“Pak, aku nggak ngerti materi belajar IPS ini. Hafalannya banyak banget,” kata Tata yang sedang belajar untuk persiapan Ujian Paket A atau setara SD.
“Kita cari cara belajar lain ya?” kataku. “Mau ke Monas?”
“OK.”
Berawal dari obrolan itu, Rabu (8 Februari 2017) kami menjadwalkan untuk jalan-jalan dan berkegiatan di Monas. Selain menjadi momen belajar buat Tata, momen jalan-jalan ini sekaligus menjadi acara kami bersama Duta & Yudhis.
“Tugas Yudhis & Tata adalah mengenali nama-nama jalan yang kita lewati saat menuju Monas.”
“Tugas tambahan untuk Yudhis adalah mengenali lokasi-lokasi penting yang ada di sekitar Monas.”
“Tugas Duta apa?” tanya Duta.
“Duta bawa buku dan pensil saja. Nanti kita lihat di Monas apa yang bisa dilakukan Duta.”
Membangun Ikatan Keluarga
Dengan semakin besar anak-anak, kami sadar waktu bersama mereka tinggal sedikit. Mereka akan segera terbang dari rumah dan membangun dunianya sendiri. Oleh karena itu, kami ingin memanfaatkan setiap momen untuk menjalin hati dan kebersamaan.
Dalam kebersamaan, momen yang lebih dipentingkan adalah kehadiran bersama dan obrolan-obrolan kecil dari hati ke hati tentang apapun.
Kegiatan yang paling sering adalah makan bersama di meja makan dan mengobrol menjelang tidur malam. Di luar itu, kami berusaha menciptakan momen-momen kebersamaan. Termasuk memanfaatkan kepergian ke Monas sebagai momen untuk membangun ikatan keluarga.
Pergi bersama, mengobrol, jalan-jalan, makan-makan menjadi proses membangun ikatan hati yang kami lakukan bersama.

Diorama Sejarah di Museum Sejarah Nasional
Tujuan pertama kedatangan kami di Monas adalah diorama sejarah yang ada di Museum Sejarah Nasional. Museum ini lokasinya ada di bagian bawah Monas, dengan ukuran luas 80 x 80 meter dan dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.
Ruangan besar berlapis marmer ini memiliki 48 diorama pada keempat sisinya dan 3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama. Diorama ini menampilkan sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa Orde Baru.
Melalui diorama inilah Tata mencoba memahami sejarah Indonesia dalam bentuk visual. Aku menemani Tata dan menjadi pendampingnya untuk menjelaskan setiap diorama.
Untuk Duta, kepergian ke Monas ini merupakan bagian dari proses “membeli” pengalaman. Kami berjalan-jalan, bersenang-senang dan mencoba memberikan jejak pengalaman dalam hatinya sembari berbagi cerita tentang Monas dan sekitarnya. Saat Tata belajar di Museum Sejarah Nasional, Duta mencoba menggambar Monas.
Naik Pelataran Puncak Monas
Usai berkegiatan di Museum Sejarah Nasional, kami menuju Pelataran Puncak Monas. Untuk menuju ke bagian atas Monas itu, kita harus antri naik lift berkapasitas 11 orang.
Saat kami di sana, kami bersama rombongan anak-anak TK yang sedang berdarma wisata bersama para gurunya. Riuh ramai anak-anak bercanda dan bernyanyi sambil mengantri bersama pengunjung Monas lain.
Pelataran Puncak Monas memiliki ketinggian 115 meter. Dari puncak Monas itu, kami bisa melihat gedung-gedung di sekitarnya. Pemandangan kota Jakarta juga bisa dilihat menggunakan teropong yang tersedia di keempat sudutnya.

Kenangan makan-makan
Karena perjalanan ini santai, kegiatan yang kami lakukan juga tak terburu-buru. Mengawali kegiatan dengan makan siang di foodcourt Monas, kami juga mengakhirinya dengan duduk santai sambil makan makanan kecil di foodcourt.
Dan ternyata makan-makan itu memang jadi kenangan yang indah untuk anak-anak. Saat kami tanyakan kepada Duta apa yang menyenangkan hari ini di Monas, jawabnya: “Makan-makan dan naik di atas Monas yang anginnya besar.”