bined) #2 yang pernah kuhadiri di bulan Juli lalu, Bined #03 kali ini pun menampilkan 5 pembicara yang akan membagikan pengalaman, kegiatan juga mimpi mereka dalam waktu 17 menit per pembicara.
Pembicara dalam Bined #03 adalah:
Novi Hardian | Sekolah Alam Indonesia | @SekolahAlamID
Mira Julia | Rumah Inspirasi | @_Lala_, @Rumah_Inspirasi
Petrus Briyanto Adi | Cozy Street Corner | @pbadi, @cozystcorner
Chandra Marsono | OCIeducation Group | @chandramarsono
Najelaa Shihab | Sekolah Cikal | @NajelaaShihab, @sekolahcikal
***
Rasanya campur aduk waktu diberi kabar oleh mas Kreshna (@kreshna) bahwa aku termasuk dalam pembicara di Bined #03. Deg2an pasti. Sebenarnya, hal yang agak membuat panik adalah batasan waktu 17 menitnya itu lho. Untuk orang yang suka ngomong malang melintang seperti diriku ini, mengkompres cerita menjadi padat berisi selama 17 menit ternyata bukan hal yang mudah.
***
Acara dimulai oleh sambutan dari mas Kreshna selaku salah satu inisiator Bincang Edukasi. Seperti biasa mas Kreshna memberikan sedikit latar belakang mengapa diadakan Bincang Edukasi dan bagaimana acara ini bisa terselenggara. Hadir pula mas Bukik (@bukik) yang kebetulan sedang berada di Jakarta.
Setelah itu mulailah mbak Devi (@devieriana) sebagai pembawa acara menghantarkan satu demi satu pembicara untuk mengisi panggung Bincang Edukasi.
Diawali oleh mas Novi Hardian dari Sekolah Alam Indonesia (@SekolahAlamID) yang membuka acara dengan lagu ceria dinyanyikan oleh murid dari Sekolah Alam Indonesia. Mas Novi membagikan pengalaman & suka-dukanya selama 10 tahun mengelola Sekolah Alam. Bagaimana kisah awal Sekolah Alam yang dibangun di atas tanah rawa dengan bangunan sederhana, concern para pendiri sekolah alam terhadap pendidikan karakter anak yang disandarkan kepada guru, mahalnya biaya sekolah, dan lain-lain yang akhirnya membawa mereka pada bentuk sekolah alam yang ada sekarang ini.
Melalui slidenya, mas Novi memberikan gambaran suasana alam yang dinikmati murid-muridnya, betapa mereka dekat dan banyak berinteraksi di alam terbuka. Tujuan Sekolah Alam adalah menjadi anak didiknya memiliki akhlak mulia, cerdas dan berjiwa kepemimpinan yang kuat.
Sekolah Alam dengan 70% kegiatan di luar ruangan berbasis alam & komunitas. Jadi sekolah itu dimiliki & dibangun bersama oleh komunitas. Salah satu perinsipnya adalah pendidikan oleh semua, untuk semua. Kesejahteraan guru pun sangat diperhatikan di sekolah alam ini. Ada asuransi guru yang dikelola oleh lembaga sendiri. Sekolah Alam percaya, guru yang sejahtera akan lebih fokus dalam mendidik anak-anak.
***
Pembicara berikutnya adalah aku mewakili praktisi homeschooling. Tanganku rasanya dingin dan aku bertambah deg-degan setelah tahu bahwa tempat yang biasanya dijadikan penunjuk waktu sekarang berubah menjadi speaker. Waduh, bagaimana kalau ngomongnya lebih dari 17 menit?
Untungnya begitu naik panggung aku melihat wajah teman-teman seperti mbak Ing, mbak Mella, mbak Mira, mbak Wiet, mbak Gita, mbak Ita, mbak Moi, mbak Ichie, mbak Iiek, mbak Bahjah Ocha, mas Rio, mas Wangsit, mas Ichsan, Amira dan yang lainnya yang memberi gaya seperti supporter pemain bola.. (haha lebay). Pastinya kehadiran teman-teman praktisi ini membuatku menjadi merasa nyaman dan tidak gugup karena merasa seperti di rumah yang hangat.
Dalam presentasiku, aku berbagi kisah yang melatarbelakangi pilihanku memilih homeschooling. Sebagian besar orang sering mempertanyakan bagaimana sosialisasi untuk anak homeschooling, padahal JUSTRU sosialisasi adalah salah satu alasan terbesarku memilih homeschooling untuk jalan pendidikan anak-anakku.
Sebuah pemikiran yang sudah muncul sejak awal pernikahan dengan mas Aar 11 tahun yang lalu. Aku merasa ada kesempatan besar untuk mengeksplorasi diri yang sayang jika dilewatkan oleh anak jika sebagian besar waktunya dihabiskan hanya di sekolah untuk mempelajari materi yang terlalu banyak. Kami juga sepakat bahwa sekolah itu semakin lama menjadi semakin massal, seperti pabrik & tidak dekat dengan dunia nyata.
Aku juga memaparkan kenyataan bahwa ternyata walau menggunakan metode belajar dari keseharian, namun Yudhis mampu untuk mengikuti try out UNSD dan lulus dengan nilai yang baik. Semua ini karena kami mempunyai 2 pandangan yang sedikit berbeda dengan sekolah.
Pertama, sekolah itu lekat dengan istilah “belajar-mengajar”. Anak ibarat kertas kosong yang harus diisi, harus diberikan materi. Sementara menurut kami, setiap anak itu terlahir “pintar”, mereka seperti harta karun yang siap untuk digali potensi dirinya. Tugas kita sebagai orangtua/guru bukan memasukkan materi, malah justru mengeluarkan materi (baca: potensi) yg terkandung dalam setiap anak. Kita adalah fasilitator.
Seperti yang dikutip oleh Robert T Kiyosaki bahwa arti kata Education adalah Educare=mengeluarkan. Jadi pendidikan itu seyogyanya jika dilihat dari makna kata dasarnya bukan memasukkan materi, tapi justru mengeluarkan potensi anak.
Cara pandang kedua yang berbeda dengan sekolah adalah fokus. Jika sekolah fokusnya adalah menjadikan anak “Anak Pintar”, maka fokus kami adalah menjadikan anak “Pembelajar Mandiri”. Karena menurut Alvin Toffler, yang dinamakan buta huruf pada abad ke 21 itu bukanlah orang yang tidak mampu membaca/menulis, tapi orang yang tidak mampu melakukan learn, unlearn dan relearn. Karena dunia sedang bergerak dengan cepat, teknologi berkembang dengan luar biasa dan bekal terbaik yang bisa kita berikan kepada anak-anak pada zaman ini adalah menjadikan mereka pembelajar mandiri.
Aku pun berusaha mengutarakan beberapa contoh & jalan yang kami lakukan guna menjadikan anak-anak kami seorang pembelajar mandiri serta bagaimana kami menjalani hari-hari kami dalam homeschooling. Semoga peserta bisa menangkap betapa asiknya homeschooling dan betapa homeschooling itu bukan semata-mata masalah pendidikan anak, tapi homeschooling itu juga menjadi jalan pendidikan bagi orangtua. Seperti yang dikatakan oleh Naomi Aldort dalam bukunya, Raising Our Children, Raising Ourselves.
***
Mas Petrus Briyanto Adi dari Cozy Street Corner (@pbadi, @cozystcorner) menjadi pembicara ketiga. Bersama gitarnya, mas Adoy membuka cara pandang peserta acara Bined tentang “Musikal”. Banyak orang merasa dirinya “tidak musikal”, padahal sesungguhnya sebagian besar manusia memiliki kemampuan untuk mengindrai dan merespon musik.
Mas Adoy kemudian mengajak para peserta untuk melakukan “praktikum musik”, kita diminta menutup mata sejenak dan membayangkan sebuah lagu yang berkesan. Dari praktek inilah mas Adoy menunjukkan bahwa musik itu bukan objek, tapi sebuah pengalaman.
Musik dan pendidikan sangat erat hubungannya, karena musik bisa menciptakan atmosfer yang memudahkan proses belajar baik pada anak maupun orangtua. Sayangnya Indonesia masih minim sarana bagi pemusik amatir, sebagian besar pendidik juga masih terjebak dalam hafalan not bukan pada nada-nada yang ada pada musik itu sendiri.
Buat mas Adoy, musik itu adalah untuk survival, teman hidup & cara berekspresi. Mas Adoy juga menceritakan sedikit tentang kesibukannya mengajar cara bermain gitar gratis dengan harapan semakin banyak anak Indonesia yang menjadikan musik sebagai bagian dari hidupnya.
Di akhir sesi, mas Adoy mengajak peserta memikirkan satu kata berkualitas (dengan 2 suku) yang akan membuat hidup lebih baik. Kata tersebut lalu dinyanyikan bersama, misal kata “damai”, maka lagunya menjadi “Aku damai, kamu damai, semuanya damai. Bersama semua dunia semakin damai”.
***
Pembicara #4 adalah mas Chandra Marsono dari OCIeducation Group (@chandramarsono) yang membahas tentang Cross Culture Management. “Ketika bertemu dengan orang asing banyak orang Indonesia yang minder, kenapa?” ternyata karena budaya itu terbentuk & membentuk asumsi, norma serta karakter seseorang. Jadi, ada budaya orang Indonesia yang menyebabkan perilaku seperti itu.
Budaya seperti bawang yang berlapis-lapis, dan setiap dari diri kita terbentuk oleh lapisan budaya yang berbeda-beda. Budaya pertama datang dari orangtua, lapisan berikutnya datang dari lingkungan dan semua itu membentuk pola pikir dan terkadang menciptakan stereotyping terhadap sesuatu. Di sinilah pentingnya pendidikan multi-kultural agar sejak kecil anak mengenal keragaman budaya, karakter dan jenis manusia. Diharapkan ketika kita semua faham dengan adanya perbedaan kultur yang ada, maka interaksi antar manusia menjadi lebih baik.
***
Pembicara terakhir adalah senior aku di SMA 28, mbak Najelaa Shihab founder Sekolah Cikal (@NajelaaShihab @sekolahcikal). Mbak Ela mencoba untuk mewujudkan mimpinya tentang pendidikan melalui sekolah. Cikal yang berdiri sejak 13 tahun yang lalu berawal dari preschool, kini sudah memiliki SD-SMP-SMA di berbagai tempat di Jakarta, Surabaya & berencana akan membuka di kota-kota lainnya.
Menurut mbak Ela, pendidikan itu ada intangible & tangible curriculum. Walau sebagian besar orangtua masih lebih memperhatikan dengan tangible curriculum sebagai acuan melihat sekolah, mbak Ela percaya bahwa yang lebih penting adalah intangible curriculum, spirit yang mendasari sebuah sekolah didirikan.
***
Seperti biasa, acara Bincang Edukasi memberikan banyak pencerahan. Banyak ide yang bertaburan & teman jejaring baru yang mewarnai. Salah satu yang menyenangkan adalah aku dapat hadiah batik Raddina (@batikraddina) oleh-oleh dari mas Bukik.
Terima kasih teman2 atas kehadirannya di Bincang Edukasi. Sepertinya asik juga kalau setiap acara Bined kita jadikan acara kumpul kangen-kangenan praktisi homeschooling sambil memberikan support buat siapapun di antara kita yang akan menjadi pembicara dalam acara itu.
4 thoughts on “Bincang Edukasi Meetup #03 @america”
Huaaaa ada fotoku lagi mringis….. *malu *tutupmuka
yaaaayyy mbak lalaaaa ^_^
sampe ketemu di BinEd berikutnyaaaaaa 😀